Obsession Awards 2017

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 31 March 2017

Naskah: Andi Nursaiful, Foto: Istimewa

Dua kali berturut-turut dipercaya mewakili rakyat Sulawesi Barat di DPD RI, adalah salah satu parameter bahwa anak muda satu ini memiliki rekam jejak yang bagus. Asri bukanlah politisi instan. Datang dari keluarga bersahaja, ia merintis karier politiknya sebagai aktivis mahasiswa yang selalu kritis dan berani menyuarakan kebenaran.

 

Sebagai mantan mahasiswa teladan yang memiliki pengalaman panjang dalam berbagai organisasi kepemudaan, Asri memiliki kapasitas untuk memperjuangkan kepentingan daerah dan rakyat yang diwakilinya sebagai senator.
Di Senayan, Asri tergolong sangat aktif dalam berbagai forum dan alat kelengkapan DPD RI. Ia pun dipercaya sebagai Wakil Ketua Kelompok/Fraksi DPD-RI dan Wakil Ketua TIM Anggaran MPR-RI.


Lahir di Pare-Pare, tanggal 12 Juli 1975, anak muda ini merintis karier politiknya dari titik nol. Yaitu ketika masih aktif sebagai mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Hasanuddin, Makassar. Meski bidang studinya sastra, Asri adalah aktivis mahasiswa yang bersikap kritis dan berani melakukan perlawanan terhadap rezim orde baru ketika itu.


Mahasiswa teladan yang pernah menyabet juara Debat Mahasiswa ASEAN Young di Malaysia tahun 1996, ini, memang tak bisa tinggal diam melihat ketidakadilan dan ketimpangan sosial yang ada di sekelilingnya. Boleh jadi lantaran Asri hanyalah seorang anak petani yang pernah merasakan pahitnya kehidupan.


Saat bersekolah di SMP Tridarma (sebelum pindah dari SMP 1 Wonomulyo), setahun lamanya Asri harus jalan kaki sejauh 7 km ke sekolah. Semangat juangnya tak pernah padam, justru kegigihannya untuk menuntut pendidikan berbuah manis. Bahkan dialah satu-satunya alumni sekolah SMP Tridarma yang bisa sarjana, yang saat itu berhasil diterima di Universitas Hasanuddin (1993) melalui program beasiswa bebas tes.


Sebagai seorang anak petani, Asri memahami betul penderitaan rakyat saat itu. Bagaimana rakyat dibatasi hak-hak sosial, ekonomi, dan politiknya. Saat itu anak-anak petani, nelayan, orang-orang kecil jarang yang bisa terlibat dalam politik praktis, akibat keterbatasan jumlah partai politik.


Pengusaha lokal pun jarang sekali muncul karena tender lebih banyak dilakukan secara tertutup. Rakyat biasa, juga dilarang keras menyampaikan ketidakpuasan di depan publik atau di media massa. Pengalaman masa muda itulah yang terus membekas dalam jiwanya, sekaligus menjadi trigger untuk berbuat sesuatu secara nyata untuk kampung halaman dan daerahnya.