Oleh: -

Naskah: Iqbal R. Foto: Istimewa

Sepuluh tahun sudah PT Adaro Energy Tbk Satu dasawarsa melantai di Bursa. Tentu bukanlah perjalanan yang mudah, namun di bawah kemudi Garibaldi Thohir (Boy), perusahaan berkode emiten ADRO tersebut sukses bertahan bahkan berkembang dari gejolak naik turun harga batu bara.

 

Boy juga bertekad untuk menghadapi tantangan ke depan, dan memanfaatkan peluang yang tepat di saat yang tepat, serta strategi yang tepat demi mengembangkan bisnis perusahaan. Dalam kurun waktu satu dekade, perusahaan yang telah dirintisnya telah bertransformasi menjadi perusahaan batubara yang terintegrasi secara vertikal, dan akan terus melanjutkan transformasi bisnis tersebut hingga delapan lini, yakni pertambangan, jasa, logistik, pembangkit, air, land, capital, dan yang paling penting adalah Adaro Foundation. Di bawah komandonya, ADRO menorehkan kinerja yang positif sepanjang 2017. Perusahaan di bidang energi ini mampu mencatatkan peningkatan laba bersih yang cukup signifikan, yakni USD536,44 juta atau setara Rp7,3 triliun. Perolehan itu naik 57,4% dari laba bersih di 2016 sebesar USD340,68 juta. Kenaikan laba bersih itu ditunjang dari kenaikan pendapatan usaha yang cukup signifikan. Pada 2016 pendapatan ADRO sebesar USD2,5 miliar lalu naik menjadi USD3,2 miliar.

 

Di sepanjang tahun 2017, EBITDA operasional naik 47% menjadi USD1.315 juta. Capaian ini melebihi panduan EBITDA operasional yang ditetapkan pada kisaran USD900 juta sampai USD1.100 juta. Kenaikan yang cukup tinggi ini ditopang oleh kenaikan harga jual rata-rata dan fokus perusahaan yang konsisten terhadap disiplin biaya di sepanjang rantai pasokan batu bara. Sementara laba inti tidak termasuk komponen akuntansi non operasional yang naik 62% y-o-y menjadi USD646 juta. Ini juga mencerminkan kualitas laba usaha setelah pajak. “Kami selalu berkomitmen untuk membangun Indonesia, dengan menyediakan akses listrik dan air bersih bagi masyarakat, kami berharap mampu menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi Indonesia,” jelasnya. 

 

Harga batubara yang menggeliat tidak membuat ADRO berencana untuk meningkatkan produksi lantaran fokus untuk menjaga cadangan batubara dalam jangka panjang guna pengembangan bisnis pembangkit listrik ke depan. ADRO masih memasang target produksi sebanyak 54 juta ton hingga 56 juta ton tahun ini. Sementara, proses akuisisi ADRO atas 80% saham tambang Kestrel milik Rio Tinto masih terus berjalan. Hal ini merupakan salah satu agenda dengan transaksi jumbo ADRO tahun ini. Pihaknya berharap, penyelesaian transaksi bisa dilakukan sebelum tahun ini berakhir.

 

Akhir Maret lalu, ADRO bersama EMR Capital meneken perjanjian pengikatan untuk akuisisi 80% saham tambang batubara kokas tersebut. Perkiraan nilai akuisisi tambang yang terletak di Cekungan Bowen, Queensland, itu mencapai USD2,25 miliar. Keberhasilan transaksi tergantung dari terpenuhinya sejumlah syarat pendahuluan. Salah satunya, persetujuan dari Australia Foreign Investment Review Board dan Pemerintah Queensland. Nah, ADRO dikabarkan sudah memperoleh izin terkait persyaratan tersebut. Sebagai perusahaan publik, Boy juga peduli terhadap pendidikan dengan selalu mengedepankan good mining practices untuk meminimalisir dampak operasional serta berkomitmen untuk dapat terus meningkatkan kontribusi perusahaan dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui program CSR pendidikan.