Obsession Awards 2018 'Apresiasi Bagi Pemberi Inspirasi'

Oleh: Iqbal Ramdani () - 22 March 2018

Best Achiever In Legislator

Ahmad Riza Patria (Wakil Ketua Komisi II DPR RI Fraksi Partai Gerindra)

Naskah: Iqbal R., Foto: Istimewa

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

  

 

 

 

 

 

Sebagai Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Ahmad Riza Patria telah banyak menampilkan peran yang sangat penting dalam menyelesaikan beragam persoalan kebangsaan. Mulai dari sengketa pertanahan, menjembatani perjuangan tenaga honorer, UU Pilkada, UU Pemilu, hingga sikapnya dalam menolak Perppu Ormas yang dianggap diskriminatif dan tidak berkeadilan.

 

Duduk di komisi yang lingkup tugasnya di bidang politik, dalam negeri, pertanahan, sekretariat negara, dan pemilu ini, politikus Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) itu concern memperjuangkan hak rakyat. Misalnya meningkatkan kualitas dan kesejahteraan Aparatur Sipil Negara (ASN) serta memberikan jalan kepastian nasib bagi tenaga kerja honorer. “DPR RI mendorong terealisasikannya revisi UU ASN dalam waktu dekat ini. Revisi UU ASN dapat berdampak positif pada kualitas ASN yang selama ini dinilai kurang optimal,” tutur politisi yang kini didaulat sebagai Presidium Majelis Nasional KAHMI tersebut. Ariza, sapaan akrabnya, optimis revisi UU dapat dijadikan payung hukum terkait pengangkatan tenaga honorer yang sempat tertunda bertahun-tahun.

 

“Menghitung ulang, membuat kajian analisa berapa jumlah daripada PNS yang dibutuhkan di seluruh negara yang kita cintai ini kemudian kita juga sudah minta kepada pemerintah untuk terus meningkatkan kualitas dan distribusi pemerataan penempatan PNS,” tambah wakil rakyat dari Dapil III Jabar yang juga merupakan Ketua DPP Partai Gerindra. Dedikasinya tidak berhenti di situ, Ariza juga memperjuangkan permasalahan pertanahan yang ada di masyarakat, karena menurutnya permasalahan pertanahan di Indonesia merupakan hal yang sangat penting dan kompleks. Pria kelahiran Banjarmasin, 17 Desember 1969 ini mengungkapkan masalah pertanahan yang kompleks di berbagai daerah itu tidak terlepas dari lemahnya data pertanahan yang dimiliki BPN. Sehingga status tanah aset negara pun seringkali menjadi sumber konflik akibat penetapannya yang sepihak.

 

Menurut Ariza, sengketa tanah harus segera diselesaikan. Jangan sampai rakyat dirugikan. Selama ini ganti rugi, harusnya ganti untung. Pengusaha diuntungkan berkali lipat, tapi rakyat dirugikan terus. Ariza mengatakan UUPA (UndangUndang Pokok Agraria) sudah bagus dan tinggal disempurnakan sesuai perkembangan zaman melalui pembuatan UU Pertanahan yang menjadi usulan DPR. Kementerian ATR/BPN juga diminta untuk menyelesaikan masalah tanah dengan mensinergikan regulasinya dengan menteri KLH, menteri Pertanian, menteri Pertambangan serta menteri Kelautan agar tidak terjadi tumpang-tindih.

 

Ariza juga meminta pemerintah agar mampu meningkatkan kualitas pelayanannya kepada masyarakat terkait urusan pertanahan, misalnya dengan memanfaatkan teknologi informasi, sehingga masyarakat dapat mengetahui status pengajuan permohonan hak maupun perubahan Hak Atas Tanah melalui website dan aplikasi resmi Pemerintah. Ariza menambahkan, ada beberapa poin yang harus direvisi terkait UU Ormas, antara lain: Pertama, mengembalikan peran dan fungsi yudikatif atau pengadilan. Kedua, Gerindra menyoroti tahapan pembubaran ormas. Gerindra menilai aturan pembubaran ormas saat ini tak rasional, yakni dengan menyurati ormas bersangkutan dalam tujuh hari. Padahal, seringkali surat peringatan telat disampaikan karena birokrasi yang rumit. Ketiga, terkait hukuman dan sanksi.

 

Gerindra menginginkan ada aturan hukuman dan sanksi yang adil. Dalam aturan saat ini, anggota ormas yang dibubarkan berpotensi dijatuhi hukuman pidana 5 tahun sampai 20 tahun. Di samping itu, Ariza menilai lebih tepat jika pemimpin ormasnya saja yang dijatuhi hukuman. Sedangkan pada aturan saat ini, anggota pasif dalam sebuah ormas pun bisa dijatuhi hukuman. Poin terakhir, Komisi II DPR menginginkan agar pasal-pasal dalam UU Ormas tak menjadi pasal karet. Misalnya tafsir paham anti-Pancasila. Menurutnya, pemerintah tidak bisa menjadi satu-satunya pihak yang bisa menafsirkan Pancasila. “Orang korupsi saja yang jelas-jelas extraordinary crime dengan jumlah kerugian negera hingga miliaran, hukumannya ada yang hanya dua tahun. Bayangkan di mana rasa keadilannya. Jadi harus dibedakan hukuman bagi pelanggaran UU Ormas dengan hukuman pidana,” ujar Ariza.