Figur Unggulan di 74 Tahun Indonesia Merdeka

Oleh: Syulianita (Editor) - 09 August 2019

Naskah: Purnomo Foto: Sutanto/Istimewa

 

Kinerja Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman patut diacungkan jempol. Bagaimana tidak, selama kepemimpinannya, pria kelahiran Surabaya, 2 Maret 1974 ini dinilai oleh publik telah berhasil menyelenggarakan Pilpres maupun Pileg 2019.

 

Pertama kali menjabat sebagai ketua KPU, reputasi Arief di lembaga penyelenggara pemilu ini sudah terlihat jelas. Ia mampu menakhodai KPU dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, banyak masyarakat yang menilai KPU telah berhasil melaksanakan tugasnya sebagai penyelenggara pemilu. Meski begitu, Arief menilai hasil kerjanya itu semata-mata untuk membuat KPU lebih baik lagi dari yang sebelumnya.   “Tentu penilaian itu saya serahkan kepada masyarakat, tapi yang jelas KPU menyelenggarakan pemilu 2019 berupaya maksimal untuk memperbaiki apa saja yang kurang di 2014,” ujar Arief kepada Men’s Obsession. Hal itu juga dapat dilihat dari kebijakannya yang telah membuat terobosanterobosan hal-hal baru yang bisa membuat Pemilu 2019 lebih baik, lebih transparan, mudah diakses oleh publik, dan kepentingan KPU adalah membangun kepercayaan publik terhadap proses pemilu itu sendiri.

 

Bahwa publik menilai Pemilu 2019 bisa berjalan dengan baik, tentu Arief berterima kasih dan mengapresiasi karena memang berdasarkan catatan-catatan data kuantitatifnya itu ada catatan yang memang lebih baik. Misalnya tingkat partisipasi, kalau dulu itu sekitar 74 sampai 75 persen, sekarang sudah mencapai 81 persen. Kemudian digital data, seperti di Sistem Informasi Penghitungan Suara (Situng) KPU, data yang bisa ditampilkan di Situng pada Pilpres 2019 sudah mencapai 99,3 persen. Sedangkan, untuk pileg sudah mencapai 98 persen. “Publik bisa lihat di web KPU tentang Situng. Kami masih terus meng-upload data penghitungan maupun rekap melalui Situng,” ungkap pria berdarah Jawa Timur itu. 

 

Tak hanya itu, angka-angka lain juga ikut cemerlang. Misalnya, jumlah sengketa yang diajukan oleh peserta pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) menurun. Ia mengaku, tidak tahu penyebab turunnya angkaangka tersebut. Apakah itu keberhasilan KPU atau memang peserta pemilu malas mempersengketakan. Berdasarkan data yang diperoleh dari KPU, Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 2019 di MK tercatat, jumlah perkara berdasarkan BRPK 260 perkara terdiri dari 250 perkara legislatif dan 10 perkara calon DPD. Sedangkan, jumlah perkara yang lanjut melalui persidangan 122 perkara yang terdiri dari 115 perkara legislatif dan 7 perkara DPD.

 

Untuk jumlah perkara dismissal 57 perkara. Sementara itu, jumlah perkara yang tidak dilanjutkan dalam sidang pembuktian karena tidak memenuhi syarat formal dan putusannya menunggu pembacaan putusan akhir 82 perkara terdiri dari 79 perkara legislatif dan 3 perkara DPD. Dibandingkan pemilu sebelumnya, 2014 misalnya, sengketa yang diajukan ke MK 903 perkara yang terdiri dari 211 putusan sela dan sidang pemeriksaan hingga putusan sebanyak 692 perkara. Jumlah 692 perkara itu terdiri dari 21 putusan akhir hingga dikabulkan dan 671 putusan akhir hingga ditolak.  Jadi, dibandingkan dengan data sengketa 2014 ini jelas jauh lebih turun, padahal jumlah TPS lebih banyak, jumlah peserta pemilu lebih banyak. “Tapi, angka yang masuk di Mahkamah Konstitusi jauh menurun,” ungkapnya lagi.   

 

Namun, ketika KPU dituding berlaku tidak manusiawi dalam menerapkan pola kerjanya, bahkan dituduh telah melakukan kecurangan dalam menyelenggarakan Pemilu 2019 yang lalu, Arief begitu geram. “Saya pikir tuduhan itu sangat menyakitkan bagi saya,” tegasnya. Menurutnya, tuduhan itu mengada-ada. Semua orang bisa lihat, seluruh tahapan pemilu dilaksanakan secara terbuka seperti yang terlihat saat KPU melalukan tahapan regulasi, semua dilakukan uji publik, pesertanya semua ada di situ, pesertanya semua diundang, perwakilan dari lembaga pemerintah terkait, diundang. “Jadi, sejak menyusun regulasi itu semua sudah terbuka,” terang mantan Komisioner KPU Pusat itu. 

 

Ketika disinggung terkait banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal, mantan anggota KPU Jawa Timur ini mengaku KPU telah mengantisipasi hal tersebut. Publik pun tahu, pekerjaan KPU di pemilu 2019 sangat berat. Seluruh jenis pemilu untuk tingkat nasional itu diselenggarakan dalam satu waktu yang sama, mulai dari DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab dan Kota, DPD, dan pilpres. Maka, KPU dalam simulasinya mengambil kesimpulan terlalu berat kalau KPU menggunakan angka maksimal sebagaimana ditentukan UU 500 pemilih per TPS. Maka dari itu, KPU mengubahnya menjadi 300 pemilih per TPS. 

 

“Harapannya kerja KPPS lebih ringan dan lebih singkat sehingga potensi mereka kelelahan dalam bertugas itu sebenarnya sudah di minimalisir,” tutur Arief. Meski demikian, layanan terhadap anggota KPPS yang meninggal sebetulnya sudah diupayakan lebih baik. Walaupun tidak dalan bentuk asuransi, tetapi dalam bentuk santunan.

 

Terkait beredar isu banyaknya anggota KPPS yang meninggal saat menjalankan tugasnya dikarenakan serangan gaib, hal itu ditepis oleh Arief. Menurutnya, petugas KPPS yang meninggal itu memang alamiah karena memang memiliki riwayat sakit. Ada yang hipertensi, jantung, dan ada beberapa yang memang kalau mereka kelelahan dapat menimbulkan kematian. “Karena sakit, kelelahan, bukan karena hal-hal lain yang dibayangkan banyak orang itu,” tegas Arief.

 

Lebih lanjut Arief mengatakan, ke depan KPU diharapkan dapat memberikan sumbangsih lebih baik lagi dari yang sekarang, yakni bisa lebih optimal lagi dalam menegakkan asas pemilu di Indonesia, yaitu asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) dalam menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 mendatang. Sebab, pihaknya sudah menentukan tahapannya karena setelah tahapan ditetapkan barulah semua pihak bisa memulai pekerjaannya, seperti partai politik bisa menentukan calon pilihannya. Kemudian, penyelenggara pemilu sudah bisa menentukan kapan pendaftarannya, kampanye, hingga pemungutan suaranya. “Pemungutan suara, kami rencanakan 23 September 2020. Sebab, tahapan-tahapan yang telah kami susun mau diformalkan dalam peraturan KPU,” beber Arief.

 

Menutup pembicaraan, pria ramah berkacamata ini menguntai harapannya untuk Indonesia yang tahun ini menginjak usia ke-74 tahun adalah Indonesia betulbetul bisa menjadi negara yang mandiri. “Bisa memenuhi seluruh kebutuhannya dengan kekuatannya sendiri. Selain itu menjadi contoh yang baik bagi negara lain atas pelaksanaan pemilu yang transparan, berintegritas, dan berkualitas,” pungkasnya.