Hari Parlemen Indonesia

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 21 October 2015

Naskah: Giattri F.P Foto: Dok. Pribadi & Humas Sekretariat MPR

Karena tujuan politik adalah membangun bangsa dan negara, serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur, maka ia pun berkiprah di dunia politik. Kariernya kinclong di DPP Partai Golkar. Sampai kemudian mantan Bupati Kutai Timur itu akhirnya menjadi Wakil Ketua MPR RI periode 2014-2019.

Sejak kecil, putra tertua pasangan Mansur Mante dan Mardiah ini bercita-cita ingin menjadi negarawan besar. Ia melihat, banyak orang besar yang lahir dari dunia politik karena di sana ada kekuasaan. Dengan kekuasaan, bisa berbuat lebih banyak pada negeri ini.


“Karena tujuan politik adalah membangun bangsa dan negara, serta mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Karena itulah saya memilih jalur politik di dalam karier saya,” ungkap Mahyudin.


Pria kelahiran Tanjung 8 Juni 1970 ini, memulai karier politiknya sebagai wakil sekretaris Partai Golkar Kecamatan Sangatta Utara. Ia pernah menjabat Bupati Kutai Timur ke-2 pada periode 2003-2006. Tahun 2009-2014 ia menjabat sebagai anggota komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat. Kemudian, ia kembali masuk parlemen pada Pemilu 2014 mewakili Kaltim dan Kaltara.


Saat pemilihan pimpinan MPR RI, Mahyudin terpilih menjadi Wakil Ketua Umum MPR RI bersama Zulkifi Hasan sebagai Ketua MPR RI (PAN), EE Mangindaan (Demokrat), Hidayat Nur Wahid (PKS) dan Oesman Sapta Odang (DPD).
Masuknya Mahyudin sebagai salah satu pimpinan MPR RI tentu membanggakan Kalimantan Timur, maklum sepanjang sejarah baru pertama kali warga Kaltim terutama Kutai Timur, berada dalam kancah politik nasional serta menduduki posisi strategis. “Semua ini kehendak Allah SWT, saya tidak menyangka bisa menjadi wakil ketua MPR,” ujarnya.


Pria berdarah bugis dan Banjar itu mengatakan, pekerjaan legislatif tentunya berbeda dengan eksekutif. Di legislatif itu lebih banyak bekerja secara kolektif. Tugas utamanya adalah supervisi legislasi dan budgeting.


Sebagai pimpinan MPR RI, Mahyudin mengemban tugas untuk mensosialisasikan Empat Pilar MPR RI. Ia memandang sosialisasi empat pilar yang telah berjalan selama ini sebagai kegiatan yang sangat penting.  Apalagi, sejak reformasi, hanya MPR lah satu-satunya lembaga negara yang melakukan sosialisasi terhadap Pancasila, UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, NKRI dan Bhineka Tunggal Ika.


Bisa saja orang lain berkata bahwa sosialisasi Empat Pilar MPR RI tidaklah  penting, menghabiskan anggaran atau menyenangkan orang MPR saja. Namun bagi MPR, sosialisasi merupakan kegiatan yang harus dilakukan lantaran menyangkut kebangsaan. Karena itu, walaupun anggaran MPR terus meningkat, namun peningkatan itu lumrah karena kegiatan MPR terus bertambah. “Kami sudah keliling di seluruh wilayah Indonesia. Masuk dari satu kampus ke kampus lainnya, pesantren, dan sekolah,” tandasnya.


Mahyudin juga mengungkapkan Indonesia saat ini mengalami hilangnya keteladanan dari para pemimpin bangsa. Ia mencontohkan hal itu tercermin dari perilaku konflik di antara ketua partai. “Bagaimana rakyat melihat para ketua partai bertikai?” katanya.


Karena itu, menurut Mahyudin, keteladanan pemimpin bangsa ini menjadi persoalan tersendiri yang dihadapi bangsa Indonesia. Sosialisasi Empat Pilar MPR RI, kata Mahyudin, tujuannya antara lain memberi kesadaran kepada seluruh elemen bangsa untuk menghentikan dan tidak mempertontonkan konflik. “Kita tak henti-hentinya mensosialisasikan Empat Pilar MPR RI!” tuturnya.


Selain masalah keteladanan, tambah Mahyudin, masih banyak persoalan yang dihadapi bangsa ini. Salah satu yang teraktual adalah paham radikalisme yang tumbuh di masyarakat. Paham radikalisme bila dibiarkan akan membahayakan keutuhan bangsa. “Kita perlu membentengi masyarakat dari paham-paham radikalisme itu,” ujarnya.


Mahyudin juga menjelaskan posisi MPR saat ini dalam sistem ketatanegaraan paska amandemen UUD 1945 bukan lagi sebagai lembaga tertinggi negara seperti pada masa lalu. MPR adalah lembaga negara yang setara dengan lembaga negara lainnya seperti DPR, Presiden, Mahkamah Agung (MA), dan lainnya. Meski demikian, MPR memiliki kewenangan tertinggi dibanding lembaga negara lainnya, seperti kewenangan mengangkat dan memberhentikan presiden melalui proses pemakzulan (impeachment).


Selain sosialisasi empat pilar, kata Mahyudin,  kegiatan yang tak kalah penting lainnya dari MPR RI adalah membuat kajian tentang pelaksanaan Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan menyerap aspirasi masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan UUD 1945.


Terkait stigma negatif dari masyarakat terhadap citra wakil rakyat saat ini, pengagum Presiden RI pertama Soekarno itu mengatakan pandangan negatif muncul karena banyak anggota parlemen tersandung berbagai kasus dan sorotan media terhadap gaya hidup anggota DPR di tengah rendahnya capaian kinerja.


“Saya kira yang terpenting adalah memperbaki kinerja termasuk kualitas legislasi yang dihasilkan serta harus peka terhadap kondisi kekinian dalam msyarakat. Bagi saya pribadi tidak terlalu masalah karena saya merasa sudah bekerja sesuai tupoksi saya dan segala kritik dari masyarakat saya tanggapi positif, untuk memotivasi saya bekerja lebih baik lagi,” ucapnya.


Tahun ini, Parlemen Indonesia menginjak usia ke 70 tahun, bagi Mahyudin tentunya bagi manusia usia tersebut mencerminkan kedewasaan dan kematangan. Ia berharap kedepan kinerja lembaga parlemen lebih baik dan berkualitas sehingga stigma negatif di masyarakat dapat tereduksi dengan sendirinya.


Sementara sebagai kader Partai Golkar, ia berharap kepada wakil rakyat khususnya dari fraksi Partai berlambang beringin itu  agar menjalankan tugas dan fungsinya, yakni legislasi, anggaran, serta mengawasi kebijakan pemerintah dengan sungguh-sungguh sehingga mencerminkan kebijakan tersebut bermanfaat untuk rakyat. “Selalu menempatkan diri sebagai pemberi solusi atas setiap persoalan dan kebuntuan dalam melakanakan tugas kedewanan,” harapnya.