Hari Parlemen Indonesia

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 21 October 2015

Naskah: Giattri F.P. Foto: Dok. MO

Miryam S. Haryani memulai kiprahnya di Partai Hanura pada 2007. Berkat kapabilitas dan integritasnya, Ketua Umum Sirkandi Hanura ini, dipercaya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat di kursi DPR RI selama dua periode berturut-turut.

Sejak pertama menapakkan kaki di DPR RI hasil pemilu 2009 silam, wanita yang akrab disapa Yani itu getol memperjuangkan aspirasi kaum perempuan Indonesia. Ia tak hanya memperjuangkan konstituen di daerah pemilihannya, Cirebon dan Indramayu, Jawa Barat, atau hanya mewakili kepentingan partainya saja. Ia telah berbuat sesuatu yang lebih besar, yakni hak-hak perempuan, kesetaraan gender, dan meningkatkan derajat perempuan Indonesia.


Perjuangan itu bukan hanya ia lakukan di DPR, namun juga melalui lembaga yang digagas dan dimotorinya, Srikandi Hanura. Organisasi sayap strategis di bawah Partai Hanura itu telah menjadi aset yang sangat berharga bagi partai, dan juga semakin memiliki pengaruh yang kuat di ranah politik. Yani berhasil membawa organisasi otonom Partai Hanura itu berperan mengawal Undang-undang (UU) Ketenagakerjaan RI No. 13 untuk memasukan pasal-pasal yang memang pro terhadap buruh perempuan.


Yani, misalnya, mendorong perusahaan-perusahaan agar memperhatikan karyawan atau buruh perempuan, di antaranya dengan memberikan cuti hamil dan membangun ruangan untuk menyusui. Berkat perjuangan dan aksi-aksinya melalui Srikandi Hanura, kalangan buruh wanita kini merasa memiliki pengayom setia. Tak heran jika ribuan buruh wanita, memilih bergabung dengan
organisasi itu.


Bagi Yani, yang sejak lama dikenal sebagai aktivis pejuang hak-hak perempuan, wanita adalah mitra setara dalam pemikiran politik. Ia menyebut politisi perempuan justru dapat memperbaiki citra DPR yang selama ini dinilai kurang baik. Buktinya, 85 persen dari seluruh politisi perempuan berkinerja baik dan berkualitas mumpuni. Padahal, prosentase politisi perempuan di DPR saat ini baru 17 persen.


Sebagai wakil rakyat, lanjutnya, perempuan calon legislatif ia nilai lebih mampu mengutamakan suara rakyat, tidak lagi berfikir soal profesi atau hanya kepentingan fraksi. Ia juga mengkritisi kebijakan parpol yang merekrut caleg perempuan hanya demi memenuhi aturan kuota 30% caleg perempuan tanpa mempertimbangkan kualitas dan integritas. “Tanpa kualitas. Akhirnya mereka hanya duduk dan diam saja sebagai wakil rakyat,” sesalnya.


Sebagai anggota legislatif, Yani mampu menunjukkan bahwa wakil rakyat bukan hanya perpanjangan tangan fraksi, melainkan sungguh-sungguh sebagai wakil rakyat. Itu ia tunjukkan dengan kiprahnya selama di DPR.Duduk di Komisi II DPR RI, ia tergolong salah satu vokalis Senayan yang lantang bersuara dan mengkritisi berbagai kebijakan.   Namun Yani mampu menempatkan diri dalam posisi yang sesuai serta bersikap konsisten dalam banyak hal.  
Sejak mendapat predikat sebagai wakil rakyat yang dipilih secara langsung oleh masyarakat Indramayu dan Cirebon, Yani langsung tancap gas memikirkan nasib mereka. ia kerap blusukan memperjuangkan tanah petani. Seringkali ia diajak dalam rapat-rapat desa.


Meski tergolong “anak bawang” di Senayan, Yani sejak awal lantang mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah, terutama yang berkaitan dengan bidang tugasnya di Komisi II. Kinerja birokrasi, misalnya, dikritisi dengan keras dengan menyebut aparatur negara hanya menikmati gaji. Postur APBN pun dikritisi dengan keras. Menurut Yani, 70 persen APBN hanya habis digunakan untuk pembiayaan rutin, seperti, gaji pejabat negara. Sementara 30 persen lainnya digunakan untuk publik.


Begitu juga saat mendapat posisi di Komisi V DPR RI, Yani tetap konsisten mengkritisi berbagai kebijakan yang tidak pro rakyat, salah satunya ia menolak dengan keras usulan dana aspirasi atau Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP).


Dana aspirasi ini, dianggarkan Rp20 miliar per anggota selama setahun. Sehingga, total anggarannya Rp11,2 triliun. Tapi dalam rancangan aturannya, dana aspirasi tidak dipegang oleh anggota DPR, melainkan melalui APBN. “Dewan hanya mengusulkan program saja,” jelasnya.


Ia mengatakan usulan dana aspirasi sebagai usulan bagus tapi kurang pas. Ia memahami, banyak aspirasi masyarakat yang disampaikan ke anggota DPR. Tapi aspirasi yang disampaikan DPR ini, tidak semua bisa terwujud oleh pemerintah.


Ia menggarisbawahi, yang harus dipahami adalah dasar hukum dari penggunaan dana aspirasi ini. “Sampai saat ini dana aspirasi masih belum mempunyai landasan hukum yang kuat dalam pelaksanaannya. Dan apabila kondisi tersebut dibiarkan saya khawatir niat baik untuk membangun dapil malah berubah menjadi kasus hukum dan tentu akan semakin menambah citra buruk DPR jika hal yang tidak kita inginkan itu terjadi,” ungkapnya.


Ia juga menyadari, program ini bisa tumpang tindih dengan program pemerintah. Menurutnya, masalah yang lebih penting hari ini adalah bagaimana menyelesaikan ketimpangan pembangunan antara wilayah Jawa dan luar Jawa.


Ia menekankan, DPR harus tetap fokus pada tugasnya dibidang legislasi, budgeting dan pengawasan. Adapun realisasi pembangunan dan program biar menjadi domain pemerintah selaku kuasa pengguna anggaran. “Sehingga, pemerintah bisa fokus melakukan pembangunan dan DPR juga menjalankan fungsi dan tugasnya,” pungkasnya.