Hari Parlemen Indonesia

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 21 October 2015

Naskah: Albar W. & Sahrudi Foto: Dok. MO/Pribadi

Komitmennya untuk memperjuangkan dunia pendidikan nasional ia canangkan saat duduk sebagai Wakil Ketua Komisi X DPR RI. Di Komisi Pendidikan, ini Ridwan Hisjam berjibaku meningkatkan kualitas pendidikan nasional dan menyuarakan agar persoalan pendidikan ditangani hanya oleh satu pintu.

Nama Ridwan Hisjam, jelas bukan figur asing di peta politik nasional. Loyalitas dan dedikasinya sebagai kader Golkar membuat suami dari Siti Nurainiyah, ini menjadi sosok yang diperhitungkan di partai berlambang pohon beringin. Itulah yang kemudian mengantarkannya sebagai Anggota DPR RI pada periode 1999-2004, Wakil Ketua DPRD Jawa Timur periode 2004-2009 dan dalam Pemilu legislatif 2014, alumnus ITS ini kembali dipercaya rakyat menjadi wakil mereka di DPR RI dan duduk sebagai Wakil Ketua Komisi X.


Sebagai pimpinan di Komisi X, pria kelahiran Surabaya pada 26 Mei 1958, ini  tak betah berdiam diri. Tidak hanya gagasan, ide dan pemikiran saja yang ia curahkan, tapi juga turun langsung untuk mengetahui problematika yang dihadapi rakyat terkait ruang lingkup tugasnya di bidang pendidikan, olahraga, dan sejarah. Dari setahun ‘blusukan’ nya mencari tahu problem pendidikan nasional saat ini, ia berkesimpulan salahsatu hal yang menjadi kendala bagi upaya memajukan dunia pendidikan nasional adalah terjadinya over lapping  penanganan pendidikan. Karena setidaknya ada 16 kementerian dan lembaga yang bersentuhan dengan dunia pendidikan dan masing-masing menangani sendiri-sendiri. Ia mengambil contoh, di satu sisi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diserahi tugas menangani pendidikan, di sisi lain ada kementerian lain yakni Kementerian Agama yang juga menangani dunia pendidikan dengan madrasah dari dasar hingga setara dengan SLTA. Dengan demikian, Komisi X yang sejatinya adalah Komisi Pendidikan tidak bisa menyentuh pendidikan yang berada di bawah Kementerian Agama. Karena Kementerian Agama tidak masuk dalam lingkup kerja Komisi X.  “Karena pendidikan itu ada dimana-mana,” ujar Ridwan saat disambangi Men’s Obsession. Hal itu, tentu memerlukan koordinasi yang matang dalam upaya meningkatkan kualitas maupun kuantitas dunia pendidikan nasional.

“Bayangkan saja, dalam soal penganggaran, fungsi pendidikan itu ada di 16 kementerian dan lembaga. Dan itu, diakui Ridwan akan berimplikasi pada penyaluran dana alokasi pendidikan dari APBN. Karena ternyata amanat konstitusi agar anggaran pendidikan 20 persen dari APBN, tidak semuanya masuk ke Kementerian Pendidikan.


“Konstitusi telah mengamanatkan agar anggaran untuk pendidikan itu harus 20 persen dari APBN kita. Saat ini APBN kita sudah mencapai 2000 triliun rupiah. Artinya, alokasi pendidikan yang 20 persen untuk pendidikan itu jatuhnya kurang lebih 400 triliun rupiah yang harusnya di kelola oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaaan dan nanti penyusunan anggarannya dengan Komisi X. Tapi faktanya, angka yang masuk di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak sampai 100 triliun untuk pendidikan, yang masuk kurang lebih hanya 40 triliun. Sehingga patut  pertanyakan kemana kurang lebih anggaran yang 300 triliun? Saya tidak keberatan kalau itu dilaksanakan oleh kementerian lain. Tapi strategi pendidikan sendiri harus dalam 1 komisi, yaitu Komisi X. Bahwa pelaksanaannya ada di kementerian-kementerian lain ya boleh boleh saja,” ucapnya, serius.


Dengan demikian, pendidikan di Indonesia itu adalah betul-betul mencapai apa yang diharapkan, tidak jalan sendiri-sendiri.  Dengan kata lain, tutur pria yang akrab disapa Tatok, segala hal mengenai pendidikan difokuskan di Komisi X dan Kementerian Pendidikan, setelah itu baru dibagi rata. “Kalau sudah begitu, barulah selesai masalah. Kalau tidak begini, guru-guru nggak bisa dibayar, jadi itu hanya dijadikan proyek saja,” keluh alumnus ITS, Surabaya, ini.


Karena harus diakui, problem terbesar di sektor pendidikan saat ini cukup berat. Ambil contoh yang simpel soal tenaga pendidik atau guru. Ia mencatat masalah pengangkatan guru, misalnya. “Banyak guru yang sudah waktunya diangkat namun belum diangkat, istilahnya K2. Saya catat, ada kurang lebih 400 ribu guru yang harus diangkat, tapi tidak diangkat hanya karena tidak ada anggarannya. “Padahal kalau saja amanat konstitusi agar anggaran pendidikan 20 persen diambil dari APBN dan dilaksanakan di satu pintu yakni di Kementerian Pendidikan, masalah guru itu sudah bisa diatasi,” tegasnya.


Perjuangan untuk guru-guru honorer yang belum diangkat itulah yang kini serius dilaksanakan Ridwan Hisjam. “Bagaimana mungkin kita bisa berdiam diri melihat guru yang gajinya hanya 150 ribu rupiah per bulan?” ucapnya, retoris.Tak hanya guru di pendidikan dasar tapi juga untuk guru di pendidikan anak usia dini (PAUD). “Kembali saya tegaskan, kalau saya lihat kenapa ini tak bisa berhasil karena perintah anggarannya tidak difokuskan dalam Kementerian Pendidikan, baik itu di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan maupun di Kementerian Pendidikan Tinggi,” ia menyimpulkan.


Tidak menyatunya pintu dunia pendidikan nasional tersebut, diakuinya juga berimplikasi pada pengawasan DPR di sektor tersebut. Sebagai wakil rakyat yang dititahkan rakyat untuk menyelesaikan problematika pendidikan itu, ia bertekad untuk terus memperjuangkan agar penanganan pendidikan tetap di satu pintu sehingga fungsi pengawasan dan budgeting pendidikan menjadi lebih baik sehingga semua itu akan bermuara kepada peningkatan kualitas pendidikan nasional.