14 CEO PILIHAN

Oleh: Iqbal Ramdani () - 19 February 2018

Naskah: Albar, Foto: Istimewa

Sebagai orang nomor satu di PT Adaro Energy Tbk, Garibaldi Thohir mampu membawa perubahan besar di perusahaan pertambangan itu ke arah yang lebih maju. Kinerja baik terus ia catatkan karena sektor usaha pertambangan batu bara diyakini pria yang akrab disapa Boy Thohir ini masih menjadi bisnis paling prospektif di Indonesia untuk terus dikembangkan. Sehingga bisa membawa keuntungan bukan hanya untuk perusahaan, tapi juga masyarakat dan negara.

 

Pria Pemegang gelar MBA dari Northrop University, Amerika Serikat ini sebenarnya dari awal tidak pernah bercita-cita sebagai pengusaha. Di era Orde Baru ia mengaku lebih senang bekerja sebagai karyawan di perusahaan beken masa itu seperti IBM, Citibank, American Express. Namun karier Boy tidak lama, setelah sempat kerja di Citibank, ia beralih untuk melakoni bisnis properti pada tahun 1991 dengan menggarap proyek Apartemen Casablanca. Tidak lama di situ, setelah berkenalan dengan pengusaha asal Australia, Boy baru menjajal bisnis pertambangan pada 1992, sampai sekarang. 

 

Bisa dibilang karier Boy di dunia pertambangan benar-benar dimulai dari bawah. Sebab, di era 90-an bisnis pertambangan marketnya belum sebesar saat ini. Namun, ia sudah yakin bisnis ini akan menjadi besar karena Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah terutama tambang batu bara. Jatuh bangun menjalankan bisnis ini terus ia lakoni. Boy bahkan pernah merasakan ditinggal para investor pada saat krisis moneter pada 1988, kondisi sulit itu terus ia rasakan sampai tahun 2000. Namun karena ketabahan, dan ketekunannya, Boy saat ini mampu membawa Adaro sebagai perusahaan tambang swasta paling besar di Indonesia. 

 

Besarnya Adaro bukan hanya dalam segi pendapat, perusahaan saat ini memiliki cadangan batu bara sebesar 13,5 miliar ton, Adaro memproduksi 52,5 juta ton batu bara tahun 2016, dan dalam sembilan bulan pertama 2017 memproduksi 39,36 juta ton. Sekitar 20% produksi diserap dalam negeri, termasuk untuk memenuhi kebutuhan pembangkit listrik Adaro sendiri. Sedangkan 80% produksi batu bara diekspor ke luar negeri. Batu bara Adaro diekspor ke Tiongkok (14%), Malaysia (10%), Jepang (10%), Korsel (10%), India (7%), Taiwan (6%), Spanyol (5%), Flipina (3%), dan lainlain %, termasuk ke Thailand.

 

Perusahaan mencatat laba sebesar US$495 juta atau sekitar Rp6,6 triliun (kurs Rp13.500/dolar AS) di triwulan III/2017. Angkanya naik 76% dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Tidak hanya itu, pendapatan bersih perseroan juga naik, sebesar 37% menjadi US$2,4 miliar di akhir September 2017. Bandingkan tahun sebelumnya yang hanya US$1,7 miliar. Lalu EBITDA operasional Adaro juga naik 61% menjadi US$1 miliar. Sampai akhir September 2017, emiten berkode ADRO itu telah berkontribusi US$254 juta dalam bentuk royalti dan US$325 juta dalam bentuk pajak kepada negara. 

 

“Pencapaian kinerja yang baik ini mencerminkan fokus Adaro yang berkelanjutan terhadap keunggulan operasional di seluruh bisnisnya serta peningkatan harga batu bara seiring semakin baiknya kondisi pasar. Kontribusi Adaro terhadap negara yang diberikan melalui royalti maupun pajak juga meningkat dan perusahaan tetap memegang komitmen untuk mendukung pembangunan negara melalui semua pilar pertumbuhannya,” ujar Boy

 

Di bawah kepemimpinannya Adaro juga sudah menuai hasil dengan mengakuisisi 75% saham IndoMet Coal Project dari BHP Billiton dengan nilai US$120 juta pada Juni 2016. Sebelumnya Adaro sudah memiliki saham 25% di perusahaan tambang asal Australia itu sejak tahun 2010. Alhasil, 100% saham tujuh tambang BHP Billiton itu pada 2018 ini sudah dikuasai oleh Adaro. Saham Adaro dengan nama ADRO selama satu tahun belakangan ini telah melompat tinggi sebesar 49% menjadi Rp2.560 dari sebelumnya Rp1.715 per saham. Saham sektor komoditas tambang diyakini masih akan melanjutkan kenaikan pada tahun ini.