15 CEO Pilihan 2019

Oleh: Iqbal Ramdani () - 22 February 2019

Naskah: Subchan Husaen Albari Foto: Istimewa

Belum genap setahun ditunjuk sebagai Direktur Utama PT Industri Kereta Api (Persero) atau yang sering disebut INKA, kinerja Budi Noviantoro sudah terbilang mentereng. Pria kelahiran Bojonegoro, Jawa Timur, 17 November 1960 ini tidak hanya mampu menggenjot pendapatan INKA. Namun dibalik kerja kerasnya, Budi juga mampu mengenalkan produk sarana kereta api Indonesia di kancah pasar Asia. Optimisme dan inovasi adalah kunci kesuksesan Budi membangun perusahaan pelat merah ini. 

 

Optimisme Budi mengembangkan INKA disadari karena kebutuhan kereta api sebagai moda transportasi massal di era ini sangatlah penting. Hal itu berbanding lurus dengan pesatnya pertumbuhan perekonomian di kota-kota besar dan kota-kota penyangganya di Indonesia. Kereta api bahkan diprediksi menjadi satu-satunya transportasi dari masalah kemacetan. Di samping itu, kereta api dipilih karena aman, nyaman, dan terjangkau. Dari situlah, Budi merasa peluang pasar INKA semakin terbuka lebar. Belakangan ini, 100 persen kebutuhan sarana kereta api dalam negeri diproduksi di INKA, baik kereta penumpang maupun gerbong barang. Sampai dengan saat ini INKA telah memproduksi kereta pesanan dari Kementerian Perhubungan, PT Kereta Api Indonesia (Persero), pemerintah daerah, dan juga pihak swasta. Produkproduk tersebut, di antaranya adalah Kereta Kedinasan, Kereta Inspeksi, Track Motor Car (TMC), Kereta Rel Diesel (KRD), Lokomotif, Kereta Penumpang, Gerbong Barang, dan yang terbaru ini adalah Kereta Rel Ringan (LRT).

 

Pada tahun 2018, INKA menggarap pesanan dalam negeri berupa peremajaan 438 unit Kereta Penumpang dari PT KAI. Lalu proyek Kereta Rel Listrik (KRL) untuk Bandara Soekarno - Hatta, KRDE untuk Bandara Internasional Minangkabau, LRT Palembang, dan LRT Jabodebek yang masih dalam proses produksi. Tak hanya itu, di bawah kepemimpinan Budi, diam-diam pasar ekspor pun telah ditembus di tingkat Asia, INKA tengah menggarap pesanan dari Bangladesh, Sri Lanka, Thailand, dan Filipina dengan nilai kontrak proyek mencapai triliunan rupiah. Dengan banyaknya pesanan yang digarap INKA, otomatis telah meningkatkan pula pendapatan yang diperoleh perusahaan milik negara tersebut. Pada tahun 2017, INKA berhasil meraih pendapatan sebesar Rp2,58 triliun atau meningkat sebesar 37 persen dibanding tahun sebelumnya.

 

 Di tahun 2017 tersebut, INKA berhasil meraih laba bersih sebesar Rp75,25 miliar, tumbuh sebesar 68 persen dari laba. Untuk tahun 2018, target penjualan yang ditetapkan sesuai rencana kerja mencapai Rp3,1 triliun dan hingga jelang akhir tahun ini sudah tercapai sebesar Rp3,09 triliun. Adapun mengawali tahun 2019 ini Budi optimistis kinerja perusahaan manufaktur perkeretapian itu kinclong. Alasannya, perseroan telah mengantongi sejumlah kontrak ekspor untuk 2019. Ia mengatakan nilai kontrak ekspor yang sudah tercatat mencapai lebih dari USD150 juta atau sekitar Rp2,2 triliun. 

 

“Kami sudah menjalin kontrak dengan beberapa negara, seperti Bangladesh, Srilanka, Thailand, dan Malaysia untuk tahun depan,” ujarnya saat acara Editor’s Day Bersama INKA bekerja sama dengan Bisnis Indonesia Perwakilan Palembang, di Hotel Excelton Palembang, Sumatera Selatan (Sumsel), belum lama ini. Pesanan pasar Asia tersebut terdiri dari berbagai produk mulai dari lokomotif, medium bus, flat wagon, hingga air conditioner (AC). Potensi pasar ekspor di Asia hingga Amerika Latin dinilai cukup tinggi untuk digarap oleh satu-satunya produsen rolling stocks di Asia Tenggara tersebut. Di luar itu, Budi menyebut masih ada beberapa negara yang potensial untuk jadi pasar INKA, seperti Meksiko, Nigeria, Senegal, dan Tanzania. Dengan memperluas pasar ekspor, perseroan meyakini kinerja perseroan tumbuh subur.

 

INKA menargetkan pertumbuhan kinerja hingga dua digit selama lima tahun ke depan. Guna menjawab peluang itu, pemerintah mendukung perluasan pabrik INKA di Banyuwangi, Jawa Timur, dengan total nilai investasi sekitar Rp1,63 triliun. Dengan perluasan pabrik itu, tenaga kerja lokal di INKA yang kini 5.000-an orang bisa ditingkatkan jadi 8.000 orang. Budi menyebut kesuksesan INKA menembus pasar Asia Selatan tidaklah mudah. Sebab di manapun, kapanpun, INKA selalu bersaing dengan China. Negara Tirai Bambu ini selalu menjadi rival utama INKA di manapun berada. Bahkan, saat ia pergi ke beberapa negara Afrika, ternyata produk kereta api asal China juga hadir di sana. Namun, dengan usaha keras, Budi menyebut INKA mampu menawarkan produk yang tak kalah dari China. Pada akhirnya, produk INKA bisa diterima di berbagai negara. Pihaknya memiliki berbagai strategi, yakni menawarkan produk lebih murah, lebih bagus, dan cepat pengirimnya.

 

“Yang jelas dari manajemen harus mau datang di mana pun. Tidak pilih-pilih pasar. Saya harus ke Kamerun, saya harus ke Senegal, kemarin Dubes Afrika Selatan datang ke kami, minta Botswana didatangi. Botswana itu perbatasan Afrika Selatan,” kata Budi. “Enggak usah takut-takut. Memang harus disuntik kanan-kiri karena ketemunya China lagi. Di manapun mereka ada,” sambungnya. Sukses membawa KAI ke pasar Asia, Budi berkeinginan Indonesia mampu membuat kereta api cepat. Ia berharap mimpinya bisa terwujud pada 2025. Artinya, desain kereta cepat sudah tervalidasi dengan kecepatan 250 kilometer per jam. Untuk mencapai impian itu, Budi menyebutkan dua hal yang paling dibutuhkan, yaitu sumber daya manusia (SDM) dan fasilitas uji. 

 

Karena itu, pria lulusan Teknik Sipil Institut Teknologi Surabaya (ITS) itu telah menandatangani nota kesepahaman dengan sejumlah universitas, seperti Universitas Indonesia (UI), Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dan Universitas Diponegoro (Undip) untuk menciptakan tenaga ahli yang siap dengan memasukkan program studi khusus perkeretaapian.