Jokowi Mengabdi Untuk Bangsa Meraih Ridha Allah

Oleh: Iqbal Ramdani () - 24 January 2019

Naskah: Imam Fathurrohman Foto: Istimewa

Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik mengaku kagum dengan masyarakat Indonesia. Empat tahun bertugas di Indonesia, Moazzam menilai banyak mendapat inspirasi dalam kehidupan keagamaan.

 

Ada nilai lebih, kata Moazzam, yang didapat di Indonesia sepanjang pengalamannya sebagai duta besar. Sebelum di Nusantara, Moazzam pernah bertugas di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Timur. Dia berpengalaman di banyak negara muslim dunia, termasuk pengalaman keterlibatannya dalam kegiatan Muslim di negaranya, Inggris. “Dibanding seluruhnya, Indonesia lebih berhasil untuk menjaga toleransi, pluralisme, dan kebersamaan antara kelompok-kelompok agama,” terang Moazzam Malik saat berbicara pada Semiloka Pengayaan Wacana Agama dan Keberagamaan “Rukun, Ragam, Sepadan”, di Bandung pada Rabu, 28 November 2018. Sebelumnya, apresiasi tinggi atas keragaman di Indonesia juga dituturkan pemimpin Arab Saudi, Raja Salman bin Abdulaziz Al-Saud saat berkunjung ke Jakarta dalam jamuan minum teh bersama dengan Presiden Joko Widodo dan beberapa tokoh agama Indonesia, Jumat (3/3/2017).

 

Saat itu ada sembilan tokoh Islam, empat tokoh Kristen Protestan, empat tokoh Katolik, empat tokoh Buddha, empat tokoh Hindu, dan tiga tokoh Konghucu yang hadir dalam pertemuan tersebut. Raja Salman mengungkapkan kekagumannya pada berbagai agama dan keyakinan yang bisa hidup berdampingan dengan damai di Indonesia. Hal itu diungkapkan Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Istana Bey Machmudin usai pertemuan dengan tokoh lintas agama. “Tadi Raja Salman memberikan sambutan sebentar di awal. Ia mengungkapkan kekagumannya tentang berbagai agama dan keyakinan yang bisa hidup damai berdampingan di Indonesia,” katanya kepada awak media. 

 

Pernyataan Moazzam Malik dan Raja Salman itu tentu bukan sembarang statement. Ada ukuran dan perbandingan yang disampaikan sehingga objektif. Kekaguman yang didasarkan pada fakta sebuah negeri dengan 17.000 pulau, 516 kabupaten dan kota, 34 provinsi, serta memiliki lebih dari 700 suku dan 1.100 lebih bahasa lokal. Ya, sejak dahulu masyarakat Indonesia dikenal paling pintar menjunjung tinggi toleransi dan pluralisme agama. Negeri ini memiliki sejarah sosial panjang dan sudah “tahan banting”, menghadapi berbagai serbuan kelompok intoleran agama yang sudah ada sejak beberapa abad silam.

 

Masyarakat Indonesia juga sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan (agama, etnis, bahasa, dan seterusnya), dan karena itulah motto negara ini adalah Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun ada sejumlah orang karena motivasi ideologi atau doktrin agama tertentu misalnya atau terpengaruh oleh jenis keislaman tertentu. Kemudian, berubah menjadi intoleran, sebagian besar masyarakat di Indonesia masih merawat tradisi toleransi agama. Lihatlah kehidupan di desa-desa dan berbagai daerah di luar Jakarta, bagaimana masyarakat berbagai kelompok agama hidup membaur, tetapi tetap memelihara, menjaga, dan mempertahankan keunikan serta menghormati keragaman masing-masing sebagai warisan leluhur dan nenek moyang mereka. Kondisi ini tentu sangat mendukung kinerja pemerintah dalam merajut damai di tengah-tengah masyarakat.

 

Indonesia Rumah Semua Agama

Penegasan Indonesia ramah pada semua pemeluk agama telah didengungkan jauhjauh hari. Di era pemerintahan saat ini, Presiden Joko Widodo bahkan menyebut Indonesia sebagai rumah bagi semua agama. Jokowi meyakini agama merupakan pendorong demokrasi di Indonesia, bukan penghalang terjalinnya toleransi. Para pemeluk agama di Indonesia sejak dahulu berperan penting dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Tak heran jika nilai-nilai perdamaian tetap dipegang teguh seluruh umat beragama di negeri ini.

 

“Nilai mengenai perdamaian sampai saat ini terus dipegang umat Islam Indonesia. Selain Islam, Indonesia adalah rumah bagi umat Kristiani, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kongfucian,” kata Jokowi saat membuka Bali Democracy Forum pada 8 Desember 2016. Menyinggung Islam, Jokowi menyadari bahwa mayoritas penduduk Indonesia atau sekitar 85 persen merupakan umat Muslim. Namun, ia juga meyakini, Islam di Indonesia tetap mengedepankan perdamaian sebab ajaran Islam masuk Indonesia dengan cara damai. Mantan Wali Kota Surakarta ini menilai, perilaku untuk menjaga perdamaian terlihat jelas di masyarakat.

 

Menurutnya, masyarakat dapat merasakan dan menyadari toleransi dan sinergi terjalin di antara mereka terutama yang berbeda keyakinan. Ia mencontohkan, Pondok Pesantren Bali Bina Insani di Tabanan. Meski mayoritas masyarakat Bali merupakan umat Hindu. Namun, keberadaan pondok pesantren tersebut dilindungi masyarakat sekitarnya. “Jadi, bagaimana mungkin sebuah pondok pesantren dapat hidup aman dan nyaman di tengah masyarakat yang mayoritas penduduknya penganut agama Hindu? Ini semua telah mendorong sinergi antara agama, toleransi, dan demokrasi di Indonesia,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta ini.

 

Contoh lain dikemukakan Jokowi. Ia menyebut, Aksi Bela Islam (ABI) 212 pada 2 Desember 2016 sebagai momen yang luar biasa. ABI 212 merupakan aksi lanjutan mengenai dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama. Namun menurutnya, aksi tersebut berbeda dengan dua aksi sebelumnya. Massa peserta ABI 212 tak lagi berteriak-teriak menyampaikan tuntutannya. Sekitar 7 juta lebih massa itu berdoa dan melantunkan shalawat di halaman Monumen Nasional (Monas). Jokowi pun tak ragu turun langsung menemui dan bergabung dengan peserta aksi untuk berdoa dan bershalawat. Ia mengaku terkesan dengan momen tersebut sehingga ia pun berterima kasih karena aksi dilakukan dengan super damai. Terlebih lagi, selain damai, dan tertib, peserta aksi juga dengan disiplin merapikan dan membersihkan halaman Monas sehingga kembali bersih seperti semula. 

 

Dua hal itu membuat Jokowi meminta peran aktif seluruh lapisan masyarakat untuk memastikan demokrasi dan toleransi tetap terjalin di tengah kemajemukan. Ia menekankan, hal itu mendukung stabilitas, perdamaian yang akan menyejahterakan rakyat. Pemerintah tak tinggal diam. Jokowi menuturkan, setiap kebijakan nasional pemerintah akan mendukung situasi kondusif kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mendorong sinergi agama, toleransi, dan demokrasi. “Pendekatan top-down berupa peran aktif pemerintah menjadi kunci, melalui good governance dan supremasi hukum yang sama pentingnya dengan penguatan demokrasi dari akar rumput,” Jokowi menuturkan.

 

Terobosan Demi Jaminan Kebebasan Beragama

Saat ini, kepemimpinan Joko Widodo di Tanah Air berusia empat tahun. Selama itu pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dinilai telah berhasil melakukan terobosan-terobosan untuk menjamin Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Ada sejumlah produk terobosan yang menyokongnya, di antaranya Presiden telah mengeluarkan Perpres tentang Harlah Pancasila 1 Juni, pembentukan BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila), Perppu ormas, Perpres pendidikan karakter, serta berinisiasi untuk merevisi UU Terorisme yang tujuannya mempromosikan toleransi dan menindak tegas tindakan ujaran kebencian. Kebijakan yang ditujukan untuk menjamin KBB di tengah masyarakat tersebut cukup berhasil. Hal itu dapat dilihat dari tren tindakan kekerasan di Indonesia yang menurun dan ada peningkatan pola perbuatan baik (best practices) selama 2017 berdasarkan laporan Wahid Foundation. 

 

Dalam riset itu ditunjukkan tindakantindakan kekerasan didominasi oleh aktor non-negara, terutama ormas dan institusi di daerah, seperti polres dan pemda. Tren kekerasan pada 2017 cenderung terjadi di DKI dan Jawa Barat. Sementara, pemerintah pusat telah menunjukkan sikap tegas berupa zero tolerance terhadap intoleransi dan melakukan upaya-upaya terukur untuk menindaknya. Di sisi lain, keterlibatan parlemen yang turut aktif memperjuangkan hak KBB melalui inisiatif Kaukus Pancasila sejak 2008 juga patut diacungi jempol. Selain itu, DPR juga terus melakukan mediasi dan lobi-lobi untuk penanganan dan pencegahan kasus kekerasan KKB. Kaukus Pancasila terus melakukan kampanye membangun toleransi, khususnya di kalangan guru dengan bekerja sama dengan BPIP, MPR, dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan pada 2017.

 

Di luar itu semua, Presiden Jokowi rupanya memiliki jurus dalam menjaga toleransi dan perdamaian di Tanah Air, yakni mengajak semua komponen bangsa untuk turut terlibat aktif di dalamnya. Menurutnya, dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, Indonesia juga pasti sesekali mengalami sedikit gesekan. Namun, gesekan kecil itu segera diselesaikan sehingga menjadi pembelajaran yang mendewasakan masyarakat. “Jadi, kalau kita ini ada gesekangesekan kecil ya wajar, tapi segera selesaikan. Jangan sampai dibawa berbulan-bulan, persoalan yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan cepat,” kata Presiden Jokowi saat bertemu dengan tokoh lintas agama yang tergabung dalam Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama Indonesia di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (23/5/2017). Presiden menegaskan, kerukunan dan stabilitas memang diperlukan untuk membangun negara, apalagi pada era kompetisi global seperti sekarang persatuan dan soliditas bangsa Indonesia akan diuji dalam kancah persaingan dunia.

 

“Menurut saya, ada sebuah etos kerja kedisiplinan nasional yang memang harus kita bangun mulai sekarang ini dalam rangka kompetisi dengan negara-negara lain. Sekali lagi, jangan habiskan pikiran kita untuk hal-hal yang menyebabkan iri, dengki, saling hujat, menjelekkan, dan menyalahkan,” jelasnya. Oleh karenanya, Jokowi mengajak seluruh pihak, terutama para tokoh dan pemuka di daerah untuk bersama-sama mewujudkan kerukunan nasional. “Saya titip agar kalau ada percikan sekecil apa pun untuk segera diselesaikan. Jangan tunggu esok hari, selesaikan pada saat api itu masih sangat kecil. Segera padamkan. Ingatkan kepada yang akan bergesekan, kita ini bersaudara. Bahwa kita ini berbeda-beda iya, tapi kita tetap saudara sebangsa dan seTanah Air,” tandas Jokowi.