Jokowi Mengabdi Untuk Bangsa Meraih Ridha Allah

Oleh: Iqbal Ramdani () - 24 January 2019

Naskah: Sahrudi/Pessy Foto: Istimewa

Nama Jokowi sebenarnya sudah dikenal sejak menjabat Walikota Solo, Jawa Tengah. Tambah terkenal ketika jadi Gubernur DKI Jakarta. Dan, semakin terkenal ketika rakyat Indonesia memilihnya sebagai Presiden RI. Yang membuat Jokowi terkenal dan disukai rakyat adalah tiga faktor, yakni pekerja keras, membumi, dan emoh memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.

 

Tak heran istilah “blusukan” populer di era kepemimpinannya. Sebuah kata yang awalnya dianggap sebagai pencitraan. Namun, lama-lama malah ditiru oleh pihak lain sebagai simbol kedekatan dengan rakyat dan segala permasalahannya. Sejumlah kalangan menilai Presiden Jokowi adalah seorang pemimpin yang mandiri, dan wajar kalau ia pun mengharapkan agar bawahannya juga sama mandirinya. Tidak perlu diarahkan setiap harinya. Bagi Jokowi, yang penting adalah bawahannya mengerti tujuan dan parameter dari pekerjaannya, dan dengan itu Presiden Jokowi memberikan kepercayaan atas hasil yang akan diberikan.

 

Presiden Jokowi itu bukan tipe bos yang mesti didewakan, dibawakan payung pun tidak perlu. Ia perlunya didengarkan di awal pekerjaan dengan jelas, ditanyakan ekspektasi dan time frame, dikasih laporan berkala, diberikan penjelasan detail jika ada kendala, dan juga diberikan usul untuk mengatasi kendala itu, serta sedikit diajak bercanda. Jokowi adalah tipe pemimpin yang tidak suka dengan anak buah yang harus “dipecut” dulu baru kerja dan hanya menjelaskan kendala tanpa memberikan opsi penyelesaian. Hanya anak buah yang memiliki kepribadian mandiri yang bisa bersinergi dengan Presiden Jokowi. Gaya kepemimpinan Presiden Jokowi memang menuntut semua orang bertindak cepat karena arus informasi bergerak lebih cepat lagi. Zaman di mana Indonesia harusnya bisa mengejar ketertinggalan dalam banyak hal.

 

Pangkas Menteri yang Tak Efektif

Dengan gaya kepemimpinannya seperti itu tak heran Jokowi kerap melakukan akselerasi kerja dengan melakukan bongkar pasang di kabinet. Tercatat, selama empat tahun menjalankan pemerintahannya, Presiden Joko Widodo terhitung telah empat kali melakukan reshuffle atau perombakan kabinet. Berbagai alasan menjadi penyebab dilakukannya perombakan kabinet, di antaranya untuk mempercepat pencapaian target kerja, adanya menteri yang tersangkut kasus hukum, hingga politis. “Jadi, keputusan ini konsekuensi dari dinamika politik perkoalisian. Sekali lagi, jadi ini soal koalisi,” kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyoal pergantian Asman Abnur sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi oleh Wakapolri Syafruddin ketika itu. 

 

Reshuffle pertama dilakukan saat pemerintahan Jokowi-JK berjalan 10 bulan, tepatnya pada Rabu, 12 Agustus 2015. Darmin Nasution didapuk sebagai Menko Perekonomian menggantikan Sofyan Djalil. Sofyan diberi tugas sebagai Menteri PPN/ Kepala Bappenas menggantikan Andrinof Chaniago. Posisi Menko Kemaritiman yang sebelumnya dijabat Indroyono Susilo digantikan Rizal Ramli. Presiden Jokowi melantik Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menko Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam), menggantikan Tedjo Edhy Purdijatno. Sebelum menjadi Menko Polhukam, Luhut menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Jabatan ini kemudian diisi Teten Masduki. Rachmat Gobel dicopot dari posisi Menteri Perdagangan dan menggantikannya dengan Thomas Lembong. 

 

Presiden mengangkat Pramono Anung sebagai Sekretaris Kabinet menggantikan Andi Widjajanto. Pada 27 Juli 2016, Presiden Jokowi kembali melakukan perombakan kabinet. Ignasius Jonan dicopot dari jabatannya dan posisi Menteri Perhubungan digantikan oleh Budi Karya Sumadi. Menteri PPN Sofyan Djalil digantikan Bambang Brodjonegoro yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Keuangan. Posisi Bambang digantikan Sri Mulyani. Sofyan Djalil yang sebelumnya Menteri PPN dilantik menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang menggantikan Ferry Mursyidan Baldan. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said digantikan oleh Archandra Tahar. Posisi Saleh Husin sebagai Menteri Perindustrian digantikan Airlangga Hartarto. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang sebelumnya dijabat oleh Anies Baswedan digantikan Muhajir Effendy.

 

Jokowi mempercayakan Eko Putro Sandjojo menjadi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) menggantikan Marwan Jafar. Posisi Yuddy Chrisnandi sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB) digantikan oleh Asman Abnur. Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan dipindahtugaskan menjadi Menko Kemaritiman dan posisinya sebagai Menko Polhukam digantikan Wiranto. Posisi Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman digantikan Luhut. Enggartiasto Lukita diberikan amanat sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Thomas Lembong yang dirotasi menjadi kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Thomas Lembong menjabat Kepala BKPM menggantikan Franky Sibarani yang ketika itu ditugaskan sebagai Wamen Perindustrian.

 

Jokowi merombak posisi Menteri ESDM lantaran pengangkatan Arcandra Tahar menuai polemik. Arcandra pun ditugaskan menjadi Wamen ESDM. Posisi Menteri ESDM dijabat Ignasius Jonan pada 14 Oktober 2016 lalu. Reshuffle berikutnya dilakukan Jokowi pada 17 Januari 2018. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengundurkan diri. Posisinya digantikan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham. Posisi Teten Masduki sebagai KSP digantikan Moeldoko. Teten ditugaskan sebagai Koordinator Staf Khusus Presiden. Terakhir reshuffle dilakukan pada 15 Agustus 2018. Menteri PANRB Asman Abnur digantikan Syafruddin yang sebelumnya menjabat sebagai Wakapolri. Posisi Mensos yang semula dijabat Idrus Marham berganti ke Agus Gumiwang.