Jokowi Mengabdi Untuk Bangsa Meraih Ridha Allah

Oleh: Iqbal Ramdani () - 24 January 2019

Naskah: Imam Fathurrohman Foto: Istimewa

Sesungguhnya, kisah ‘cinta’ Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kaum santri sudah melegenda. Blusukan ke pondok-pondok pesantren untuk ‘ngalap’ berkah para kiai dan menyapa para santri mungkin baru ingar-bingar belakangan ini. Tapi nyatanya, cinta Jokowi pada kaum santri telah diembuskan sejak lama.

 

Alkisah, Jokowi pernah membatin soal bagaimana menyatakan cintanya kepada kaum santri. Lama dipendam, lelaki kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961 itu kemudian menyatakannya saat berkampanye di beberapa pesantren yang menjadi basis Nahdliyin. Suatu ketika, Jokowi yang masih menjadi calon presiden, tiba di Pesantren Babussalam. Kehadirannya untuk mengikuti haul pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim As’ayri dan Presiden ke-1 Sukarno. Di akhir acara itulah Jokowi akhirnya berkesempatan menyampaikan ‘cintanya’ dengan menandatangani surat pernyataan mendukung penetapan 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Peristiwa ini dibeberkan pengasuh Pondok Pesantren Babussalam Malang, Agus Thoriq Darwis bin Ziyad.

 

Sebenarnya, kata Thoriq, HSN sudah disuarakan sejak 2010. Thoriq membahas ide tersebut bersama sejumlah pondok pesantren dan ulama di wilayah tapal kuda Jawa Timur, yakni Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Jember. Keluarga mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pun dilibatkan. “Harapannya waktu itu Gus Dur bisa jadi tumpuan penetapan 1 Muharam sebagai hari santri. Namun, takdir berkata lain. Gus Dur wafat,” kata Thoriq. Selain keluarga Gus Dur dan sejumlah ulama sepuh di Jawa Timur, ide HSN juga didukung Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siroj. Dukungan kemudian datang dari beragam pihak, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Cerita tak berhenti sampai di sini. Tak berapa lama setelah Jokowi didapuk secara konstitusional sebagai Presiden Republik Indonesia, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid mengusulkan agar Hari Santri Nasional digeser menjadi tanggal 22 Oktober. Pernyataannya dikemukakan sehari sebelum pelaksanaan HSN pada tahun tersebut. 

 

“Jangan 1 Muharam sebagai Hari Santri,” kata Hidayat di kompleks DPR, Jumat (24/10/2014). Ia beralasan, 1 Muharram merupakan momentum tahun baru bagi umat Islam yang diperingati di seluruh dunia, baik oleh santri maupun tidak bukan santri. Tokoh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini kemudian mengusulkan peringatan Hari Santri Nasional sebaiknya dikaitkan dengan warisan atau jasa santri. Ia mengusulkan agar HSN diperingati pada 22 Oktober, tanggal di mana Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU, mengeluarkan fatwa resolusi jihad. Hidayat mengaku telah berkomunikasi dengan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dan menyetujuinya. Usulan ini lalu dibawa pada pertemuan sejumlah Ormas Islam. Pertemuan yang digelar di Hotel Salak, Bogor pada Rabu, 22 April 2015 lalu itu membahas penetapan Hari Santri Nasional. Sejumlah ormas Islam yang hadir mengirimkan perwakilannya, di antaranya Al-Irsyad, DDII, Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah, NU, dan juga MUI. Selain ormas ada juga sejarahwan dan pakar Islam, Azyumardi Azra. Hasilnya terlihat pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015, di mana Presiden Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.

 

Santri, Penjaga Pancasila dan NKRI

Ahad malam, 21 Oktober 2018. Mengenakan sarung, baju muslim putih dilapisi jas hitam, dan peci hitam, Presiden Jokowi mengurai peran besar ulama dan santri dalam perjuangan bangsa Indonesia. “Sejarah mencatat peran besar para ulama dan santri pada masa kemerdekaan. Menjaga Pancasila, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, memandu ke jalan kebaikan dan kemajuan,” kata Jokowi di hadapan sekitar 10 ribu santri yang hadir di Lapangan Gasibu, Kota Bandung, Jawa Barat. Presiden menuturkan, Hari Santri merupakan penghormatan dan rasa terima kasih negara kepada para alim ulama, kiai, ajengan, dan para santri dan seluruh komponen bangsa yang mengikuti teladan alim ulama, ajengan, serta kiai. Ya, Indonesia tak bisa lepas dari ulama dan santri. Jokowi sadar sepenuhnya tentang ini.

 

Pada HSN tahun 2015, ia pernah mengatakan bahwa para ulama dan santri dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran historis. Ia menyebut nama-nama seperti KH. Hasyim As’yari dari Nahdlatul Ulama, KH. Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah, A. Hassan dari Persis, Ahmad Soorhati dari Al-Irsyad, dan Mas Abdul Rahman dari Mathlaul Anwar serta mengingatkan pula tentang 17 namanama perwira Pembela Tanah Air (Peta) yang berasal dari kalangan santri. “Sejarah mencatat, para santri telah mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut. Para santri melalui caranya masingmasing bergabung dengan seluruh elemen bangsa, melawan penjajah, menyusun kekuatan di daerah-daerah terpencil, mengatur strategi, dan mengajarkan kesadaran tentang arti kemerdekaan,” kata Jokowi di hadapan para santri, ulama, dan tokoh-tokoh agama yang hadir di Masjid Istiqlal Jakarta, Kamis (22/10/2015) silam.

 

Jokowi begitu yakin, penetapan HSN tidak akan menimbulkan sekat-sekat sosial atau memicu polarisasi antara santri dengan nonsantri. Justru sebaliknya, akan memperkuat semangat kebangsaan, mempertebal rasa cinta Tanah Air, memperkokoh integrasi bangsa, serta memperkuat tali persaudaraan. “Penetapan hari santri nasional dilakukan agar kita selalu ingat untuk meneladani semangat jihad ke-Indonesiaan para pendahulu kita, semangat kebangsaan, semangat cinta Tanah Air, semangat rela berkorban untuk bangsa dan negara,” ungkap pria berdarah Jawa tersebut. 

 

Dengan mewarisi semangat itulah, terang Jokowi, para santri masa kini dan masa depan, baik yang di pesantren atau di luar pesantren dapat memperkuat jiwa religius keislaman sekaligus jiwa nasionalisme kebangsaan. Dengan mewarisi semangat itu, sambungnya, para santri juga akan ingat memperjuangkan kesejahteraan, memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan meningkatkan ilmu pengetahuan/teknologi demi kemajuan bangsa. “Semangat ini adalah semangat menyatukan dalam keberagaman, semangat menjadi satu untuk Indonesia. Saya percaya dalam keragaman kita sebagai bangsa, baik keragaman suku, keragaman agama, maupun keragaman budaya melekat nilai-nilai untuk saling menghargai, saling menjaga toleransi, dan saling menguatkan tali persaudaraan antar anak bangsa,” katanya. Ya, Hari Santri memang harus didorong agar menjadi milik bersama. Menjadi milik semua orang Islam yang memang mempunyai rasa nasionalisme.

 

Santri menjadi kata kunci bagi siapapun yang mencintai Indonesia, memahami Islam, dan kemudian menyebarkannya secara damai di Indonesia. Islam yang kemudian menghargai tradisi dan budaya sehingga lahirlah Islam yang ramah. Atau dalam bahasa KH. Ma’ruf Amin, santri merupakan anak-anak bangsa yang memperjuangkan Islam yang tawassuth atau moderat dan tawazun yang berarti seimbang. Para santri berada dalam posisi I’tidal atau tengah-tengah. Dia moderasi, dia ada di tengah-tengah, tidak ada di ekstrem kanan atau ekstrem kiri.