Pahlawan-pahlawan Terlupakan

Oleh: Andi Nursaiful (Administrator) - 10 November 2013
Nama ini adalah salah satu sosok yang paling disembunyikan perannya dalam sejarah nasional, khususnya sejarah kebangkitan nasional. Sungguh ironis, mengingat dia adalah sosok paling penting bagi bangkitnya pergerakan kaum terdidik Indonesia.

Raden Mas Djokomono Tirto Adhi Soerjo (TAS), pertama-tama harus diletakkan dalam setting sosial pergerakan nasional bangkitnya pers pribumi, pintu gerbang bagi kaum terjajah ke alam demokrasi modern. Dan TAS-lah sang pemulanya. Tulisan-tulisannya yang tajam memprovokasi kaum terjajah untuk bangkit dan berani melawan kesewenangan kolonial untuk menjadi kaum mardika.

TAS adalah tokoh idola Pramoedya Ananta Toer, penulis besar yang beberapa kali dinominasikan meraih nobel kesusastraan. Segenap kekagumannya pada sang tokoh ia tuangkan dengan menulis Sang Pemula dan tetralogi Pulau Buru: Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah dan Rumah Kaca. Dalam roman sejarah tetralogi Pulau Buru itu, TAS menjadi tokoh sentral dengan nama Minke.

Sesungguhnya, TAS adalah pemula bagi banyak hal. Ia adalah perintis pers pribumi (Medan Prijaji), ia juga pribumi pertama yang mendirikan NV (dalam bentuk perniagaan), percetakan, hotel, lembaga bantuan hukum, lembaga penyalur tenaga kerja, hingga merintis bidang periklanan.

Ia pula yang  merintis gerakan emansipasi perempuan, sekaligus pendiri Sarekat Prijaji dan SDI (Serikat Dagang Islam, cikal bakal Serikat Islam), organisasi-organisasi modern pribumi pertama dan terbesar di Indonesia, bahkan lebih awal dari Boedi Oetomo.

Lahir di Blora pada 1880, meskipun berasal dari keluarga aristokrat Jawa, TAS sangat berbeda dengan kebanyakan kaum priyayi pada masanya, yang cenderung mencari aman dan menikmati keistimewaan dengan berpihak pada kolonial.

Pendidikan Eropa yang diperoleh Djokomono, begitu nama kecilnya, membuatnya mampu membandingkan kultur kasta bangsawannya, yang ia anggap kuno dan menindas, dengan kultur modern yang membebaskan.

Ia sebenarnya tak banyak mengenal kedua orang tuanya. Sebaliknya, ia mengagumi sosok sang nenek yang gagah berani menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk memprotes ketidakadilan yang ditimpakan pada suaminya, seorang Bupati di Bojonegoro. Dari sang nenek pula ia mendapat petuah untuk percaya pada kekuatan sendiri, tak takut pada kemiskinan dan kehilangan pangkat.

Sikap TAS yang berbeda dari watak kebanyakan kastanya: bicara lugas, berani menentang ketidakadilan, membuatnya tersisih dari pergaulan saudara-saudaranya. Terutama, setelah ia menolak mentah-mentah meneruskan jabatan bapaknya.

Dengan pena, TAS mampu menyadarkan bangsanya. Di tangannya, pers menjelma menjadi senjata pembela keadilan. Dalam Zaman Bergerak, Takashi Shiraishi menyebut TAS sebagai bumiputra pertama yang menggerakkan bangsa melalui tulisan. Dan dengan organisasi, TAS merintis kebangkitan nasional dan memulai proses pemerdekaan.

Sungguh ironis bahwa peran TAS yang begitu besar, sukses diburamkan oleh propanda ...