Konsultan Politik: Dari Image Branding Hingga Spin Doctor

Oleh: Andi Nursaiful (Administrator) - 07 August 2014
Profesi konsultan PR politik atau biasa disebut juga press agent atau publicist awalnya dikembangkan oleh sepasang suami-istri Cleam Whitaker dan Leon Baxier di Los Angeles, AS,  pada 1933 dengan nama Campaign Inc. Istilah PR konsultan politik ini digunakan hingga 1984, setelah tim kampanye Ronald Reagan menggantikannya dengan istilah spin doctor.

Di Indonesia, pakar komunikasi politik, Effendi Gazali pernah meramalkan di masa Orde Baru bahwa profesi konsultan politik akan banyak dibutuhkan. Ramalan itu kini terbukti. Aturan pilkada hingga pemilihan presiden secara langsung, menjadikan profesi konsultan politik mutlak diperlukan. Profesi konsultan politik ini menjadi tren, lembaga konsultan politik menjamur, bisnis komunikasi politik mulai menjadi industri.

Selain menguasai dunia politik, profesi atau bisnis ini membutuhkan skill komunikasi yang baik. Sebab, seorang konsultan politik harus mampu bekerja sama dan berkoordinasi dengan banyak pihak, seperti tim sukses kandidat, lembaga survei, advertising agency, media center, hingga event organizer.

Yang tak kalah penting, tentu saja adalah lembaga survei. Survei menjadi hal yang paling berperan dalam menentukan strategi komunikasi politik. Sebab, cara itu sekaligus berfungsi mempelajari karakter calon pemilih di  tiap daerah. Melalui survei, konsultan politik baru dapat menentukan strategi terbaik untuk memoles kandidat.

Konsultan politik juga kerap dinamai keagenan politik (political dealership), mengacu pada upaya untuk memasarkan seorang calon. Tak heran jika kemudian muncul ungkapan, untuk mencari leadership dibutuhkan dealership.

Kini konsultan politik dan lembaga survey munculnya bak jamur di musim hujan. Sebut saja Lembaga Survei Indonesia, Lingkaran Survei Indonesia, Indo Barometer, Strategic Political Intelligence (Spin), Akbar Tandjung Institute, Amien Rais Institute, SMRC, dan seterusnya. Ini belum termasuk lembaga think tank yang hanya sebelumnya melakukan kajian kualitatif, tapi belakangan ikut-ikutan melakukan survei kuantitatif tentang popularitas.

Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research Centre (SMRC), Grace Natalie, mengakui lembaga survei dan konsultan politik adalah bisnis yang sangat basah. Baginya, lembaga konsultan politik dan lembaga survey adalah industri baru yang sangat prospektif di Indonesia.

Potensi pasar industri baru ini cukup menjanjikan. Dalam pemilihan legislatif tahun 2014 saja ada 560 kursi DPR, 2.112 kursi DPRD provinsi, 16.895 kursi DPRD Kabupaten/Kota. Ada 259 daerah pemilihan untuk tingkat provinsi, dan 2.102 daerah pemilihan tingkat kabupaten.

Jika diasumsikan dalam satu dapil, masing-masing partai mencalonkan 10 nama, maka satu daerah bisa mempunyai 120 calon yang bertarung. Jumlah itu belum termasuk dengan pasangan-pasangan calon yang bertarung dalam 530 pemilihan kepada daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia.

Direktur Eksekutif Indo Barometer Muhammad Qodari juga mengakui besarnya potensi pasar tersebut. Ia pun menebar jaringan di seluruh Indonesia untuk mengurus permintaan, baik calon anggota legislatif maupun calon yang bertarung dalam pilkada. Ia mengaui di tiap daerah pemilihan lembaga punya akses. “Ada satu dapil di mana saya kenal 10 calon legislatif,” akunya.

Perputaran uang dalam bisnis ini tergolong menggiurkan. Seorang calon yang bertarung dalam pesta demokrasi, baik pemilihan eksekutif maupun legislatif diperkirakan menghabiskan dana miliaran rupiah. “Pilkada di atas Rp 5 miliar sudah pasti untuk kegiatan dia,” ungkap Grace.

Untuk survey saja, kata Grace, minimal sekali survei untuk sekitar 400 responden bernilai Rp100 juta. Sementara rata-rata survey menggunakan 2000-3000 responden. Jika surveinya secara nasional, dananya dipastikan bakal membengkak hingga milyaran rupiah. Satu klien umumnya memerlukan survei minimal tiga kali, dam intensitas itu meningkat jika durasi masa kerja lebih lama.

Satu hal yang pasti, menyewa konsultan politik dan/atau lembaga tak otomatis menjadikan seseorang berhasil mencapai kursi jabatan. Tak sedikit juga keluhan bahwa lembaga survey gagal mengantar kleinnya mencapai tujuan.

Dalam sebuah acara diskusi dan evaluasi publik beberapa waktu lalu, seorang politisi nasional
Mewaspadai tiga lembaga survei. Pertama, lembaga survei komersil yang tidak melaksanakan survei dan hanya mengeruk keuntungan dari kandidat-kandidat. Kedua, lembaga survei amatir yang dikenal dengan metodologinya yang kacau. Ketiga, lembaga survei tidak komersil, tidak amatir, namun memiliki kelemahan memprediksi.

Sejak 2009, para praktisi konsultan politik telah membentuk Asosiasi Konsultan Politik Indonesia (AKPI). AKPI mengikuti gaya asosiasi di Amerika Serikat (AS) yang bersifat individual, bukan lembaga.