Konsultan Politik: Dari Image Branding Hingga Spin Doctor

Oleh: Andi Nursaiful (Administrator) - 07 August 2014
Naskah: Andi Nursaiful/berbagai sumber, Foto: Istimewa/Dok.MO

Hiruk pikuk pemilihan presiden (Pilpres) 2014 sesungguhnya bukan hanya adu program di antara dua kandidat capres/cawapres. Juga bukan cuma pertarungan sengit dua tim kampanye, dan bukan semata saling caci dua kubu netizen pendukung.

Yang tidak tampak di permukaan adalah adu strategi di antara para konsultan politik, khususnya Rob Allyn dan Denny JA. Perang antara konsultan politik asing dan lokal ini berakhir untuk kemenangan rakyat Indonesia.


Bagi sebagian besar publik awam, Pilpres 2014 ibarat sebuah medan laga. Hampir setiap individu, melek atau tidak melek politik, punya atau tidak punya hak pilih, ‘dipaksa’ untuk berpihak ke salah satu kandidat. Sebagian memilih secara rasional, sebagian lainnya emosional. Ada yang menetapkan pilihan karena alasan ideologis-religius, ada pula karena dorongan primordial-kulktural. Pendeknya, tersedia banyak alasan untuk menetapkan pilihan.

Di balik itu semua, pesta demokrasi Pilpres 2014 yang mempertemukan dua kandidat kuat, Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dengan dan Jokowi-JK, menjadi sebuah laboratorium politik yang paling tepat bagi para pembelajar dan pemerhati politik. Praktik demokrasi modern yang telah membelah dua masyarakat heterogen Indonesia ini, memberi contoh nyata tentang apa itu dunia politik praktis, dan bagaimana cara-cara kerja konsultan politik.

Kampanye Hitam vs Pencitraan Positif
Tak kasat mata oleh awam, Pilpres 2014 sesungguhnya menjadi ajang adu strategi di antara dua konsultan politik, yakni konsultan politik AS dari Partai Republik Rob Allyn, dengan pendiri Lingkaran Survey Indonesia (LSI) Denny JA. Jika dicermati dalam bingkai lebih luas, perang strategi Rob Allyn-Denny JA adalah perang antara kampanye hitam/negatif versus kampanye pencitraan positif.

Anda mungkin pernah mendengar langsung atau sekadar cerita seseorang bahwa anak-anak kecil meneriakkan kalimat, "Jokowi! Jokowi! Orangnya belum sunat!" sambil bermain. Menurut Made Supriatma, peneliti masalah-masalah politik militer, itu adalah pertanda bahwa smear campaign (kampanye fitnah) atau black campaign (kampanye hitam) yang dilancarkan oleh kubu lawan Jokowi itu bekerja dengan baik. “Dia sudah sampai ke tingkat anak-anak. Jika para orangtua hanya mendengarnya lewat bisik-bisik, anak-anak meneruskannya menjadi pengumuman,” sebutnya.

Tak bisa disangkal lagi, kampanye hitam memang nyata dalam Pilpres kali ini. Bahkan, hadir dalam skala yang tidak pernah ada sebelumnya. Kampanye hitam menimpa kedua kandidat, meskipun lebih banyak ditujukan kepada Jokowi ketimbang Prabowo. Menurut Made, itu lantaran problem berbeda yang dihadapi oleh kedua kandidat. Masalah utama yang harus dihadapi oleh Prabowo adalah data, terutama data sejarah yang berupa rekam jejaknya pada masa lalu. Sementara, tantangan utama Jokowi adalah kampanye hitam baik dalam bentuk disinformasi, tuduhan rasial dan agama, maupun rekam jejak dalam kehidupan publiknya sebagai politisi.

Made mengibaratkan, Prabowo adalah sebuah buku novel yang isinya sudah diketahui publik, sementara Jokowi adalah buku kosong yang perlu ditulis. Semua orang tahu akan sepak terjang Prabowo, mulai dari kakeknya, ayahnya, dan mertuanya (Suharto). Juga rekam jejaknya sebagai perwira militer, tingkah lakunya dalam banyak kasus pelanggaran HAM, dan kehidupannya sesudah dinonaktifkan dari dinas militer, lalu menghabiskan waktunya untuk berkampanye menjadi Presiden Republik Indonesia.

Sebaliknya, Jokowi adalah figur yang baru melejit ke publik selama dua tahun terakhir ini. Sebelum itu dia hanya dikenal di lingkup Solo, Jawa Tengah, di mana dia menjadi walikota. Dia mulai mendapat perhatian luas dari publik saat dia mencalonkan diri untuk gubernur DKI Jakarta. Sejak saat itu, karier politiknya menanjak tajam. Namun, tidak banyak orang kenal siapa dia.

Pengetahuan publik hanya terbatas pada apa yang dia kerjakan sebagai Walikota Solo dan hampir dua tahun menjabat gubernur DKI Jakarta. Itulah sebabnya, Jokowi itu bagaikan buku kosong yang butuh untuk diisi tulisan. Di sinilah lawan dan sekutu politiknya berusaha untuk mengisi halaman-halaman buku itu. Lawan dan kawan politik Jokowi berusaha memberikan definisi tentang siapa Jokowi sebenarnya.

Di titik itulah kampanye hitam bekerja. Rob Allyn konon masuk mengisi ruang kosong ini. Mulai dengan mendefinisikan Jokowi sebagai Kristen dan keturunan Cina, lalu meningkat dalam bentuk tabloid Obor Rakyat yang samar-samar memiliki kaitan dengan kampanye Prabowo-Hatta, diteruskan dengan isu presiden boneka hingga antek asing. 

Meskipun kubu Prabowo-Hatta membantah telah menyewa Rob Allyn, namun mereka tidak membantah kalau Rob Allyn memang bekerja untuk perusahan yang dikontrak oleh tim kampanye kubu Prabowo. Sebetulnya, seperti dikutip tempo.co, 5 Juli 2014, Ketua Partai Gerindra, Suhardi, membenarkan bahwa Rob Allyn adalah salah satu konsultan politik kubunya.

Rob Allyn dikenal setelah sukses membuat Gubernur George W. Bush terpilih kembali di Texas pada 1994. Ia juga banyak menangani politisi lokal di AS, dan perusahan konsultan miliknya  memiliki nama besar di luar AS. Misalnya, sukses menaikkan Vincente Fox menjadi presiden Meksiko tahun 2000.

Sejak itu, Allyn mengembangkan usahanya di luar AS. Dia mulai bergerak di Indonesia diperkirakan sekitar tahun 2004, dengan menjadi konsultan politik untuk Partai Golkar. Harian The New York Times, edisi 28 Desember 2006, menyebutkan bahwa Allyn bekerja untuk Partai Golkar. Ada kemungkinan bahwa Allyn membantu Prabowo untuk memenangi konvensi Partai Golkar saat itu dan tidak secara langsung membantu Partai Golkar. Kepada Dallas Observer Allyn, mengaku bahwa dia hidup selama sembilan bulan dalam setahun di Indonesia.

Membuktikan keterlibatan Rob Allyn secara resmi dalam kampanye hitam pada Pilpres 2014, memang sulit. Sebabnya, antara lain, kebanyakan kampanye hitam dilakukan secara rahasia, oleh kelompok rahasia, dan disokong oleh dana-dana gelap.

Di kubu Jokowi-JK pun bukan tidak ada tudingan keterlibatan konsultan asing. Bahkan, tudingan ini jauh lebih kencang ketimbang yang dialamatkan pada Prabowo-Hatta. Nama Stan Greenberg santer dikaitkan dengan langkah Jokowi sebagai capres. Dialah peracik strategi pemenangan Barack Obama, dan menjadi CEO Greenberg Quinlan Rosner, firma polling dan konsultan politik terkemuka di AS. Bersama James Carville dan Bob Shrum, dia juga mendirikan Democracy Corps, organisasi non-profit yang senantiasa mempelajari strategi politik.

Bersama GQR, Greenberg sukses mengantar Bill Clinton menjadi presiden AS untuk dua periode. Greenberg juga diklaim berhasil mengantarkan 11 pemimpin dunia lain berhasil menduduki jabatan strategis, termasuk Nelson Mandela di Kongres Nasional Afrika 1994. Dalam situs resminya, secara terbuka Greenberg mencatat lengkap mengenai riset dan memaparkan seluruh klien secara terbuka.

Konon, Greenberg menggunakan hampir seluruh media untuk menciptakan image merakyat ala Jokowi. Greenbeg juga dikatakan telah membidani kelahiran tim sukses Jokowi di media sosial, mengerahkan tokoh, akademisi, pengamat, aktivis dan politisi untuk membentuk opini mendukung Jokowi.

Masuknya Greenberg diisukan melalui taipan James Riady (Lippo) yang dikenal mendanai kampanye Clinton. Tak mustahil James Riady juga mendanai kampanye Jokowi dan menyewa ahli pencitraan untuk Jokowi.

Masalahnya, keterlibatan Greenberg di tim Jokowi-JK sulit dikonfirmasi. Di situs resmi GQR, greenbergresearch.com, tidak muncul Jokowi sebagai salah satu klien. Greenberg juga tidak pernah mem-posting satupun pembahasan tentang Jokowi.

Salah satu blog independen mencoba mengonfirmasi kantor GQR melalui kontak telepon di +1 202 478 8300 dan Fax di +1 202 478 8301, dijawab belum pernah ada satupun tokoh Indonesia yang menggunakan jasa mereka, baik untuk pencitraan maupun pemenangan pemilu.

Bisa jadi pekerjaan Greenberg memang dirahasiakan. Kerahasiaan klien sangat mungkin terjadi karena ada Undang-Undang di AS melarang pembocoran identitas klien tanpa izin sang klien. Sehingga tidak memungkinkan bagi siapapun dari Indonesia untuk mendesak pengungkapan siapa yang menyewa Greenberg tanpa adanya delik hukum atau perintah pengadilan.

Akan tetapi, kerahasiaan ini ini pula yang bisa saja dimanfaatkan oleh pelaku-pelaku propaganda, untuk merancang suatu argumentasi karena akan sangat sulit dilakukan penyelidikan yang akurat.

Masalahnya, keterlibatan Greenberg (seandainya betul), tetap tidak mampu menggoyahkan keyakinan pendukung Jokowi-JK. Sebab, seperti diisukan, Greenberg bekerja untuk menciptakan image branding positif  kepada Jokowi, bukan justru menyerang Prabowo-Hatta dengan kampanye hitam (sebagaimana massifnya kampanye hitam kepada Jokowi-JK).

Yang terang, pengakuan resmi datang dari Lingkaran Survei Indonesia (LSI) yang mengakui bahwa Direktur Eksekutif LSI, Denny JA, secara pribadi ditunjuk sebagai konsultan politik Jokowi-JK pada 20 Juni 2004.

Penunjukan itu dilakukan 20 hari menjelang pencoblosan, ketika kampanye hitam ke kubu Jokowi-JK kian massif, yang membuat elektabilitas Jokowi-JK menurun cepat. Sebelumnya, partai pengusung Jokowi-JK, PDI Perjuangan, menyewa lembaga konsultan politik Fastcom, yang dididirikan oleh Ipang Wahid, putra tokoh Nahdlatul Ulama Solahuddin Wahid.
 
Dalam rilisnya, LSI mengakui Denny JA mempekerjakan jaringannya di 11 provinsi yang menjadi target. Total populasi dari 11provinsi itu sudah di atas 70% dari seluruh populasi
Indonesia. Jaringan itu sudah ia kelola sejak memenangkan pilkada di daerah itu.

Ribuan relawan dilatih untuk door to door ke rumah wong cilik. Total rumah tangga yang
didatangi pasukan relawannya, diklaim jutaan. Denny JA menargetkan mengambil kembali hati
wong cilik yang pindah ke Prabowo, setidak 5% dari total populasi pemilih.

LSI mengakui, pihaknya memang telah sukses bekerja menghalau kampanye hitam, namun kunci kesuksesan Jokowi-JK adalah pesona pribadi Jokowi-JK sendiri. “Jokowi berhasil membangkitkan harapan publik akan perubahan kultur politik. Jokowi datang sebagai pemimpin
Dengan kultur politik yang berbeda. Pesona pribadi Jokowi-JK inilah yang mampu membangkitkan meluasnya dukungan sukarela dari selebriti ataupun tokoh publik yang punya rekor integritas tinggi,” demikian LSI dalam rilisnya.

Bersambung ke: Cara Kerja Konsultan Politik