Konsultan Politik: Dari Image Branding Hingga Spin Doctor

Oleh: Andi Nursaiful (Administrator) - 07 August 2014
Pada perkembangannya, konsultan politik ini mulai memperoleh nama alias yang populer, Spin Doctor. Ia berada pada posisi tengah antara politisi yang akan dipasarkan, dengan media massa yang akan mempromosikannya. Di Indonesia, Spin Doctor lebih banyak dikenal dengan istilah manajer kampanye, yang menentukan pengarahan opini publik dalam pencitraan kandidat.

Salah satu kehebatannya adalah merumuskan kampanye politik yang efektif, termasuk memlintir isu untuk mengangkat citra klien atau melemahkan citra lawan. Dengan kata lain, spin adalah instrumen berfungsi ganda.Bisa menjadi alat bertahan, dan pada kesempatan lain berfungsi menjatuhkan lawan.

Pencitraan positif direncanakan sedemikian rupa dengan menyerang alam bawah sadar publik bahwa tokoh tertentu memang benar seperti yang dipertontonkan. Sementara itu, hal-hal sepele yang bisa melemahkan citra positif itu berusaha dihilangkan.

Sebagai contoh, tim sukses Obama mengusir dua orang pendukungnya yang menggunakan jilbab saat berada di belakang Obama ketika berkampanye. Jika kedua orang ini tertangkap kamera media massa, Obama akan dianggap mendukung kelompok Islam, yang dalam konteks Amerika yang masih mempunyai trauma pasca tragedi 11 September. Contoh lain, agar terlihat santai dan rileks di depan pendukungnya, tim sukses George Bush memintanya melonggarkan dasi dan menggulung lengan kemeja.

Penampilan Jokowi berkaos oblong di depan puluhan ribu massa di Gelora Bung Karno saat konser musik Salam Dua Jari menjelang hari pencoblosan 9 Juli, adalah bentuk pencitraan untuk menggambarkan ‘penyatuan’ Jokowi dengan rakyat kebanyakan.

Sementara itu, pemilihan seragam Tim Koalisi Merah Putih Prabowo-Hatta, yakni kemeja lengan pendek warna putih dengan celana berwarna krem menyerupai pakaian masa-masa revolusi kemerdekaan RI, adalah pencitraan untuk memperkuat citra nasionalisme mereka.

Sebagai alat serang, spin memanfaatkan isu untuk dipelintir, dieksploitasi habis-habisan dalam konferensi pers, wawancara, talkshow, hingga artikel di koran atau majalah. Semakin kontroversial dan ramai semakin baik, karena dengan begitu dia semakin mendapat panggung untuk melakukan serangan.

Keburukan-keburukan klien, biasanya diatasi dengan teknik cherry picking, atau menyeleksi fakta atau kutipan dan hanya menampilkan fakta yang menguntungkan kelien. Ada pula teknik non-denial denial, yaitu sikap “tidak membantah tidak menolak” terhadap fakta keburukan klien.

Teknik lain lagi adalah “mengubur berita buruk.” Pada konferensi pers, misalnya, informasi yang bersifat populer dan memiliki nilai berita tinggi sengaja diumumkan berbarengan dengan informasi-informasi lain yang kurang menguntungkan, dengan harapan perhatian media akan lebih terfokus pada informasi yang populer dan mengesampingkan informasi-informasi buruk yang disampaikan bersamaan.

Contoh penerapan teknik-teknik spin di Indonesia sudah bisa dilihat sejak masa Presiden SBY. Dalam sebuah acara bersama anggota militer, Presiden SBY bercanda seputar gajinya yang tak pernah naik selama beberapa tahun. Ucapan itu maksudnya untuk memotivasi para prajurit agar tidak terlalu gelisah memikirkan kenaikan gaji bulanan yang mereka terima.

Akan tetapi, pernyataan SBY dimanfaatkan oleh lawan politik. Dengan framing (pembingkaian informasi) yang sangat kentara, ucapan itu didistorsi sedemikian rupa sehingga seolah-olah sang presiden adalah orang yang tak mengenal puas dan selalu mengeluhkan gaji.

Bersambung ke: Kemenangan Rakyat