Konsultan Politik: Dari Image Branding Hingga Spin Doctor

Oleh: Andi Nursaiful (Administrator) - 07 August 2014
Kita juga sudah menjadi saksi hidup kerja-kerja konsultan politik dan aksi spin doctoring selama proses Pilpres 2014. Kerja-kerja profesional itu terlihat sangat telanjang di mata para pengamat dan pembelajar politik. Baik yang berupa kampanye negatif  dan hitam, maupun pencitraan positif dan personal branding.

Yang menarik, proses yang terjadi Indonesia memberikan hasil yang berbeda jika diperbandingkan dengan di belahan dunia lain. Di luar sana, kampanye negatif dan hitam yang didukung jaringan media massa yang luas, terbukti sangat efektif untuk menghentikan laju lawan. Tapi di Indonesia, kampanye hitam secara massif dan membabi-buta yang menyerang kubu Jokowi-JK, meskipun pada awalnya terlihat efektif, ternyata pada akhirnya tak mampu membendung kekuatan citra positif yang melekat atau dilekatkan ke figur Jokowi.

Ada penjelasan yang rasional untuk hal ini. Seperti diketahui, pasca Reformasi 1998, Indonesia belum juga mampu keluar sepenuhnya dari keterpurukan. Tiga kali Pilpres sejak 1998 (1999, 2004, 2009) dirasakan belum mampu mencetak pemimpin yang benar-benar mampu membawa bangsa ini untuk berdiri setegak-tegaknya berdiri.

Selama lebih dari satu setengah dekade sejak keruntuhan rezim otoriter Soeharto, publik menyaksikan secara telanjang betapa partai politik dan para elite hanya sibuk berebut kekuasaan. Pada akhirnya muncul suasana kebatinan pada sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa negeri ini tak akan pernah bisa lepas dari masalah selama pemimpinnya masih menjadi bagian dari masa lalu.

Ketika kemudian Jokowi muncul dengan imej satu-satunya calon pemimpin yang bukan berasal dari partai politik, mempertontonkan gaya komunikasi non-verbal yang sangat berbeda dari politisi kebanyakan, dan menawarkan konsep kebaruan di berbagai program, maka publik seolah menemukan the choosen one.

Kampanye hitam yang dialamatkan kepada Jokowi, mungkin saja berhasil ditepis melalui polesan pencitraan dari tim konsultannya. Akan tetapi, tak bisa dipungkiri bahwa rakyat dan pemilih Indonesia kini jauh lebih melek politik, jauh lebih cerdas dan kritis dibanding masa-masa sebelumnya.

Rakyat pemilih, yang sebagian besar adalah pemilih pemula dengan tingkat pendidikan mencukupi untuk bersikap kritis, ditambah akses informasi yang begitu mudah di era internetisasi, mampu membuat mereka memilah mana informasi yang benar dan mana yang hanya hoax. Tapi yang paling penting adalah suasana kebatinan rakyat yang merindukan kebaruan. Dan, kebetulan, Jokowi yang menjanjikan harapan akan kebaruan itu.

Bersambung ke: Kisah Duo David dan Tukang Plintir dari Negeri Paman Sam