Momentum Kebangkitan BUMN

Oleh: content (Administrator) - 05 May 2013
Naskah            : Andi Nursaiful
Foto/Ilustrasi  : Dok.MO

 

Meski baru berusia seumur jagung, 15 tahun, Kementerian BUMN harus diakui telah melakukan tugasnya dengan baik dalam mengelola perusahaan milik rakyat banyak (baca: Negara). Apresiasi besar layak disampaikan kepada Menteri BUMN yang ke-8, Dahlan Iskan, yang telah membawa BUMN berlari di jalur cepat. Momentum kebangkitan ini seharusnya terus dijaga hingga kelak BUMN benar-benar mampu menjadi motor penggerak perekonomian nasional.

 

Berapa sesungguhnya usia Badan Usaha Milik Negara (BUMN)? Pertanyaan ini mengundang banyak jawaban. Jika yang dimaksud adalah Organisasi Pemerintah yang memiliki Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi) melaksanakan pembinaan terhadap Perusahaan Negara/BUMN, sesungguhnya telah ada sejak tahun 1973, yang kala itu masih merupakan bagian dari unit kerja di lingkungan Departemen Keuangan.

 

Jika yang dimaksud adalah Kementerian BUMN, maka usianya baru seumur jagung, yakni sejak reformasi 1998. Namun jika yang dimaksud adalah perusahaan milik negara, maka BUMN pertama lahir sejak tahun 1958, yakni ketika pemerintah melakukan nasionalisasi perusahaan-perusahaan milik Belanda, mulai dari perkebunan, perbankan, perminyakan, hingga rumah sakit.

 

Eksistensi BUMN dari nasionalisasi perusahaan-perusahaan Belanda, telah mengubah fundamental struktur perekonomian Indonesia, ketika 90% produksi perkebunan, 60% nilai perdagangan, 246 pabrik, perusahaan pertambangan, perkapalan, perbankan, dan berbagai sektor jasa beralih tangan ke pemerintah Indonesia.

 

Usia 55 tahun keberadaan BUMN (1958-2013), boleh dibilang sudah cukup tua untuk ukuran sebuah perusahaan. Namun pertanyaan berikutnya, sudah seberapa sehatkah perusahaan-perusahaan milik Negara ini?

 

Pertanyaan di atas menjadi begitu krusial dewasa ini, terutama ketika bangsa Indonesia memperingati momentum 105 Kebangkitan Nasional pada tahun ini. Undang-Undang Dasar 1945 jelas-jelas mengamanatkan tentang pelaku ekonomi nasional, yang terdiri dari tiga bentuk badan usaha, yakni swasta, BUMN, dan koperasi.

 

Menggunakan logika sederhana, di antara ketiga pelaku ekonomi itu, selayaknya BUMN yang menjadi motor penggerak perekonomian nasional. Selain karena dimiliki oleh rakyat/negara, sebagian besar BUMN sejatinya adalah “kelanjutan”  dari perusahaan-perusahaan besar milik pemerintah dan swasta Belanda yang umumnya mengelola utilitas publik. Praktis, BUMN adalah aset ekonomi bangsa dan negara yang terpenting.

 

Berbagai  kebijakan telah ditempuh pemerintah guna meningkatkan kinerja BUMN, namun sayangnya kinerja BUMN cenderung memburuk dari tahun ke tahun. Pada kurun waktu 1988 sampai dengan 1995, terjadi kemerosotan produktivitas BUMN.  Upaya penyehatan BUMN ditempuh dengan cara mengucurkan dana segar kepada BUMN.

 

Hingga tahun 1997, banyak BUMN yang terlibat di banyak sektor perekonomian nasional, dengan total aset sebesar Rp461,6 triliun. BUMN yang berada di bawah pengawasan kantor Menteri Negara Pendayagunaan BUMN mencapai 160 BUMN, di mana hanya 74 perusahaan (42,6%) masuk dalam kategori baik dan baik sekali, sementara sebagian besar (53,8%) berada  dalam kategori kurang baik dan tidak baik.

 

Antara tahun 1997-1998 kinerja BUMN mulai menunjukkan perbaikan dengan jumlah BUMN yang sehat dari 82 bertambah menjadi 87, peningkatan pendapatan sebesar 155,2% dan laba usaha meningkat sebesar 207,1%.

 

Pada tahun 1998, dengan penjualan Rp 81,69 triliun, BUMN mampu mencetak laba bersih Rp 17,61 triliun. Tahun 1999, total aset BUMN mencapai Rp 861.520 miliar dengan penjualan Rp 169.253,4 miliar, serta laba setelah pajak Rp 14.271 miliar. Dengan penjualan Rp 169,25 triliun, BUMN ternyata mengontribusi laba bersih lebih rendah, yaitu Rp 14,27 triliun.

 

Jika dibandingkan dengan kinerja pada tahun 1998, maka pada tahun 1999 terjadi penurunan prestasi. Pada tahun 2000, kembali terjadi penurunan laba bersih. Baru pada tahun 2001, BUMN mampu mencetak laba bersih sebanyak Rp 18,8 triliun, 2002 sebesar Rp 26 triliun dan 2003 sebesar Rp 28 triliun. Pada tahun 2003 jumlah BUMN yang sehat meningkat menjadi 128 BUMN.

 

Satu dasawarsa berselang, 2013, wajah BUMN boleh dibilang tak lagi buruk rupa. Hingga akhir 2012 ini, Kementerian BUMN menyebutkan hanya ada 16 dan 140 BUMN yang merugi. Artinya, jumlah BUMN merugi kembali berkurang 6 perusahaan dibanding tahun sebelumnya yang mencapai sebanyak 22 perusahaan. Meskipun, ini tetap meleset dari target BUMN merugi 2012 sebanyak empat perusahaan.

 

Sepanjang 2012, prognosa laba bersih teratribusi (yang menjadi hak milik perusahaan) tercatat sebesar Rp 128 triliun atau 92,84 persen dari target Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan 2012 sebesar p 137,8 triliun. Total laba BUMN ini, sebagian besar disumbang oleh perbankan BUMN sebesar Rp 43,8 triliun yang naik dari tahun sebelumnya sebesar Rp 34,2 triliun. Sementara total sumbangan dari BUMN non-perbankan mencapai Rp 33,03 triliun.

Tahun depan, Kementerian BUMN menargetkan kembali akan memangkas jumlah BUMN menjadi 100 perusahaan. Antara lain, dengan cara penggabungan sejumlah BUMN yang di sektor bisnis yang saling berhubungan. Penggabungan diharapkan dapat membuat BUMN menjadi lebih kuat dan daya saingnya meningkat.

 

Tahun ini, tiga BUMN yang akan disatukan adalah LKBN Antara, Perum Percetakan Negara Republik Indonesia (PNRI) dan PT Balai Pustaka. Sebelumnya, Kementerian BUMN telah menggabungkan PT Surveyor Indonesia dan PT Sucofindo, serta PT Perkebunan Nusantara (PTPN)1-14 yang digabung menjadi satu BUMN.

 

Mencermati capaian kinerja BUMN beberapa tahun terakhir, memang tak bisa lepas dari aksi Dahlan Iskan yang berusaha menarik BUMN masuk ke jalur cepat. Praktik-praktik klasik di BUMN, segera dihentikan sejak kehadiran Dahlan Iskan, terutama nuansa birokrasi. Setiap BUMN dipacu untuk bergerak gesit sebagai korporasi, tanpa harus direpotkan lagi oleh prosedur berbelit dalam pengambilan keputusan. Praktis, revolusi pengelolaan BUMN telah dimulai sejak era Dahlan.

 

Kini, BUMN memiliki momentum untuk bangkit dan terus berlari. Melalui kebijakan pendelegasian wewenang, direksi setiap BUMN kini lebih leluasa bergerak dan aktif melakukan aksi korporasi demi memacu kinerja bisnis.

 

Sejumlah rencana besar Kementerian BUMN dalam mengembangkan perusahaan-perusahaan pelat merah sudah dipaparkan. BUMN terus didorong untuk tumbuh besar dan kuat agar mampu mengalahkan swasta. Demi menjaga ketahanan pangan, direncanakan adanya BUMN Pangan, dengan menyinergikan tiga BUMN (Sang Hyang Seri, Pertani, dan Pusri) untuk mencetak 1 juta hektar lahan baru pertanian hingga 2014.

 

Di bidang transportasi, akan dibangun industri kapal pengangkut komoditi seperti BBM, minyak sawit, dan batu bara. Sinergi BUMN di sektor transportasi dapat dilakukan antara PT Bukit Asam, dan BUMN perkapalan lainnya.

 

Pada sektor properti, aset-aset tidak produktif BUMN akan dikelola secara korporasi agar memberi keuntungan bagi negara. Potensi kelolaan aset non produktif BUMN kabarnya bisa mencapai sekitar Rp500 triliun jika dapat dikembangkan oleh Perum Perumnas dan PT Kereta Api Indonesia.

 

Peran BUMN untuk mampu menjadi penggerak perekonomian nasional memang tidak bisa dibantah. Sejumlah negara telah menunjukkan betapa BUMN yang dikelola dengan baik dan benar, mampu menjadi tulang punggung perekonomian negara.

 

Singapore Airlines, misalnya, salah satu perusahaan penerbangan yang terkemuka di dunia, dikenal sangat efisien dan tidak pernah mengalami kerugian selama lebih dari 35 tahun beroperasi. Mayoritas saham perusahaan ini, dimiliki oleh Temasek, sebuah BUMN holding milik Kementerian Keuangan Singapura.

 

Temasek juga memiliki mayoritas kepemilikan pada banyak perusahaan lain di Singapura yang beroperasi sangat efisien dan menguntungkan, yang diidiomkan sebagai GLC (government-linked companies). Perusahaan-perusahaan GLC ini beroperasi bukan hanya semata pada sektor-sektor “strategis” seperti telekomunikasi, energi atau transportasi, namun juga beroperasi pada sektor-sektor yang biasa dikerjakan swasta, seperti, sektor perbankan, pelayaran, konstruksi dan lain sebagainya.

 

Sejumlah negara lain juga menunjukkan mampu mengelola BUMN secara efisien dan menguntungkan, misalnya Korea dengan POSCO (Pohang Iron and Steel Company), Perancis dengan Renault dan Alcatel, atau Brazil dengan Petrobras dan EMBRAER.

 

Kembali menengok kinerja BUMN RI pada 2012 lalu, laba bersih BUMN selama 2012 memang tidak mencapai target, meskipun secara keseluruhan kinerja BUMN relatif membaik. Ekspektasi terhadap kinerja BUMN, faktanya, jauh lebih besar dari apa yang telah diraih saat ini.

 

Peningkatan laba BUMN sekitar 10-15% setiap tahunnya, sesungguhnya belum sesuai harapan, karena pada saat yang sama perusahaan swasta sejenis bisa tumbuh jauh di atas kinerja BUMN. Terlebih, pangsa BUMN terhadap perekonomian nasional kini terus menurun setiap tahunnya. Tak heran jika perolehan laba bersih BUMN yang meningkat setiap tahunnya, terkadang masih dirasakan sebagai suatu prestasi business as usual.

 

Oleh sebab itu, momentum kebangkitan BUMN yang ada saat ini perlu terus dijaga, antara lain dengan meneruskan program rightsizing BUMN yang sebetulnya telah dirancang sejak 2005. Program rightsizing intinya adalah mengurangi jumlah BUMN dari sekitar 140 BUMN menjadi hanya 87 BUMN pada 2014, dan hanya 25 BUMN pada 2025, baik melalui aksi merger dan akuisisi, holdingisasi, privatisasi, serta likuidasi.

 

Melalui rightsizing, jumlah BUMN akan lebih sedikit, tetapi dengan size yang lebih besar, sehingga bisnis BUMN lebih fokus serta lebih efisien dan lebih efektif dalam pengelolaannya. Sayangnya, perkembangan program ini belum mengalami kemajuan berarti.

 

Pembentukan holding, misalnya, baru pada holding BUMN Pupuk yang terbentuk akhir 2011. Rencana likuidasi terhadap BUMN yang layak likuidasi, juga terkean masih maju mundur. Padahal, BUMN yang layak likuidasi masih cukup banyak. Dengan rightsizing, BUMN akan memiliki kemampuan investasi yang lebih besar, sekaligus mampu meningkatkan perannya sebagai agen pembangunan.

 

 

Momentum kebangkitan BUMN sudah ada. Yang dibutuhkan saat ini adalah sebuah quantum leap yang monumental, hasil dari suatu kebijakan business not as usual. Jangan sampai momentum ini terlalu cepat berlalu.