Tokoh Inspiratif

Oleh: Iqbal Ramdani () - 27 March 2019

Naskah: Iqbal R.Foto: Istimewa

Tak berlebihan jika menyebutnya figur pemuda berpengaruh di Indonesia. Tak hanya dikenal sebagai pengusaha andal, tapi ia juga sosok penting di balik suksesnya penyelenggaraan pesta olahraga terbesar Asia, Asian Games 2018. Sontak Indonesia pun menjadi perbincangan dunia.

 

Dalam kurun waktu dua tahun tiga bulan, Ketua Indonesia Asian Games 2018 Organizing Committee (Panitia Penyelenggara Asian Games Indonesia/Inasgoc) Erick Thohir harus menyiapkan berbagai fasilitas dan sarana pendukung untuk menggelar pesta olahraga terbesar di Asia tersebut. Mulai dari renovasi venue, mempersiapkan atlet, hingga mengatasi masalah nonteknis, salah satunya kemacetan di Jakarta. Di luar dugaan, minimnya waktu persiapan tak jadi rintangan Indonesia sebagai tuan rumah Asian Games 2018. Justru, antusiasme dari masyarakat begitu besar. Baik ada atau tidak ada atlet Indonesia yang bertanding, hampir semua venue terisi penuh. Erick mengungkapkan, faktor utama yang membuat euforia Asian Games 2018 begitu terasa, yakni kemegahan dari opening ceremony yang dilakukan di Stadion Utama Gelora Bung Karno (SUGBK), 18 Agustus 2018 lalu. “Saya rasa ada key factor yang penting. Opening kita yang luar biasa, membuat masyarakat kita sangat percaya bahwa kita bangsa besar karena memang di opening itu kita selebrasi Indonesia untuk dunia, kita menunjukkan identitas kita untuk dunia,” ungkap Erick beberapa waktu lalu.

 

Opening ceremony Asian Games 2018 memang menuai banyak pujian dari berbagai pihak, bahkan juga datang dari luar negeri. Kemeriahan dan efek kejut dalam ceremony tersebut dianggap sudah setara dengan level dunia hingga disebut yang terbaik sepanjang sejarah Asian Games. Meski demikian Erick mengaku, sebelum terselenggaranya Asian Games, banyak orang yang menilai Asian Games di Indonesia tak akan berjalan lancar karena persiapannya yang terbilang sudah mepet. Namun berkat rasa optimis, akhirnya pesta olahraga terbesar di Asia ini sukses di helat. “Semua orang pesimis Asian Games bisa jalan, tidak hanya di luar negeri, tapi juga di dalam negeri. Persiapannya hanya 2 tahun 3 bulan, Alhamdulillah dengan gotong royong, dengan satu visi dan yang luar biasanya mayoritas generasi muda Indonesia yang berkecimpung di Asian Games bisa buktiin kepada dunia bahwa kita menjadi Asian Games terbaik yang pernah ada ngalahin China, Jepang, dan Korea. Yang bicara bukan kita, melainkan Presiden OCA, mediamedia seperti New York Times. Asian Games Indonesia ditonton paling besar yang pernah ada 5,3 miliar penonton,” kata Erick Thohir saat ditemui Men’s Obsession

 

“Mayoritas generasi muda, penari Saman rata-rata anak SMA, volunteer yang jumlahnya 15 ribu, usianya ratarata di bawah 23 tahun, atlet kita yang mendapatkan 31 medali emas, hampir 80 medali, usianya di bawah 30. Jadi, kita bisa membuktikan kalau kita mau pasti bisa. Apakah setelah Asean Games cukup? Tidak, kita harus mempunyai mimpi lebih besar lagi maka dari itu kita memberanikan diri, kita akan mencoba Olimpiade tahun 2032, supaya mimpi kita tidak berhenti sebagai bangsa, harus terus optimis, 2032 kita bisa,” tambahnya. Selain itu, Erick berharap pada bidang bisnis, Indonesia tidak kalah dari luar negeri, tinggal bagaimana membangun optimisme dan ia berharap dengan era globalisasi ini, Indonesia memiliki merek sendiri sebagai negara, “Kita tahu persaingan negara itu sekarang meningkat tidak hanya merk. Sekarang ada namanya top culture country, dia ini tingkatnya lebih tinggi lagi dari sebuah merk, yang namanya top culture country itu seperti Amerika, Perancis, Inggris, Italia, dan Jepang. Apa itu top culture? ketika culture-nya itu menjadi trendsetter dunia. Nah, kita belum sampai situ karena jika kita menjadi top culture itu otomatis menjadi negara tujuan, tidak hanya turis, tetapi juga bisnis dan ranking-nya sudah tinggi. Namun di tahap ini, yang saya harapkan ada message orang Indonesia, pengusaha-pengusaha Indonesia supaya tidak kalah,” tandasnya.

 

Kepiawaian Berbisnis hingga Ditunjuk Jokowi

Setelah sukses pada Asian Games 2018, Erick ditunjuk sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan Joko WidodoMa’ruf Amin, meski dalam dunia politik ia terbilang baru, tapi Jokowi yakin kelahiran 30 Mei 1970 ini mampu. Hal itu dikarenakan kesuksesan Erick dalam berbisnis. Tak hanya itu, kemampuan manajerial yang baik menjadi salah satu alasan Jokowi memilih, mengingat adik kandung Garibaldi Thohir tersebut banyak mengelola perusahaan mulai dari billboard, radio, hingga media cetak. Saat ini, Erick punya dua bendera, yakni Mahaka Media untuk media dan Alif untuk entertainment company. Alif ini menaungi produk-produk terkait hiburan. Tak puas dengan itu, ia menggandeng pengusaha muda Anindya Bakrie untuk bergabung di TVOne. Walaupun hanya sebagai pemegang saham minoritas. Namun, posisinya cukup mumpuni, yaitu sebagai Direktur Utama PT Visi Media Asia Tbk (VIVA) yang merupakan induk usaha dari TVOne.

 

Tak cukup di bidang media dan hiburan, nama Erick juga tercatat sebagai pendiri dari sebuah organisasi filantropis bernama Darma Bakti Mahaka Foundation. Di bidang olahraga, salah satu kesuksesan terbaiknya adalah saat ia membeli dan menjadi presiden klub sepak bola Inter Milan sejak 2013. Dengan kemampuan manajemennya, Inter Milan bisa menarik investor hebat asal China sebagai rekan kerja, yakni Suning Grup yang dimiliki Zhang Jindong dengan kemampuan finansial dan manajerial luar biasa. Erick juga dikenal sebagai orang Asia pertama yang memiliki klub NBA. Melalui negosiasi panjang pada 2011, ia membeli saham Philadelpia 76ers. Suami dari Elizabeth Tjandra itu menjadi bagian konsorsium yang di dalamnya termasuk aktor Will Smith, Jada Pinkett Smith, dan Jason Levien membeli saham 76ers. Ia juga memiliki klub bola basket di Indonesia, yaitu Staria Muda Britama dan Indonesia Warriors. Pada 2012, Erick dan Levien menjadi pemilik mayoritas saham klub yang bermain di Major League Soccer, DC United. Sebagai pemilik DC United, ia kerap membawa nama pesepak bola berbakat Indonesia ke Amerika Serikat.

 

Masa Muda yang Mandiri

“Bisnis adalah sesuatu yang unik,” kata Erick saat diwawancarai salah satu media. Ia lalu bercerita, saat muda dirinya bukanlah tipe anak yang cuma bisa menikmati kekayaan keluarga. Ia memanfaatkan hal tersebut untuk menjadi individu yang mandiri ke depannya. Memulai bisnis dari umur 9 tahun membuat ayah dari Mahendra Agakhan Thohir, Mahatma Arfala Thohir, Magisha Afryea Thohir, dan Makayla Amadia Thohir ini paham akan bisnis yang terus dijalankannya sekarang. Erick memang anak dari pengusaha PT Astra Internasional Tbk Teddy Thohir, tapi Erick muda bukanlah tipe orang yang hanya bisa menikmati kekayaan keluarganya. Ia dan saudara-saudaranya malah diwarisi ilmu dan diperkenalkan tentang bagaimana berjuang di dunia bisnis. Oleh karena itu, ia berkomitmen untuk melanjutkan pendidikannya.

 

Jurusan yang diambil Erick adalah periklanan di Glendale University, Amerika Serikat. Tak puas dengan ilmu yang didapat, ia kemudian melanjutkan kuliahnya ke National University California dan menyabet gelar master di jurusan Administrasi Bisnis. “Almarhum Bapak saya selalu mengajarkan saya dan kakak saya Boy itu mesti siap kanan-kiri. Intinya mesti entrepreneur, tapi harus bisa jadi profesional. Itu memang yang dialami oleh Bapak. Beliau itu kan awalnya profesional, habis itu menjadi entrepreneur. Kami juga ditanamkan pemikiran tersebut karena harus siap. Jadi, ketika saya kembali (dari Amerika), saya bantu bisnis keluarga, waktu itu masih bisnis restoran,” ungkapnya.

 

Kembali ke Indonesia, tak lantas langsung menikmati kekayaan keluarga. Ia sempat membantu keluarga di bidang usaha makanan, Hanamasa dan Pronto. Walaupun sang ayah memiliki banyak bisnis, tapi siapa sangka kalau sang ayah malah melarang Erick melanjutkan bisnis keluarga agar anaknya mandiri, mempunyai usaha sendiri, dan menemukan kesuksesannya sendiri. Ia menerima tantangan tersebut dan terbukti berhasil mengejawantahkan dirinya sebagai orang mandiri. “Saya ingin ada usaha sendiri, itu kan memang yang diarahkan orangtua awalnya. Namun, orangtua bilang oke, kalau mau usaha sendiri boleh, tapi bukan bisnis yang sudah ada di keluarga, harus berbeda. Kalau tidak, buat apa? di keluarga sudah ada, mendingan bantu. Nah, lalu memang kebetulan waktu saya sekolah di luar negeri, saya lebih ke komunikasi, media, promosi, produk desain. Ya akhirnya, saya berpikir media menjadi sesuatu yang menggelitik buat saya, apalagi pada saat itu era reformasi terjadi. Jadi, kepemilikan media sudah boleh dimiliki swasta dan bebas. Dari situlah opportunity saya ke media,” tuturnya. 

 

Erick berhasil mengelola pendapatan keluarga sebagai modal berharga untuk pijakan selanjutnya. Ia menimba ilmu yang tinggi, menjadi individu yang mandiri, kemudian membuka usaha-usaha lain. Lepasnya Erick dari bisnis keluarga sempat dihalangi saudara-saudaranya. Namun, ia mantap memilih berkiprah secara mandiri tanpa campur tangan keluarga dan sukses di bisnis media. Padahal, keluarganya menganggap Erick memiliki potensi besar untuk melanjutkan dan membuat usaha keluarga menjadi lebih besar. Namun apa daya, ia lebih memilih langkahnya. Selepas tak mencampuri bisnis keluarga, ia memulai petualangan baru sebagai pebisnis. Ia memulai kiprahnya di dunia trading. Erick dan teman-temannya Wisnu Wardhana, Harry Zulnardy, dan Muhammad Lutfi, mendirikan Mahaka Group, perusahaan yang dulunya hanya bergerak di bidang pertambangan, keuangan, dan media. Mahaka Group kian bersinar ketika membangun Radio One Jakarta pada 1999 dan mengakuisisi harian Republika yang saat itu hampir bangkrut pada 2000.

 

Sampai tahun 2009, Mahaka Group tercatat telah berkembang dan menguasai majalah a+, Parents Indonesia, dan Golf Digest. Sedangkan pada bisnis surat kabar, Mahaka Group menaungi Sin Chew Indonesia dan Republika. Selain itu, JakTV, GEN 98.7 FM, Prambors FM, Delta FM, dan FeMale Radio. Erick menjadi lebih dikenal para pegiat media ketika berhasil menyelamatkan harian Republika media yang terkenal Islami. Tak hanya itu, ia dan kawankawannya juga berhasil menaikkan kembali pamor Republika hingga berkembang dengan merambah ke dunia online. Selain bersama Mahaka, Erick juga digandeng Anindya Bakrie untuk bergabung di perusahaan media. Meskipun jadi pemegang saham minoritas, tapi posisi yang diduduki Erick cukup penting. Ia didapuk Direktur Utama PT Visi Media Asia Tbk (VIVA), induk usaha dari TVOne.

 

Tampaknya Bakrie paham betul potensi yang dimiliki Erick dalam rangka membantu kelangsungan dan kesuksesan perusahaan medianya. Tak cukup dengan itu, ia kemudian berekspansi ke dunia internasional dengan mengakuisisi beberapa klub olahraga. Sedari dulu, ia memang dikenal sebagai pengusaha yang gemar dengan hal-hal yang berbau olahraga. Tim Satria Muda BritAma dan Indonesia Warriors merupakan miliknya. Pengusaha sukses memang selalu tak mudah puas dengan apa yang didapatnya. Pada 2011 silam, bersama sebuah konsorsium, ia jadi pemiliki klub NBA, Philadelphia 76ers. Selang setahun kemudian, bersama Jason Levien, ia menjadi co-owner sebuah klub Major League Soccer (MLS), DC United. Kendati demikian, kecintaannya terhadap Indonesia tak memudar. Ia bahkan membuka kesempatan pada beberapa atlet untuk mengikuti trial bersama DC United. Puncaknya pada tahun 2013, nama Erick mencuat ke permukaan atas pengakuisisian klub sepak bola Internazionale Milan. 

 

Hampir media-media olahraga dunia meliputnya. Peristiwa ini memang memiliki banyak nilai berita sehingga layak diperbincangkan secara hangat, terutama oleh para penggemar sepak bola. Runtuhnya rezim Masimmo Morrati yang telah 18 tahun memimpin Inter dan pengusaha Asia pertama yang memiliki klub Serie A tersebut jadi sebab kenapa pantas diperbincangkan. Langkah Erick membeli Internazionale Milan dinilai sebagai kepintarannya dalam berbisnis, bukan hanya pemenuhan dahaga terhadap kegemarannya di dunia olahraga. Meski telah melanglang buana di dunia internasional, Erick tak pernah menolak untuk mengabdi pada negerinya sendiri. Seperti kita ketahui, ia juga sangat mencintai olahraga. Kendati jabatan yang diembannya terbilang prestisius di dunia internasional, ia tak pernah menolak jika diberi amanah untuk mengabdi untuk negaranya.

 

Seperti pada tahun 2006-2010, ia dipercaya sebagai Ketua Umum Persatuan Bola Basket Seluruh Indonesia (Perbasi) dan Presiden Asosiasi Bola Basket Asia Tenggara (SEABA) untuk dua periode, 2006-2010 dan 2010-2014. Lalu pada tahun 2012, ia ditunjuk menjadi Komandan Kontingen Indonesia untuk Olimpiade London dan yang paling anyar adalah terpilihnya ayah empat anak ini menjadi Ketua Komite Olimpiade Indonesia (KOI) untuk masa bakti 2015-2019. Erick tak pernah melupakan negaranya sendiri meskipun ia kerap harus bolak-balik Italia dan Amerika Serikat. Dalam setiap klub olahraga yang dimilikinya pun ia tak pernah menanggalkan nasionalismenya. Contohnya, ia memberikan kesempatan pada anak bangsa, Syamsir Alam, untuk menimba ilmu di DC United serta belum lama ini beberapa atlet dan pelatih sepak bola diberi kesempatan yang sama di Italia.

 

Family Man

Di kesibukannya sebagai pembisnis, Erick juga tidak melupakan tugasnya sebagai orangtua. Ia termasuk keras terhadap anakanaknya tapi juga lebih terbuka. Keras yang dimaksud Erick adalah dengan mengingatkan kepada anak-anaknya bahwa mereka harus menjaga nama baik keluarganya, mengingat ia terlahir dari keluarga yang baik. Selain itu, sekolah menjadi perhatian penting bagi anak-anaknya karena ia tidak pernah menjanjikan uang atau perusahaan kepada buah hati tercintanya. “Jadi yang saya mau kasih ke mereka itu lebih ke edukasi dan karakter, saya tidak menjanjikan uang ataupun usaha, tentu bukan berarti saya menutup mata, ketika ada anak saya yang bisa menggantikan. Namun, mungkin saya tidak ingin mereka terjun di operasional, tapi lebih di misalnya shareholder saja karena saya juga tidak mau profesional saya bersaing dengan anak saya. Sebab, tidak mungkin profesional saya menang, ya saya pasti belain anak saya. Nah ini yang saya coba harapkan ke depan,” ungkap Erick ketika diwawancarai salah satu stasiun televisi nasional, beberapa waktu lalu. Meski demikian, Erick mengaku hal itu bukan berarti menutup celah bahwa suatu hari keputusannya berbeda, nantinya akan ada kesepakatan bersama keluarga. 

 

“Contoh profesional saya punya anak bagus, welcome saja join ke grup saya, tetapi tidak bisa di satu perusahaan atau mungkin lebih bagus bapaknya juga. Ya sudah karena anak saya masuk, saya jadi komisaris saja. Itu kan sesuatu yang bisa kita lakukan, tetapi pada saat sekarang, ya memang saya mendidik anak saya seperti itu,” urainya. Erick juga mengaku terbuka terhadap anak-anaknya, hal itu diperlihatkanya dengan memberikan kebebasan dalam masalah pendidika. Ia mempersilahkan buah hatinya untuk sekolah di mana pun karena baginya yang namanya profesi pekerjaan itu kerap kali berubah, terlebih dengan adanya era digitalisasi semua profesi dapat berubah, seperti banyak kerjaan yang hilang dan tumbuh. “Nah itu kan sesuatu yang tidak bisa kita pastikan, jadi saya membebaskan mereka untuk mengambil jurusan sekolah apapun asal bisa menjadi bekal mereka untuk mencari uang secara mandiri,” pungkasnya.