Obsession Awards 2020; Best Ministers

Oleh: Syulianita (Editor) - 31 March 2020

 

Naskah: Red.MO Foto: Edwin B.

 

Inovasi yang berdaya saing. Inilah yang menjadi fokus perhatian Prof Bambang Brodjonegoro sejak hari pertama beliau memimpin Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional.

 

Prof. Bambang percaya inovasi akan mampu mendorong perkembangan ekonomi nasional dan Indonesia akan menerapkan ekonomi berbasis inovasi seperti layaknya banyak negara maju di dunia. Tentu ini bukan sebuah tugas mudah. Terlebih, inovasi di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain.

 

Dalam Indeks Daya Saing Global atau Global Competitiveness Index (GCI) 2019 yang diterbitkan World Economic Forum (WEF), misalnya Indonesia menempati posisi 50, dengan kapasitas inovasi (innovation capacity) di urutan 74 sedunia. Ada beberapa alasan di balik rendahnya peringkat Indonesia dalam soal inovasi. Yang pertama, menurut Prof. Bambang, jumlah dan kualitas sumber daya di Indonesia belum sesuai standar negara lain. Ini terlihat dari penelitian berkualifikasi S3 yang rendah, rasio peneliti terhadap jumlah penduduk yang kecil hingga masalah produktivitas. “Kita harus serius membenahi SDM di bidang riset dan teknologi sebagai sumber lahirnya inovasi di kemudian hari,” kata Prof. Bambang.

Alasan yang kedua adalah ketidakselarasan antara riset dan birokrasi. Riset sulit berkembang akibat adanya jenjang struktural dan rumitnya birokrasi seperti sekarang. Perlu ada “debirokrasi” untuk penelitian. Selain itu, Indonesia juga perlu prioritas riset nasional dan diversifikasi sumber dana riset—tidak hanya dari pemerintah, tapi juga swasta. “Korea, Thailand, dan Jepang risetnya didominasi swasta 70-80%. Ini ideal, karena swasta-lah yang mengetahui apa yang menjadi kebutuhan di pasar yang membutuhkan riset dan inovasi. Bukan pemerintah,” terang Prof. Bambang. Sebagai Kepala Badan Inovasi dan Riset Nasional (BRIN) yang melakukan koordinasi atas seluruh penelitian secara nasional, Prof. Bambang mengatakan badan ini akan melanjutkan mimpi B.J. Habibie sebagai Bapak Teknologi Indonesia untuk hilirisasi dan mengkomersialkan hasil riset dan inovasi.

 

Terobosan inovatif yang dibuat oleh peneliti dan akademisi harus dapat bermanfaat bagi masyarakat Indonesia dan mendorong kemajuan ekonomi bangsa. Sebab, ketika produk inovasi dan teknologi telah mengambil porsi terbesar dari Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, saat itulah Indonesia dapat menjadi negara yang maju dan mandiri. Berkaca melalui pengalamannya berkarir sebagai dosen dan juga dekan di Universitas Indonesia, Prof. Bambang menyadari pentingnya sinergi antara akademisi atau peneliti, dunia usaha, dan pemerintah untuk mencapai visi tersebut.

Karena itulah, dalam memimpin kementerian yang menaungi seluruh bidang pengembangan inovasi dan penelitian ini, Prof. Bambang menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menjembatani kebutuhan dunia usaha dengan keahlian para peneliti dari berbagai lembaga akademik atau penelitian.

 

Beberapa kebijakan untuk mendorong kolaborasi antara tiga aspek atau triple helix tersebut telah dibuat, antara lain kebijakan super deduction tax, khususnya bagi investor atau perusahaan swasta yang mengembangkan kegiatan riset dan pengembangan di Indonesia. 

  

Tidak tanggung-tanggung, pemerintah memberikan potongan sebesar 300 persen demi mendorong investor dan perusahaan swasta agar mau melakukan lebih banyak kegiatan riset. Saat ini, Menteri Bambang masih fokus untuk menyelesaikan struktur dan program Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) ke depan, sembari mengejar agenda riset dan inovasi yang sudah ada. Ke depan, diharapkan integrasi riset dapat tercapai dengan baik dan dapat mendorong Indonesia menjadi negara maju berbasis inovasi.