Merindukan Zaken Kabinet

Oleh: Andi Nursaiful (Administrator) - 21 July 2014
Indonesia sesungguhnya beberapa kali sudah mencoba membentuk zaken kabinet. Tapi sepanjang sejarah republik, membangun model zaken kabinet rupanya sangat sulit dan tak pernah berhasil.

Padahal mimpi-mimpi tentang terwujudnya sebuah kabinet ahli sebetulnya ada dalam amandemen konstitusi.
 
Di masa demokrasi parlementer (1950–1959) ketika PNI dan Masyumi menguasai parlemen, Presiden Soekarno sudah mencoba membentuk kabinet ahli. Ia menunjuk Perdana Menteri (PM) Mohammad Natsir dari Masyumi sebagai formatur untuk membentuk kabinet ahli, meskipun Soekarno sendiri berasal dari PNI.
 
Formasi Kabinet Natsir hanya bertahan enam bulan, setelah tiga kali sebelumnya bongkar pasang. Pasalnya, PNI terus bermanuver ingin menempatkan kadernya sebagai PM Perdana Menteri. Gagal menyusun kabinet, Natsir pun mengembalikan mandat kepada Soekarno.
 
Sejak itu, zaken kabinet disisihkan dan mulailah era kabinet koalisi sejumlah partai. Mulai dari PNI-Masyumi, PNI-Masyumi-PSI, hingga koalisi PNI-NU-PIR. Sejarah mencatat, kabinet hasil koalisi ini jatuh bangun dalam waktu singkat.
 
Sartono (Ketua PNI) yang ditunjuk sebagai formatur setelah Natsir, gagal membentuk kabinet koalisi PNI dan Masyumi. Berikutnya, tercatat ada Kabinet Soekiman (PNI-Masyumi), Kabinet Wilopo  (PNI-Masyumi-PSI), Kabinet Ali Sastroamijoyo (PNI dan sejumlah partai seperti NU, PIR, namun tanpa Masyumi), hingga Kabinet Burhanuddin Harahap (Masyumi, sementara PNI beroposisi).
 
Pasca pemilu 1955, Ali Sastroamijoyo kembali diserahi mandat membentuk kabinet baru dari hasil koalisi PNI, Masyumi, dan NU. Namun mundurnya sejumlah menteri dari Masyumi membuat kabinet hasil pemilu perdana ini pun jatuh dan menyerahkan mandatnya pada presiden.
 
Pasca pemilu pertama 1955, kondisi politik Indonesia semakin tak mendukung terbentuknya zaken kabinet. Ini lantaran muncul ketidakpuasan terhadap pemerintahan pusat yang kala itu sangat Jawa centris.

Itu pula yang memicu bangkitnya PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) dan Permesta. Pemerintahan tandingan yang berpusat di Sumatera Barat itu menjadi ancaman serius bagi Soekarno.
 
Namun Bung Karno kembali mencoba model zaken kabinet, yang disebut Kabinet Darurat Ekstra Parlementer, ytang yang dipimpin Djuanda-Hatta Dinata. PRRI lantas membentuk Dewan Perjuangan untuk menandingi Kabinet Djuanda.

Dewan Perjuangan mendesak pejabat presiden membentuk kabinet baru berupa "Zaken Kabinet Nasional" di bawah Mohammad Hatta dan Hamengkubuwono IX yang dinilai bebas dari pengaruh komunis. Jika tuntutan tidak dipenuhi dalam tempo 5 x 24 jam, Dewan Perjuangan akan mengambil kebijakan sendiri.
 
Kabinet Djuanda berakhir saat Soekarno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memulai era baru sejarah Indonesia, yaitu Demokrasi Terpimpin. Di era ini  (1959-1965), Bung Karno melupakan model kabinet ahli. Di masa ini, dikenal sebutan Kabinet Kerja I-1V, Kabinet Dwikora I-III, dan Kabinet Ampera I dan II.
 
Orde berganti dan Soeharto memahami bahwa sistem multipartai di era Orde Lama menjadi penyebab jatuh bangunnya zaken kabinet. Melalui kekuasaannya yang kuat, Soeharto menyederhanakan sistem multipartai cukup hanya tiga partai, dan berusaha membentuk zaken kabinet.
 
Soeharto memilih teknokrat dan ahli ekonomi ke dalam pos menteri, yang umumnya jebolan Barat, terutama lulusan Berkeley. Maka dikenal tim ekonomi/keuangan Kabinet Pembangunan dengan sebutan "Mafia Berkeley".

Di masa ini, seorang menteri bisa menjabat hingga empat periode berturut-turut.  Parlemen pun tidak berdaya mengawasi kekuasaan, dan partisipasi publik tertutup rapat. Inilah harga yang harus dibayar demi membentuk zaken kabinet Soeharto, yang berjalan selama 32 Tahun (Kabinet Pembangunan I-VII)
 
Memasuki Orde Reformasi, peta perpolitik Tanah Air berubah drastis. Sistem multipartai kembali gemuk tak terkira. Siapapun yang berkuasa, harus mampu mengakomodir anggota koalisinya, sehingga kabinet pun berwarna pelangi. Pos-pos menteri sudah dikavling untuk parpol anggota koalisi. Zaken kabinet pun tinggal sejarah. Andi Nursaiful