Sultan Baktiar Najamudin (Ketua DPD RI), All Out untuk Demokrasi dan Penguatan DPD
Indonesia Surplus Politisi, Defisit Negarawan
Frasa “surplus politisi, defisit negarawan” menggambarkan keadaan di mana banyak individu yang terjun ke dunia politik, namun tak banyak yang memiliki visi dan integritas sebagai negarawan sejati. “Sistem politik dan demokrasi kita hari ini, masih lebih banyak menghasilkan politisi ketimbang negarawan. Jadi, Indonesia surplus politisi, tapi defisit negarawan. Bukan berarti buruk, tapi ke depan ini bisa menjadi potensi masalah,” ungkap Ketua DPD RI Sultan Baktiar Najamudin kepada Men’s Obsession.
Fenomena ini, sambungnya, menciptakan kekosongan dalam kepemimpinan yang visioner, di mana keputusan sering kali didasarkan pada kepentingan jangka pendek ketimbang perencanaan jangka panjang. Tanpa sosok negarawan yang mampu memimpin dengan kebijaksanaan dan komitmen terhadap rakyat, demokrasi kita berisiko menjadi ajang pertarungan kepentingan pribadi.
“Saat ini, tantangan terbesar kita adalah membangun kualitas pemimpin yang bukan hanya mampu meraih kursi kekuasaan, tetapi juga memiliki integritas dan dedikasi untuk kemajuan bangsa. Kita perlu mendorong lahirnya lebih banyak negarawan yang mampu berpikir jauh ke depan, mengambil keputusan yang berani, dan berkomitmen untuk menciptakan perubahan positif bagi masyarakat,” Mantan Ketua HIPMI Bengkulu ini menegaskan.
Sultan pun mengajak untuk bersamasama mengkritisi dan mendorong sistem yang melahirkan politisi berkualitas, agar Indonesia tidak hanya kaya akan politisi, tetapi juga dipimpin oleh negarawan yang benar-benar memerhatikan kesejahteraan rakyat. Hanya dengan cara ini Indonesia dapat mengatasi tantangan dan mewujudkan cita-cita bangsa yang lebih baik.
“Saya menuangkan pemikiran tersebut dalam buku saya yang berjudul Green Democracy. Buku ini adalah hasil refleksi mendalam saya, perjalanan panjang sebagai anak muda, mantan aktivis, pebisnis, birokrat, kepala daerah, hingga akhirnya menjadi pimpinan lembaga negara. Saya telah berpartisipasi dalam banyak pemilu— menang, kalah, dan menyaksikan banyak hal yang perlu dikoreksi dan diperbarui,” terang putra asli Bengkulu tersebut.
Sultan mengatakan, Green Democracy menggaris bawahi harapan dan keseimbangan dalam demokrasi. Demokrasi yang tidak seimbang akan menjadi masalah. Salah satu isu yang ia soroti adalah tingginya biaya politik.
“Jika kita tidak segera duduk bersama dan mengidentifikasi ini sebagai masalah bangsa, maka biaya demokrasi akan terus meningkat, menciptakan ketidakadilan. Siapa pun yang memiliki uang lebih banyak akan lebih mudah untuk memenangkan kontestasi, sementara sosok yang berprestasi, tapi tidak memiliki akses akan terpinggirkan,” bebernya.
Sultan memaparkan, demokrasi langsung mungkin cocok diterapkan pada masa depan ketika kualitas pendidikan dan ekonomi Indonesia merata. Namun, saat ini, Indonesia perlu mengedepankan demokrasi deliberatif yang lebih sesuai dengan Sila keempat Pancasila: “Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”. Sila ini memiliki makna bahwa pemerintahan harus dilakukan oleh rakyat, untuk rakyat, dan dari rakyat dengan cara musyawarah untuk mencapai mufakat.
"Kita beruntung memiliki pemimpin seperti Pak Prabowo Subianto dan Pak Joko Widodo yang mampu mengelola demokrasi dengan baik. Namun, kita harus tetap waspada dan evaluasi sistem kita agar demokrasi kita tidak hanya menjadi ajang bagi politisi, tetapi juga menghasilkan negarawan yang benar-benar peduli pada masyarakat,” pungkasnya.
Buy the Future
Tak kalah penting, Sultan juga menyoroti, pentingnya meningkatkan kualitas sumber daya manusia menjelang Indonesia Emas 2045. “Dengan populasi Indonesia sebesar 280 juta jiwa, kita patut bangga, tetapi kualitas harus ditingkatkan,” tegasnya. Kunci untuk bersaing di masa depan, kata Sultan, adalah mencetak generasi unggul yang dapat mengelola sumber daya alam Indonesia dengan bijaksana.
“Jika kita berhasil menyiapkan generasi ini, saya yakin Indonesia akan menjadi negara maju dalam waktu yang lebih singkat dari yang kita kira. Jadi harus buy the future, mari kita membeli masa depan dengan mempersiapkannya dari sekarang. Hasilnya memang bukan untuk hari ini atau esok, tapi akan kita rasakan pada masa-masa yang akan datang, mungkin 5, 10, atau 20 tahun lagi,” tutup Founder Indonesian Democracy and Education (IDE) tersebut.