Dr. Henry Yosodiningrat S.H., M.H. (Founder of Law Firm Henry Yosodiningrat & Partners)

Oleh: Syulianita (Editor) - 25 December 2019

"Proses legislasi pencegahan korupsi belum optimal dikarenakan belum melibatkan berbagai pihak, khususnya pemangku kepentingan, seperti partai politik dan pemangku sistem peradilan pidana di Indonesia (KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung)."

  

Di usia yang tidak lagi muda, yakni 65 tahun, Henry mampu menyelesaikan program Doktornya. Penelitian untuk disertasinya ia lakoni di sela-sela kesibukannya sebagai wakil rakyat periode 2014-2019. “Setiap Sabtu saya ke kampus dan jadwalnya sangat padat dari pukul 09.00 – 17.00 WIB. Target saya, sebelum purna tugas sebagai anggota DPR, saya harus meraih gelar Doktor Ilmu Hukum dari Universitas Trisakti. Alhamdulillah, begitu mengakhiri masa pengabdian, besoknya saya ujian tertutup,” ungkap pria yang selalu berpenampilan necis ini.

 

Di depan para penguji dan promotornya, di antaranya Prof. DR. Eryantouw Wahid, DR. Anas Yusuf, DR. Endiyk M. Anshor, politisi PDI Perjuangan ini berhasil mempertahankan disertasinya “Politik Hukum Pencegahan Korupsi: Optimalisasi Legislasi Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”. Ia pun meraih predikat Cumlaude.

 

Dalam disertasinya, Henry berkesimpulan politik hukum pencegahan korupsi di Indonesia belum mengarah sebagai wadah penampung aspirasi masyarakat ke arah penguatan norma pencegahan dalam peraturan perundang-undangan. Adapun norma pencegahan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku sekarang, hanya menitikberatkan kepada sosialisasi tindak pidana korupsi dan partisipasi publik atau masyarakat melalui pemberian informasi tindak pidana korupsi.

 

"Selama ini bicara soal korupsi hanya dititik beratkkan pada penindakan saja. Saya melihat hampir setiap hari dilakukan operasi tangkap tangan (OTT) oleh KPK, pemidanaan berat, kemudian dipermalukan, dimiskinkan, tapi nyatanya jumlah koruptor semakin bertambah. Sehingga saya berpikir, apa penyakitnya? Penyakit korupsi sudah ada sejak sebelum UU tindak pidana Korupsi disahkan, sebelum KPK didirikan,” terang Henry. Lebih lanjut ia menuturkan, harus ada yang dibenahi, yakni selama ini ia selalu membaca berbagai peraturan perundang- undangan yang menyangkut masalah korupsi, tetapi tidak pernah dituangkan pasal tentang pencegahaan.

 

“Kita ini sudah tertinggal dari negara lain, misalnya Singapura, mereka tidak mengedepankan upaya pemberantasan, tapi upaya pencegahan. Mulanya tidak berdampak begitu banyak dan juga tidak populer karena orang selalu tertarik dengan penindakan. Namun kini, tindakan pidana korupsi di Singapura sangat menurun apa penyebabnya? Tentunya dengan politik hukum, yakni penguatan legislasi di bidang pencegahan. Sehingga, keberhasilan itu bukan diukur dari seberapa penjara dipenuhi oleh para koruptor, banyak orang yang di tangkap dan diadili. Melainkan dilihat dari tidak ada satupun penjara kasus korupsi. Jadi, keberhasilan ditilik dari kosongnya penjara, bukan dari penuhnya penjara,” ia menerangkan dengan serius.

 

Pria yang menekuni profesi advokat/ penasehat hukum sejak 1978 ini juga menggarisbawahi, proses legislasi pencegahan korupsi belum optimal dikarenakan belum melibatkan berbagai pihak, khususnya pemangku kepentingan, seperti partai politik dan pemangku sistem peradilan pidana di Indonesia (KPK, Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung).

 

Lantas mengapa ia memiliki semangat tinggi untuk mengenyam pendidikan, ia beralasan tidak ada kata berhenti untuk belajar, ia juga ingin memotivasi semua anak dan cucunya.

 

“Karena orang sekaya apapun, pernah memangku jabatan apapun, di batu nisannya tidak akan pernah ditulis pernah menjabat apa atau apa saja kekayaannya. Sementara, kalau gelar akan menempel hingga akhir hayat,” urai pria yang mengidolakan Presiden Sukarno dan Advokat Adnan Buyung Nasution ini.