Mohammad Nuh, Pers Harus Mencerahkan

Oleh: Syulianita (Editor) - 24 June 2019

Di tengah kesibukannya, Nuh selalu menyempatkan diri untuk berdakwah. Baginya dakwah adalah bagian dari hidupnya. “Saya sudah 60 tahun dan tanggal 23 Juni saya akan meluncurkan tiga buku, yakni terkait biografi saya, apa yang saya kerjakan di Kominfo – di Kemendikbud kemarin, serta buku yang sudah lama saya baca dan berikan ulasan. Dalam salah satu buku tersebut, saya sampaikan perenungan, modal yang diberikan Allah kepada saya tidak bisa dihitung, terlalu besar dan banyak, tetapi hasilnya sangat bisa dihitung. Jadi, kalau secara perusahaan, equity-nya itu besar, hasilnya tidak terlalu. Modalnya sangat besar, tetapi apa yang didapatkan itu sangat kecil. Itu sebenarnya rugi perusahaan,” bebernya.

 

Oleh karena itu, ia merasa bahwa Allah SWT memberikan kepadanya berkah yang luar biasa banyaknya. “Rasanya hidup ini tidak ada kesulitan, kalau saya pelajari ya Allah, saya yang paling khawatir, justru ini nikmat Allah yang diberikan di dunia, nanti di akhirat saya tidak dapat,” ungkapnya. Nuh mengisahkan, ia adalah anak desa yang letaknya di Surabaya paling pinggir. Ayahnya, tidak bisa baca tulis, kecuali, tulisan  Arab. Sementara, sang ibu hanya lulusan SD beranak 10. “Saya sekolah SD-SMA di desa. Lalu saya diterima di ITS Jurusan Elektro. Setelah lulus, saya jadi dosen. Setahun kemudian dapat beasiswa ke Prancis, ambil S2-S3, lulus tepat waktu dan kembali ke Indonesia. Kemudian, menjadi Direktur Politeknik Elektronika Negeri Surabaya, selesai, jadi Rektor ITS. Rektor selesai, jadi menteri maka nikmat Tuhan kamu mana lagi yang kau didustakan?” tuturnya.

 

Sehingga saat ini, bagi Nuh adalah masanya memberi, bukan masa mencari. “Masa memberi dan memberi, membahagiakan dan membahagiakan. Kan ada pepatah, the true or the real happiness is how to make the others happy. Itu bisa dengan senyuman, pikiran-pikiran yang mencerahkan, dan bantuan apa saja yang esensinya adalah memberi. Kalau kita memberi, ibaratnya kita berada dalam ruangan yang besar, kalau kita bersuara akan ada gema, kalau kita memberi akan mantul kembali ke kita lagi. Tidak tahu dari mana pantulannya. Jadi, apa yang kita miliki pada dasarnya apa yang kita berikan,” urainya.

 

Ketika ditanya rahasianya tetap prima dan menjalani hidup tanpa beban, Nuh mengaku, ia tidak pernah olahraga.

 

“Saya harus bertobat untuk mau berolahraga entah jalan kaki atau apa. Namun, yang harus saya jaga adalah kondisi psiko yang harus dalam keadaan tenang, nyaman. Oleh karena itu, bagian yang harus kita selesaikan dengan baik. Saya punya tamsil, hati itu ibarat mangkok, kalau mangkoknya kecil begitu ditambahi perkara akan tumpah, dalam bentuk kemarahan, kejengkelan. Padahal ini setiap saat ada tambahan-tambahan. Yang harus kita lakukan, mangkoknya kita perbesar, kalau mangkok diperbesar, ada tambahan, ya tenang saja. Hati juga begitu, kita perbesar terus sehingga berbagai persoalan bisa dikelola dengan baik,” paparnya. Kedua adalah menerapkan filsafah lampu. Kenapa lampu diletakan di atas, semakin tinggi lampu, covering areanya semakin luas, tetapi negatifnya semakin redup. Orang juga begitu, semakin tinggi posisinya, covering areanya semakin besar, tapi akan semakin redup. Oleh karena itu, bagaimana supaya tidak redup, covering areanya tambah luas, tetapi intensitas cahayanya tetap tinggi. “Syaratnya watt ditambahi. Caranya sinau, yakni belajar, belajar, belajar. Dengarkan orang lain, baca perasaan masyarakat, dinamika sosial. Jadi, belajarlah kamu, cari ilmu karena ilmu adalah bagian dari pakaianmu. Dan, hendaknya kamu memberikan kemanfaatan dan kefaedahan. Berenanglah kamu di dalam samudera keilmuan dan kefaedahan itu,” pungkas pria berdarah Jawa ini.