Mohammad Nuh, Pers Harus Mencerahkan

Oleh: Syulianita (Editor) - 24 June 2019

Beberapa waktu yang lalu, Men’s Obsession diterima oleh Ketua Dewan Pers periode 2019/2022 Mohammad Nuh. Ia tampil bersahaja dengan balutan jas berwarna biru tua. Selama kurang lebih enam puluh menit, kami berbincang mengenai dinamika pers, bagaimana pers harus mampu menghadapi Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0, hingga sisi pribadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut. Berikut petikannya.

 


Pak apa kabar?

Baik, sehat, semua berjalan dengan lancar. Oleh karena itu, kita patut bersyukur kepada Allah SWT.

 

Sebelumnya selamat Bapak terpilih menjadi Ketua Dewan Pers pada Mei lalu. Boleh cerita sedikit, apa yang mendorong Bapak untuk duduk di Dewan Pers?

Jadi begini ceritanya, setelah saya pensiun dari Kementerian Pendidikan Nasional (Kemendiknas), kegiatan saya adalah kembali ke kampus sebagai dosen. Bisa kembali ke tempat asal itu suatu kebahagiaan tersendiri karena tidak semua orang bisa kembali ke tempat asal dengan baik dan diterima dengan baik pula. Oleh karena itu, begitu saya kembali ke Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), saya siapkan lab untuk penelitian-penelitian berikutnya lagi. Saya di sana pun diminta menjadi Ketua Majelis Wali Amanat ITS. Esensinya, 10 tahunan menjalankan amanah yang ada di Jakarta dan bisa kembali ke tempat asal dengan baik, itu sangat saya syukuri. Setelah itu, saya pun juga diminta oleh kawan-kawan pansel di Dewan Pers, “Pak Nuh mau enggak ikut sama-sama mengembangkan Dewan Pers?” Saya jawab, “Saya nih sudah banyak pekerjaan, saya juga sudah relatif sepuh.” “Tapi ini penting dan seterusnya…” kata mereka. Akhirnya, saya menyatakan kesediaan. Setelah itu, dilakukan penilaian oleh kawan-kawan pansel, terpilihlah saya. Termasuk 9 anggota yang telah ditetapkan oleh Pak Presiden. Dari situ, kami rapat untuk menentukan siapa ketuanya. Alhamdulilah, tidak sampai 5 menit semua bersepakat secara aklamasi, saya terpilih. Ini termasuk bagian dari perjalanan Dewan Pers yang baik, Insyaallah.

 

Bapak memimpin Dewan Pers di tengah hiruk pikuk kebebasan pers yang luar biasa dan dengan segala dinamikanya. Bagaimana perasaan Bapak?

Yang pertama kalau saya sering gurau ke kawan-kawan, kalau kita di Dewan Pers ini membenahi, mengembangkann dunia pers maka syarat yang pertama adalah tidak boleh khawatir. Khawatir apa atau akan kehabisan persoalan, artinya banyaknya persoalan adalah bagian dari kehidupan. Tidak ada kehidupan yang bebas dari persoalan, begitu kita lepas suatu persoalan pasti ketemu dengan persoalan yang lain. Kalau kita melarikan diri dari suatu persoalan, kita akan ketemu persoalan yang baru. Oleh karena itu, tugas kita adalah menyelesaikan persoalan itu dan pasti muncul persoalan baru lagi, ya diselesaikan sehingga kemuliaan hidup kita itu diukur melalui ada berapa banyak persoalan yang kita selesaikan. Bukan berapa banyak persoalan yang kita ciptakan. How to solve the problem, bukan how to create the new problem. Saya sampaikan kepada kawankawan karena zaman sekarang ini zaman perubahan, sejak dulu memang sudah zaman perubahan, tetapi sekarang geraknya lebih cepat siklusnya dibandingkan dengan yang dulu. Oleh karena itu, kita mikirnya lebih cepat, meskipun ada beberapa penelitian yang menunjukan bahwa social complexity itu kenaikannya lebih cepat dibanding cognitive capacity, yakni kemampuan pemahaman kita terhadap persoalan itu. Di situ artinya ada gap. Gap inilah yang menjadi persoalan yang harus kita selesaikan.

Orang sering menyebut misteri, saya belum tahu jawabannya apa, kenapa terjadi. Itu fenomena real yang terjadi di kehidupan kita dan tugas kita adalah mempercepat cognitive capasity itu maka saya bersama seluruh pemangku kepentingan di Dewan Pers ingin ayo dunia media ini jangan dilupakan, yakni sebagai “sekolah” yang lain. Sekolah kehidupan. Oleh karena itu, pers harus punya fungsi edukasi. How to educate the people, kalau tidak sosialnya semakin komplek, cognitive capasity semakin lebar jaraknya maka semakin banyak misteri di dalam kehidupan itu. Kalau kita masuk ke dalam kehidupan yang penuh misteri itu, kita tidak bisa selesaikan dengan baik.

 

 

Bisa dijelaskan lebih jauh terkait memperkuat fungsi edukasi tersebut?

Oleh karena itu, peran pers yang pertama saya sampaikan, how to educate the people, bagaimana melakukan edukasi kepada masyarakat sehingga pemberitaanpemberitaan yang disampaikan oleh media itu semuanya ada unsur edukasi. Basisnya apa? Basisnya semua harus ada datanya karena dari data itulah bisa diolah menjadi informasi. Dari informasi itu pulalah nanti kalau dicari keterkaitan antara informasi yang satu dengan yang lain maka akan menjadi knowledge, padahal kita semua punya kesepakatan atau paham betul kalau zaman sekarang itu namanya knowledge-based society, ini pun juga akan berubah lagi, sudah masuk di imagination-based society. 

Kalau di knowledge-based any information society itu kaitannya dengan Revolusi Industri ke-3 dan 4. Maka yang imagination-based society itu di Society 5.0 atau Revolusi Industrinya 4.0 akhir. Ini terus berubah, kalau dunia pers tidak mengikuti perkembangan atau melakukan perubahanperubahan di dalam kaidah jurnalistiknya, saya kira kita akan semakin terbelakang. Di situlah tantangan yang sangat besar, yang harus kita selesaikan sehingga kami ingin dalam waktu perjalanan kepemimpinan saya bersama kawan-kawan, salah satu di antaranya adalah penguatan kompetensi jurnalistik dalam persepektif Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 supaya jurnalis tidak gagap dan mengikuti perkembangan.
 

Selain fungsi edukasi, fungsi apalagi yang harus dimiliki?

Bisa memberdayakan sumber daya atau pilarpilar yang ada di masyarakat. Jangan dipecah, tetapi dikuatkan. Ketiga peran pers itu bisa memberikan pencerahan, kalau saya pinjam ilmu Fisika, kalau kita ingin cerah maka kita butuh cahaya dan cahaya yang paling tinggi tingkat clarity-nya adalah cahaya putih. Dan, cahaya putih itu bisa didapatkan kalau seluruh spektrum warna ada. Begitu ada spektrum warna yang dicabut, tidak putih lagi. Filosofi itu saya sampaikan ke kawankawan, Indonesia itu putih. Dalam perspektif etnik, Indonesia itu ada Maduranya, Bataknya, Bugisnya, Dayaknya, Sundanya, macam-macam. Dari perspektif agama, ada Konghucu, Hindu, Budha, Islam, Kristen, dan seterusnya. Jangan sesekali mengambil atau meniadakan salah satu spektrum warna, meskipun itu kecil karena tidak akan putih lagi.

 

Pers harus memperkuat spektrumspektrum tersebut, baik dari perspektif etnik, keagamaan, maupun sosial politik. Itu semua untuk memperkuat nasionalisme kita karena kalau kita berbicara nasionalisme erat kaitannya dengan tujuan kita bernegara. Tujuan bernegara adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Sehingga, media harus memperkuat pilar-pilar itu. Jadi, media itu tugasnya untuk mencerdaskan bukan membodohi, basisnya semua data.

 

Dalam kondisi pers nasional seperti sekarang ini bagaimana idealnya posisi Dewan Pers menurut Bapak?

Berangkat dari Epistemologi kata, media ada kata jadinya mediator, yaitu orang yang berada di tengah-tengah atau di antara. Media itu wilayahnya in between, kalau media itu sudah nempel di dinding maka dia terkooptasi, fungsi mediasinya hilang. Oleh karena itu, dia harus berada di antara itu. Menjembatani karena tadi fungsi empowering sehingga dia harus merangkul semuanya. Hasil media itu ibarat oksigen, oksigen yang baik dan murni, siapapun yang menghirupnya sehat, informasi yang kita sajikan kalau itu murni ada basis datanya, knowledge, orang semakin sehat, cerdas, dan dewasa. Namun, kalau informasinya terkontaminasi dengan hoaks atau macam-macam turunannya, sama dengan oksigen yang terkontaminasi maka siapapun yang menghirup akan sesak dan bisa menjadi penyakit yang melekat di dalam dirinya.

Artinya, jika informasi mengalami distorsi maka mind set masyarakat akan melenceng. Hasilnya akan melenceng pula. Jadi, yang ingin saya terus lakukan dengan kawankawan di Dewan Pers adalah ayo sama-sama kita bangun empat pilar tadi sebagai tujuan berbangsa dan bernegara, pers ada di situ. Independensi pers harus kita jaga, indepensi Dewan Pers juga demikian karena orang mau memberikan penghargaan kepada kami kalau bisa menjaga independensi. Begitu tidak bisa menjaga, terkooptasi maka selesai. Fungsi mediasinya hilang.

 

 

Sebenarnya problem terbesar apa yang dihadapi pers nasional saat ini?

Saya tidak pakai terbesar, tetapi besar saja. Semua sepakat, kesejahteraan kawan-kawan jurnalis, itu persoalan yang kita hadapi. Saya sering bercanda pada kawan-kawan, sampeyan ingin menjadi wartawan atau hartawan, bedanya ‘h’ sama ‘w’ saja. “Saya ingin menjadi hartawan saja, Pak," kata mereka. Artinya, mereka juga rindu terhadap kesejahteraan yang semakin baik, akhirnya saya goda kita berharap nanti suatu saat, wartawan yang hartawan. Wartawan yang cukup dari sisi kesejahteraan. 

 

Selain itu apalagi?

Kedua dari sisi kompetensi, zaman berubah, beliau-beliau yang jadi wartawan itu kan sekolahnya zaman dulu. Ilmu berkembang terus, kalau pakai bahasa Jawa, kulakannya zaman dulu, dijualnya sekarang, harapan dan hasilnya bisa dipakai nanti. Terus bagaimana ceritanya padahal zaman terus berubah. Oleh karena itu, filosofinya yang tidak boleh berhenti dijalankan oleh wartawan adalah sebagai pembelajar sejati. Menyadari bahwa dulu modelnya saya masih analog, sekarang sudah digital, domainnya juga sekarang pindah ke domain virtual, prinsipnya menjadi prinsip ubiquitous, kapan dan di mana saja at the same time bisa diakses.

Majalah panjenengan (red. Men's Obsession) itu pun sudah berubah, yang tadinya cetak, sifatnya tangible, bisa dipegang, sekarang sudah masuk di wilayah digital, virtual, semuanya berubah. Oleh karena itu, kawan-kawan media, para jurnalis itu harus sama-sama belajar, ini zaman berubah, kalau tidak akan ditinggalkan sehingga, salah satu program dari Dewan Pers yang sekarang, kami ingin mempersiapkan, memberikan pelatihanpelatihan, dan kompetensi kawan-kawan jurnalis yang sesuai dengan era zaman sekarang, Revolusi Industri 4.0 dan Society 5.0 sehingga mereka bisa enjoy melakukan perubahan itu. Dua itu paling mendasar, yang ingin kita garap dengan baik.

 

Belakangan ini ramai soal isu pers yang tidak berpihak saat pilpres, misalnya. Bagaimana menurut Bapak?

Itu yang di awal saya sampaikan, pers harus bisa meletakan jati dirinya in between. Kalau pers ikut blok A, saya tidak sebut nomer maka dia tergoda. Bahasa agamanya ada dosa, kalau dia terus-menerus nempel begitu maka dosanya terus menumpuk. Oleh karena itu, segeralah bertobat, kembalilah ke wilayah in between tadi. Nilai kita ada di situ, kalau tidak menjadi media yang propaganda.

Media yang kita harapkan adalah media profesional, bukan media propaganda. Kalau propaganda kan, apa yang disampaikan oleh Blok A itu baik, Blok B itu tidak baik. Itu tidak mendidik lagi. Basic-nya bukan how to educate the people. Padahal masyarakat kalau cerdas dan  dewasa itu enak. Jadi, yang ingin kita bangun adalah cerdas dan dewasa sehingga saat dia menerima berbagai macam informasi, dia bisa self censoring.

 

Obsesi Bapak sebagai Ketua Dewan Pers?

Saya ingin media bisa memainkan 3 fungsi tadi, edukasi, pemberdayaan, dan pencerahan. Ini semua untuk memperkuat nasionalisme kita. 3 E: How to Educate, Empowering, Enlightening. Ujung dan muaranya semua ke nasionalisme kita (Nationalism). Jangan terbawa seakan-akan ini kebebasan, kebebasan, semua ada frame-nya, yakni kepentingan nasional. Tetapi, kepentingan nasional tadi tidak bisa dimanipulasi.

 

 

Journalism is not a crime, bagaimana pendapat Bapak mengenai frasa tersebut?

Jadi, filosofinya apa yang disampaikan oleh kawan-kawan media bukan sesuatu yang kriminal, tapi ingin menggali, menyampaikan substansi dari kebenaran itu. Namun, semua ada batasnya, ada bingkainya. Bingkainya itu nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai yang diakui kita sebagai bangsa dan negara. Rumusnya di situ saja.

 

Agak personal sedikit, bagaimana sikap keluarga ketika Bapak harus sibuk lagi mengurus pers setelah sebelumnya menjadi menteri?

Saya ini kan punya istri satu, anak satu dan sudah berkeluarga, punya cucu satu. Alhamdulillah, relatif persoalan domestik sudah bisa diselesaikan. Saya juga begitu selesai dari menteri itu yang membahagiakan, apresiasi, saya tidak pernah melamar-lamar, tetapi diminta mulai dari di ITS sendiri, saya diminta sebagai Ketua Majelis Amanat, yakni memilih dan menetapkan rektor. Saya di Badan Waqaf juga diminta. Di Bank Mega Syariah menjadi  komisaris juga diminta. Saya di sini juga diminta. Di PBNU juga diminta. Jadi, tidak ada yang pakai melamar dan gerilya politik. Saya sudah selesai, sudah tidak ada keinginan dan ambisi politik. Saya sampaikan ke kawan-kawan saya sudah selesai. Oleh karena itu, saya tidak ada minat untuk urusan jabatan.