Fachmi Idris, Dedikasi Sang Dokter Aktivis

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 23 November 2015

Humble, begitulah Fachmi saat diminta bercerita tetang karirnya hingga ia bisa menduduki posisi sebagai Direktur Utama BPJS Kesehatan. “Saya merasa biasa-biasa saja, haha..” tawanya lepas. Ia semula tak mau bercerita. “Saya nggak mau riya (menonjolkan diri-red), ” imbuhnya. Namun dengan berbagai alasan yang dilontarkan Men’s Obsession akhirnya Fachmi mau juga bercerita dengan catatan tidak menulisnya secara berlebihan dan lebih kepada yang telah dan akan dikerjakannya. Sejurus kemudian, selepas menyeruput kopi hitam kesukaannya, Fachmi bercerita dan berikut kutipannya.

Bisa ceritakan sedikit perjalanan Anda hingga saat ini?
Ini pertanyaan yang sulit dijawab. Karena saya merasa biasa saja sebetulnya. Bukan tidak bersyukur, tapi saya itu orangnya ya mengalir saja. Never cross in my mind menjadi Direktur Utama. Kalau asal muasalnya, ketika saya menjadi komisaris independen di PT Askes tahun 2008 atas permintaan Menteri Kesehatan. Saya dianggap sebagai dokter ya kebetulan pengurus Ikatan Dokter Indonesia (IDI) banyak anggotanya dan banyak mengerjakan pekerjaan yang berhubungan dengan program ini, nah saya diminta membantu mengawasi.  

Ada pengalaman yang menginspirasi Anda sebelum bergabung di Askes?
Ada cerita menarik pada tahun 2003, sebelum saya di Askes. Waktu itu masih Wakil Ketua Umum IDI, tapi sudah sebagai ketua terpilih diutus untuk menghampiri World Medical Congress, ikatan dokter sedunia, oleh Medical Association di Denmark. Waktu itu saya berkenalan dengan Profesor Blacos, dia itu Presiden World Medical Association. Dia berasal dari Republik Czech. Dia tanya “kamu dari mana?” “ya saya dari Indonesia Medical Association”. Lalu dia tanya lagi, “how many total population in indonesia”. Saya jawab 200 juta orang. Dia kaget. “wah banyak ya dari indonesia”. Dia lanjut bertanya, “how many person in indonesia cover by insurance?” Padahal waktu itu saya belum di Askes, tapi karena saya dosen yang mengajarkan tentang sistem kesahatan. Jadi di kedokteran komunitas itu ada sub bagian yang memang memberikan mata kuliah tentang health system, dan saya pengajar di health system, segala sesuatu yang saya ajar seperti sistem pelayanan, sistem pembiayaan, bagaimana menghasilkan pelayanan yang bermutu, jadi basic-nya teoritis tentang apa itu sistem pelayanan, public health finance mau medical service finance, yang kita bicarakan medical service finance, saya waktu itu otomatis secara teoritis saya jawab seperti itu yang saya ketahui yang terstruktur itu PT Askes, ada sekitar 10 juta ada lagi Jamsostek waktu itu saya jawab 6 jutaan kurang lebih, dia kaget, dia bilang “less 10 percent Indonesian people cove by insurance” kurang dari 10 persen, ya ada comercial insurance tapi tak banyak, ya saya pikir 2 juta, ini pertanyaan yang bikin saya merinding ya, kemudian saya tidak pernah lupa, dia ngomong begini, “in your passion will be getting lose, they dont have any money, what would you do” setiap dokter pasti ngomong “mati” kamu dokter kamu ngapain, itu ya mungkin buat saya hidayah di situ, dokter itu nggak mungkin ngebebasin jasa medis, mungkin sekali dua kali, tapi begitu butuh obat dan lainnya, mungkin sekali dua kali bisa bantu ya tapi setiap kali tak mungkin, itu nggak profesional. Orang yang profesional itu orang yang hidup dari nafkahnya, itulah statement yang nggak pernah lupa, mungkin itulah ya, Tuhan membawa kesitu. Dan masuklah saya sebagai komisaris Askes.