Mitos dan Fakta Seputar Supermom

Oleh: Andi Nursaiful (Administrator) - 06 December 2013
Naskah: Andi Nursaiful/berbagai sumber     Foto/Ilustrasi: Dok. MO

Sebagian besar wanita modern terjebak dalam supermom syndrome dan supermom complex. Celakanya, mereka baru menyadari hal itu setelah semuanya terlambat. Tak sedikit wanita yang sukses menyandang status Supermom, namun sebagian besar berujung pada depresi berat dan keretakan keluarga. Berkaitan dengan peringatan Hari Ibu 22 Desember, kami mengupas segala hal seputar supermom.


Di pagi buta, mulai menyiapkan sarapan, memandikan anak, menyiapkan pakaian dan perlengkapan belajar lalu mengantar ke sekolah. Melayani suami, mempersiapkan pakaian rapi dan bersih untuk suami berangkat kerja, lalu memasak dan bersih-bersih rumah.

Siang sedikit, menangani tugas di luar, seperti, membayar rekening listrik, telpon, PAM, dan seterusnya, lalu menjemput anak pulang sekolah. Tak lupa berkomunikasi dengan guru mengenai perkembangan anak, atau sesekali menemani kegiatan ekstrakurikuler anak di sekolah.

Di sore dan malam hari, setia menemani dan membimbing anak belajar dan mengerjakan PR sekolah. Dalam situasi darurat, semisal anak atau anggota keluarga sakit, harus membawanya ke dokter, menebus resep, dan merawat si sakit.

Itulah gambaran kegiatan keseharian sebagian besar perempuan Indonesia yang mendedikasikan segenap waktunya sebagai ibu rumah tangga. Meski terkesan sulit, tetap bisa teratasi.

Akan tetapi, gambarannya kian kompleks, seandainya sang ibu juga harus bekerja, apakah itu  demi membantu keuangan keluarga, atau sebagai aktualisasi diri dalam karier. Belum lagi jika ikut terlibat dalam organisasi sosial kemasyarakatan yang cukup menyita waktu dan perhatian.

Tentu dia pun harus tetap mengurus penampilan dan kesehatan diri, terus mengikuti zaman, tetap updated dengan perkembangan berita, dan rutin menyerap informasi sebagai bekal pergaulan sosial. Di sisi lain, sebagai wanita, harus tetap menjaga stamina dan tetap tampil menarik di depan suami.

Bukan Pilihan
Singkatnya, wanita bekerja dan wanita aktif yang sekaligus mengemban tugas penuh sebagai ibu rumah tangga, adalah peran yang sungguh berat bagi seorang perempuan. Masalahnya, peran multitasking itu dianggap bukan pilihan, melainkan sebuah tuntutan yang tak terelakkan.

Menurut psikolog dari biro konsultasi psikologi dan pendidikan Jagadnita, Dra Clara Istiwidarum Kriswanto MA CPBC, tuntutan menjadi wanita super atau ibu super adalah mindset mutlak dewasa ini. Terlebih ketika mulai terjadi pergeseran perilaku sosial di kalangan ibu-ibu yang tinggal di kota-kota besar di Tanah Air dalam 10 tahun terakhir.

Variasi aktivitas positif di luar rumah seperti seminar, arisan, pelatihan-pelatihan, kini semakin banyak. Tuntutan pelajaran sekolah dan penyaluran bakat anak-anak juga semakin tinggi sehingga terpaksa anak harus kursus ini dan itu. Lingkup pergaulan komunitas para ibu pun semakin luas. Kondisi tersebut semakin kompleks dengan semakin banyaknya frekuensi wanita modern yang meniti karier sambil berperan penuh sebagai ibu rumah tangga.

Menurut pengamat sosial dari Universitas Indonesia, Ricardi S.Adnan, para ibu masa kini tetap ingin menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga, meski sibuk bekerja dan memiliki aktivitas lain di luar rumah.

Jika pada era 1990-an ibu rumah tangga yang juga bekerja banyak mengandalkan peran pembantu rumah tangga atau orang tua mereka untuk menyediakan makanan bagi keluarga di rumah, tapi memasuki tahun 2000-an, mereka mulai ingin memasak sendiri. Lagipula, menurut Clara lagi, meskipun kehadiran pembantu rumah tangga cukup menolong, bagaimanapun juga, pengendali kegiatan rumah tangga sehari-hari tetap di tangan ibu.  

Data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011, menyebutkan, jumlah wanita bekerja di Indonesia mencapai 48,440 juta. Terjadi peningkatan singnifikan sebesar 47, 24 juta, di mana pada tahun 2009 jumlahnya baru sebesar 46,68 juta.

Beberapa contoh menunjukkan bahwa peran multitasking ibu bekerja bisa berjalan sukses dan menginspirasi banyak orang. Tapi tentu tak sedikit pula yang gagal, hingga terkadang berujung pada keretakan rumah tangga. Sayangnya, tak ada data statistik konkret yang mengukur seberapa banyak tingkat kesuksesan dan kegagalan bagi mereka yang menjalankan multiperan sebagai ibu super atau wanita super.

Peluang kegagalan mungkin akan lebih besar jika sang ibu ternyata menjalankan multiperan itu sendirian, tanpa didampingi suami. Data Bank Dunia pada 2002 saja, menyebutkan, tak kurang dari 6 juta keluarga Indonesia dikepalai oleh perempuan karena suaminya meninggal dunia, diceraikan atau ditinggalkan, termasuk perempuan lajang yang memiliki anak, atau perempuan yang tidak menikah dan menjadi sumber pencari nafkah utama keluarganya.

Membayangkan multiperan itu diemban sendirian, tanpa bantuan suami yang sebagai kepala keluarga sekaligus penghasil nafkah utama, membuat istilah supermom dan superwoman rasanya semakin bermakna bagi mereka yang berhasil menjalankannya.

Sukses atau Gagal?
Dalam ilmu sosiologi, supermom atau superwoman lebih diartikan sebagai wanita Barat yang bekerja keras menyeimbangkan perannya sebagai wanita karier, ibu rumah tangga, relawan, aktivis sosial kemasyarakatan, dan pekerjaan lain.  Ini berbeda dengan carier woman atau wanita karier yang diartikan sebagai wanita yang memilih fokus dalam pengembangan karier dengan ‘mengorbankan’ kehidupan keluarga.

Istilah superwoman pertama kali diperkenalkan oleh Marjorie Hansen Shaevitz, dalam bukunya, The Superwoman Syndrome. Istilah ini populer pada era 1970-1980-an bersamaan munculnya paham dan gerakan post second-wave feminism di Amerika Serikat. Kala itu, muncul keinginan untuk menjalankan peran tradisional wanita sebagai ibu rumah tangga, sekaligus menjalankan peran tradisional pria sebagai pencari nafkah.

Belakangan muncul sejumlah derivasi, seperti superwoman squeeze dan superwoman complex. Yang pertama diartikan sebagai “tekanan atau tuntutan yang dihadapi oleh seorang wanita untuk menjalankan multiperan secara sempurna.” Sementara superwoman complex diartikan sebagai sebuah “ekspektasi dari seorang wanita yang merasa bahwa dia bisa dan harus bisa melakukan segalanya.”
 
Setelah beberapa dekade, kesetaraan gender yang diperjuangkan dan akhirnya direalisasikan oleh kaum wanita AS pada era 1980-an, justru berujung pada sejumlah persoalan serius bagi kaum wanita dewasa ini.

Hasil-hasil riset ilmiah menunjukkan bahwa para wanita modern kini menderita superwoman syndrome, superwoman squeeze, dan superwoman complex. Sindrom ini menimpa wanita di berbagai usia, tahapan karier, level ekonomi, dan juga dalam beragam tingkatan sindrom.

Wanita modern dewasa ini merasa bahwa zaman telah menuntut mereka harus menjadi supermom. Sebagian lagi terjebak pada obsesi demi memperoleh status sosial bergengsi sebagai supermom yang mampu melakukan semua peran.

Namun berbagai penelitian juga menyimpulkan bahwa wanita yang berusaha keras menjalankan multiperan sebagai supermom beresiko menderita depresi hebat, ketimbang mereka ...