AA La Nyalla Mahmud Mattalitti (Ketua DPD RI)

Oleh: Syulianita (Editor) - 02 July 2021

Kebocoran

Ia juga mengritisi penyaluran Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) yang sangat membantu dalam menggerakkan ekonomi di tengah pandemic namun ternyata masih adanya kebocoran dalam penyaluran BPUM. Ia mengritisi itu setelah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) melaporkan adanya temuan kebocoran penyaluran BPUM senilai Rp1,18 triliun dan penyaluran dana yang salah sasaran dengan nominal mencapai Rp91,8 miliar yang diperuntukkan pada 38,2 ribu penerima namun sudah meninggal dunia.

LaNyalla meminta perbaikan dilakukan agar program ini bisa tepat sasaran. “Kementerian UMKM dan Kemensos sebaiknya segera mengevaluasi kinerjanya agar tidak terjadi kesalahan berulang dan merugikan keuangan negara yang kini sedang terpuruk,” ucapnya.

“Temuan penyaluran dana salah sasaran itu menunjukkan kalau pemerintah belum memiliki sistem yang simpel dan efektif dalam distribusi bantuan. Ini permasalahan yang serius, semestinya kita memiliki sistem penyaringan kriteria penerima penyaluran BPUM agar tepat sasaran,” ujar LaNyalla lagi.

Data dari BPK, jika dirinci, setidaknya penyaluran yang tak tepat sasaran menyentuh nominal Rp673,9 miliar. “Temuan-temuan tersebut harus diusut sampai tuntas secara hukum. Setiap penyalahgunaan harus diberikan sanksi sehingga siapa saja baik aparat pemerintahan maupun masyarakat harus bertanggungjawab akan tindakannya. Karena ini adalah anggaran negara yang harusnya disalurkan kepada yang berhak. Tidak boleh main-main,” jelasnya.

Ide keras namun cerdas juga pernah ia sampaikan terkait kinerja Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang sudah tidak berfungsi. Misalnya ketika ia melihat masih beroperasinya sejumlah perusahaan BUMN yang sudah mati dan ia meminta agar Kementerian BUMN segera membubarkan perusahaanperusahaan pelat merah yang sudah tak beroperasi itu.

Sejumlah perusahaan BUMN yang sudah mati namun masih tetap beroperasi di antaranya seperti PT Merpati Nusantara Airlines, PT Kertas Kraft Aceh (KKA), PT Kertas Leces, PT Iglas, dan PT Industri Soda Indonesia. Setidaknya masih ada sekitar 10 perusahaan yang masih diperlakukan seperti perusahaan biasa, bahkan tetap memiliki direksi dan komisaris yang masih diundang dalam berbagai rapat.

“Kondisi ini seharusnya jadi perhatian serius Kementerian BUMN. Perusahaanperusahaan BUMN yang sudah mati perlu segera dibubarkan, dengan menyelesaikan kewajiban yang ada, karena jika dibiarkan akan membebani negara,” ungkap LaNyalla.

Ia mempertanyakan mengapa Kementerian BUMN tidak cepat-cepat membubarkan perusahaan-perusahaan tersebut. LaNyalla menyebut, perusahaan-perusahaan BUMN yang diketahui sudah tak memiliki karyawan itu sudah tidak memiliki manfaat dan cenderung memberatkan pemerintah. “BUMN yang sudah kalah bersaing tidak bisa dibiarkan berdiri. Harus dievaluasi seperti apa jalan terbaiknya. Kondisi pandemi Corona sudah memberatkan, ditambah dengan beban BUMN yang sudah mati sejak lama akan makin menambah beban pemerintah,” jelasnya.

Untuk memproses pembubaran tersebut, diakui LaNyalla, Kementerian BUMN memang masih perlu melakukan penilaian melalui PPA. “Kami harapkan penilaian dapat segera rampung dan pembubaran BUMN yang mati cepat dilakukan,” kata LaNyalla.

LaNyalla menyadari perlu ada assessment mengenai kondisi terakhir perusahaan BUMN yang akan dibubarkan. LaNyalla mengatakan, apabila ada aset yang bisa dimanfaatkan, Kementerian BUMN harus segera mengambil alih. “Saya meminta Komite II DPD RI untuk mengikuti perkembangan permasalahan ini dan akan terus mengingatkan pemerintah untuk segera menutup perusahaan-perusahaan BUMN yang tak lagi punya nilai alias mati,” tutup LaNyalla.