Dr. H. Syariefuddin Hasan, S.E., M.M., M.B.A. (Wakil Ketua MPR RI)

Oleh: Syulianita (Editor) - 14 April 2021

Menghidupkan GBHN Tidak Gampang

Sejumlah partai politik berniat kembali mengamandemen Undang-undang Dasar 1945, terutama untuk menghidupkan kembali Garis Garis Besar Haluan Negara. Tapi, sejumlah kalangan khawatir usulan menghidupkan kembali GBHN itu bisa mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru dan merusak sistem presidensial. Terkait hal itu, Syarief Hasan punya pendapat dan pandangan sendiri. Berikut petikan wawancaranya:

 

Salah satu tugas yang cukup berat diemban oleh pimpinan MPR sekarang ini adalah menyangkut masalah wacana untuk melakukan amandemen UUD 1945 guna menghidupkan kembali GBHN atau yang dikenal sekarang dengan Pokok-Pokok Haluan Negara. Bagaimana pandangan Bapak?

Kalau wacana itu dihidupkan maka tentu akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung kepada sistem ketatanegaraan kita ini. Itu tugas yang sangat tidak gampang. Karena 270 juta rakyat Indonesia akan mengalami dampak secara langsung terhadap wacana tersebut. Pada awal kepemimpinan MPR masa periode 2019 ini, kami memutuskan bahwa kita harus lebih banyak melakukan kegiatan untuk menerima masukan ataupun saran dan aspirasi dari rakyat Indonesia dulu.

Kalau kita bicara Indonesia, ini kan sangat luas. Jadi, kami melakukan pembagian klaster-klaster masyarakat mana yang harus dikunjungi untuk menerima masukan, meminta, dan menggali aspirasi. Baik dari tokoh masyarakat, tokoh partai politik, kalangan profesional, bisa mahasiswa, akademisi, bisa juga seniman dan sebagainya. Dengan demikian kami akan dapat menghimpun semua pandangan dan saran mereka terhadap wacana untuk menghidupkan GBHN tersebut.

 

Bapak berkomunikasi dengan siapa?

Saya sendiri memilih untuk berkomunikasi dengan kampus, universitas-universitas, para profesor, dan juga para eksekutif di tingkat gubernur, bupati, dan wali kota. Banyak sekali masukan yang kita peroleh, dan itu akan kita matrikskan di badan kajian ketatanegaraan yang ada di MPR, yang pada saatnya nanti tentu akan kami evaluasi, dirangkum, sehingga mendapatkan kesimpulan yang mudahmudahan itulah yang terbaik. Kira kira begitu.

 

Berarti Bapak hampir tidak pernah di kantor karena harus turun langsung?

Hampir dipastikan sebelum Covid-19 saya tidak berada di kantor. Almost tiada hari libur, tiada hari Minggu, bahkan saya selalu ke daerah. Setelah Covid-19 ini, saya tetap melakukan kunjungan, bertatap muka dengan masyarakat tentu dengan penerapan protokol kesehatan. Tentunya ada juga yang sifatnya online, tapi jauh lebih kecil dibandingkan offline.

 

Apakah ada anggota MPR yang memberikan masukan terkait wacana menghidupkan kembali GBHN?

Begini, ada beberapa teman dari partai politik tertentu memiliki pandangan bahwa GBHN atau Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) perlu diubah dengan suatu argumentasi hipotesa bahwa dengan PPHN itu kalau terjadi perubahan di kepemimpinan nasional, tidak akan terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan yang dikehendaki oleh pemimpin berikutnya.

 

Menurut Bapak?

Itu juga ada benarnya. Mereka juga mengatakan perlu ada kesinambungan ketika mereka menginginkan siapa pun dia (yang memimpin-red), setiap warga negara bisa mengetahui arah pembangunan Indonesia.

Alasan itu sebenarnya memang bisa menjadi konsiderat dalam mengangkat isu itu. Tapi, sebenarnya yang mirip dengan GBHN itu kan pernah dijalankan oleh pemerintahan SBY. Pada saat itu dasarnya bukan melalui TAP MPR atau berupa Undang Undang Dasar, tapi dasar hukumnya adalah melalui Undang-Undang 17 dan Undang-Undang nomor 25. Tapi, Alhamdulillah, bisa berjalan dengan bagus. Saya berkomunikasi dengan para gubernur, dengan bupati, dan wali kota, mereka mengatakan kesinambungan pembangunan itu dari nasional ke daerah sangat erat turunannya. Mereka membuat RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang) itu sesuai dengan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). Jadi, sinergi kas antar program pembangunan pusat dan daerah itu sangat sinkron.

Nah, kita lihat output-nya. Selama 10 tahun pembangunan (era SBY-red) ekonomi kita sangat luar biasa, rata-rata 6%. Kemudian tingkat pengangguran turun, kemiskinan juga turun sampai 11%, bahkan 10,8%, pengangguran juga turun sampai 5%. Kemudian income per kapita rakyat Indonesia naik menjadi 3850 dollar per kapita per orang, dari 1000 dollar, hampir 380% naiknya. Artinya GBHN sebenarnya itu kan yang diinginkan adalah output.

Nah, output-nya sudah dibuktikan oleh Pak SBY 10 tahun pemerintahan cukup bagus, ekonomi nasional bagus sekali, dan diakui oleh negara-negara sahabat, sehingga Indonesia diterima sebagai anggota G20, menduduki ranking ketiga kadang kadang kedua. Kalau kita kan bersaing dengan India. Itu karena apa, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada saat itu sangat diakui oleh negara-negara sahabat.

 

Itu artinya apa Pak?

Artinya kita sudah pernah membuktikan bahwa melalui program pembangunan jangka panjang, itu bisa juga dilakukan dengan berdasarkan Undang-Undang, tidak perlu dengan mengubah amandemen 1945. Jadi, dua pandangan ini masih menjadi bahan buat teman-teman di MPR di badan kajian ketatanegaraan, mana yang akan ditempuh, apakah mengubah, melakukan amandemen UUD 1945, cukup dengan TAP MPR atau cukup dengan undang-undang. Ini sedang dibahas oleh badan kajian ketatanegaraan.

 

Dari gambaran itu apa yang Bapak lihat?


Kebetulan saya juga yang mengkoordinasi kegiatan badan kajian tersebut, yang saya lihat bahwa badan kajian ketatanegaraan itu sudah memilih kira-kira alternatifnya adalah apakah melalui TAP MPR atau melalui undang-undang, jadi tidak lagi melakukan amandemen. Tetapi, apapun keputusan yang diambil, kami di MPR sepakat bahwa karena ini menyangkut masalah hajat dan masa depan bangsa Indonesia, maka kita tidak boleh keliru di dalam menentukan sikap. Sehingga disepakati bahwa tiga alternatif itu, Undang-Undang dan TAP MPR akan kami sosialisasikan kembali. Sosialisasi tersebut kita lebih banyak menerima masukan dan saran dari stakeholders mana kira-kira opsi yang paling bagus. Kalau saya katakan paling bagus mungkin ada yang tidak setuju dengan opsi-opsi tadi. Lagi-lagi kita tidak perlu terburu-buru memutuskan opsi mana yang akan ditempuh, kita masih punya cukup waktu untuk menentukan. Mudah-mudahan yang terbaik, itulah yang kita putuskan.

 

Jadi memang belum ada kesepakatan?

Ini termasuk kesepakatan. Semua yang ada di badan kajian kelihatannya berpikiran negarawan yang baik, luar biasa. Jadi, relatif kalau mereka berbicara dan berdiskusi bisa menunjukkan bahwa mereka adalah wakil-wakil dari rakyat, saya pikir begitu.

 

Soal lain Pak, terkait tentang reformasi parlemen untuk penguatan demokrasi seperti yang pernah Bapak sampaikan, bisa dijelaskan?

Iya, yang paling saya utamakan menyangkut masalah faktor check and balance. Ini perlu betul-betul kita implementasikan secara utuh. Bukan hanya sekadar jargon, tapi betul-betul kita laksanakan. Itulah yang menjadi concern saya. Karena saya melihat faktor- faktor check and balance saat ini sedikit agak menurun. Saya harapkan kita bisa tingkatkan lagi untuk dihidupkan secara utuh. Karena check and balance itu sangat penting. Tujuannya adalah agar program-program yang dijalankan oleh eksekutif bisa on the track.

Kita tidak menghendaki program yang bagus dari pemerintah menyimpang sedikit atau keluar dari relnya. Check and balance itu tujuannya juga adalah bagaimana agar program-program pemerintah yang memang bagus itu dapat berjalan secara mulus dan berhasil. Tentunya pada akhirnya akan dapat dinikmati oleh seluruh rakyat.

 

Banyak pemikiran Bapak yang sangat cemerlang dalam membangun parlemen yang ideal dan masyarakat memberikan apresiasi atas hal itu. Apa arti apresiasi tersebut bagi Bapak?

Pertama, apa yang saya dapat dari rakyat akan lebih memacu saya untuk berbuat yang lebih banyak dan lebih maksimal. Kedua, saya sangat bersyukur Alhamdulillah, bahwa sekecil apapun kontribusi saya pada negara ini bisa dinikmati oleh rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Karena, secara langsung pernah juga saya lakukan. Sekarang secara tidak langsung melalui kebijakan-kebijakan di parlemen. Yang ketiga, saya punya keyakinan bahwa dengan sistem apa yang saya lakukan ini insya Allah mudah- mudahan akan tetap saya pelihara dan kalau bisa akan lebih ditingkatkan intensitasnya. Harapan saya juga mudah-mudahan rakyat semakin bisa menikmati apa arti dari pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

 

Meskipun demikian tentu Bapak dalam perjalanan sebagai pimpinan MPR menemui kendala-kendala. Kira-kira apa kendala yang dihadapi?

Saya pikir kendala yang sangat berarti tidak begitu banyak. Hanya kendalanya adalah masyarakat hampir dipastikan sangat bingung bagaimana sebenarnya mereka memilih, membedakan antara tugas-tugas seorang anggota MPR dan anggota DPR. Kedua, sebagai seorang salah satu pimpinan MPR terkadang rakyat itu selalu melimpahkan semua persoalannya, menurut saya bagus. Jadi, apa pun yang disampaikan pada intinya kita harus banyak mendengar, dan harus menyatakan bahwa apa yang menjadi domain saya insya Allah langsung saya bisa berikan penjelasan, tetapi apa yang bukan merupakan domain saya, maka akan saya teruskan kepada yang bersangkutan, seperti kepada lembaga terkait. Jadi, rakyat bisa tahu pasti.

 

Salah satu program yang dilakukan oleh MPR adalah sosialisasi Empat Pilar MPR yang terdiri atas Pancasila, Negara Kesatuan Republik Indonesia, Undang-Undang Dasar 1945, dan Bhinneka Tunggal Ika, bagaimana progress-nya?

Sosialisasi Empat Pilar itu sampai sekarang masih tetap kita jalankan. Saya sendiri lebih banyak memilih ke segmen-segmen tertentu. Antara lain, saya lebih banyak ke pondok-pondok pesantren. Karena banyak masalah yang menjadi isu nasional. Isunya secara nasional menyatakan bahwa pondok pesantren terdapat banyak calon orang yang berpaham ekstremis dan sebagainya. Ada juga yang berpandangan bahwa pondok pesantren itu hanya belajar tentang keagamaan. Ini harus kita buktikan. Saat saya terjun di tengah mereka, saya pikir pandangan-pandangan itu tidak benar.

Ternyata mereka sangat paham sekali apa itu sosialisasi empat pilar MPR, mereka bisa berinteraksi dan melakukan improvisasi bagaimana menjelaskan tentang Pancasila, sehingga kami tinggal melengkapi saja. Saya percaya bahwa sebenarnya para santri dan santriwati itu adalah Pancasilais.