Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc., Mencetak Intelektual Muda di Bumi Banua

Oleh: Syulianita (Editor) - 14 May 2019

Naskah: Giattri F.P. Foto: Sutanto

 

Dipercaya menjadi Rektor Universitas Lambung Mangkurat (ULM) selama dua periode, Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M.Si., M.Sc. mampu menjalankan amanahnya dengan baik, ia berhasil memoles ULM menjadi universitas terkemuka dan berdaya saing. Bahkan, pada 19 Maret lalu, perguruan tinggi di Kalimantan Selatan tersebut mendapat akreditasi A dari Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN PT).

Sutarto menuturkan, apa yang diraih universitas yang dinakhodainya tersebut tidak semudah membalik telapak tangan, dibutuhkan perjuangan yang tak sebentar. “Ini dimulai sejak rektor ULM dijabat Prof. Muhammad Rasmadi (periode 2005-2010). Waktu itu, ULM belum terakreditasi. Pada 2009, untuk pertama kali, kami mengajukan akreditasi institusi. Dalam kondisi serba terbatas. Jumlah doktor dan profesor tidak lebih dari seratus orang. Penelitian dan publikasi minim. Tata kelola masih sederhana alias tidak didukung oleh sistem informasi berbasis IT,” ungkap pria murah senyum tersebut.

 

Belum lagi, sambung Sutarto, sarana dan prasaran terbatas, khususnya laboratorium. Lalu, atmosfer akademik yang kering kerontang. “Hasilnya, ULM hanya mendapatkan akreditasi C,” papar kelahiran Banjarmasin, 31 Maret 1966 itu. Capaian itu mengagetkan banyak pihak. Pasalnya, selama ini orang selalu menyebut ULM sebagai perguruan tinggi tertua dan dihormati di kawasan Kalimantan. Namun, mengapa hanya memperoleh akreditasi C. “Ini seperti melegitimasi anggapan orang selama ini bahwa benar Unlam (red. sebutan sebelum ULM) adalah universitas lambat maju. Padahal, kalau kita mau jujur, capaian akreditasi C itu merupakan prestasi tersendiri karena saat itu dari ribuan perguruan tinggi di Indonesia, hanya beberapa saja yang telah terakreditasi. Namun, masyarakat sudah kadung menganggap dapat akreditasi C adalah sebuah aib,” ujar Wakil Ketua Forum Rektor Indonesia (FRI) masa Bakti tahun 2018 tersebut.

 

Lima tahun berselang. Pada periode Rektor Prof. Muhammad Ruslan (2010-2014), ULM bertekad memperbaiki diri. Perjuangan kampus di bumi Banua itu berbuah manis, pada 2014, sebelum berakhirnya jabatan Ruslan, ULM meraih akreditasi B dengan skor 318. “Pada saat saya mencalonkan diri sebagai Rektor ULM periode 2014-2018, saya bertekad untuk menaikkan akreditas ULM dari B menjadi A. Target saya paling lambat pada 2019, ULM sudah sampai level itu,” ujarnya dengan penuh semangat.

 

Mengubah Universitas ‘Lambat Maju’ Menjadi Universitas ‘Lebih Maju’

 

Ketika Sutarto terpilih menjadi Rektor ULM, ia pun langsung menjuruskan berbagai program strategis. Langkah pertama adalah merumuskan visi dan misi dengan jelas yang harus dipahami serta dihayati oleh seluruh sivitas akademika ULM. “Menjadikan ULM sebagai universitas terkemuka dan berdaya saing di bidang lingkungan lahan basah, harus menjadi denyut nadi setiap insan ULM,” tegas pria yang pernah menjadi pembicara di ICME-13 (13th International Congress on Mathematics Education) di Hamburg, Jerman ini. Langkah berikutnya, memperbaiki tata kelola. Upaya penjaminan mutu harus dimulai dengan perbaikan tata kelola, yaitu good university governance. Kemudian, membangun atmosfer akademik yang kondusif, sembari membangkitkan kebanggaan sivitas akademika terhadap almamater mereka.

 

“Saya melihat ada permasalahan besar di kampus ini. Dulu, sense of belonging dan pride terhadap lembaga tidak ada. Kalau mahasiswa ditanya, kuliah di mana, jawabannya ‘Unlam saja’, itu bukan sesuatu yang membanggakan. Dosen pun begitu, ada yang menulis di koran, dia segan mengakui kalau dia dosen di sini. Sepertinya, kami mengajar di kampus biasa-biasa saja. Saya berpikir salah satu program besar adalah mengembalikan kebanggaan civitas akademika terhadap almamaternya. Saya melakukan re-branding. Sebutan Unlam menjadi ULM,” paparnya.

 

Alasan utama lainnya, sambung Sutarto, menciptakan branding universitas, selama ini singkatan Unlam membuat banyak pihak salah paham, mengira Unlam adalah akronim dari Universitas Lampung. Bahkan, beberapa karya ilmiah dosen Unlam justru tercatat sebagai karya ilmiah Universitas yang berada di daerah berjulukan Kota Tapis Berseri tersebut. Hal ini menurutnya sangat merugikan institusi. “Saya juga membuat majalah berita ULM yang saya sebarkan ke mana-mana yang mengabarkan berbagai kegiatan kami,” tambah pemakalah terbaik pada The Third International Conference on Global Trend in Academic Research di Bandung ini.


Sutarto juga mendukung dosen yang menulis buku, artikel di jurnal, dan menghasilkan paten, dengan memberikan insentif. Lalu, tata kelola program studi pun diperbaiki. Hasilnya tidak sia-sia. Prodi-prodi mulai menuai prestasi dengan mendapatkan Akreditas A dari BAN PT. Jumlah doktor semakin banyak. Dosen-dosen yang memperoleh dana riset, khususnya dalam bidang unggulan lahan basah terus bertambah. Paten-paten mulai dihasilkan. Berbekal keberhasilan tersebut, dua tahun setelah Sutarto menjabat, tepatnya pada 2016, ULM bertekad melakukan reakreditasi. Targetnya, menaikkan akreditasi B menjadi A. Namun, ULM gagal meraih akreditasi A, hanya mendapatkan B lagi, tetapi skornya meningkat dari 318 menjadi 338.

 

“Untuk mendapatkan Akreditasi A harus memperoleh skor minimal 361 dari skala 0-400,” imbuhnya. Tidak berputus asa, Sutarto lalu meminta Ketua Lembaga Penjaminan Mutu (LPM) Prof. Muhammad Ahsin Rifai untuk mempersiapkan kembali akreditasi ULM. Proyek pembangunan gedung-gedung baru dan infrastruktur di lingkungan ULM sudah mendekati penyelesaian.

 

Wajah kampus berubah luar dalam. Atmosfer akademik sudah mulai terbangun. Tata kelola semakin baik. Reformasi birokrasi sudah menunjukkan hasil nyata. Pengakuan eksternal diperoleh. ULM diganjar penghargaan keterbukaan informasi publik dari Komisi Informasi Pusat (KIP) selama empat tahun berturut-turut.

 

“Mahasiswa, kami beri kesempatan untuk mendapat pengalaman di luar negeri. Dosen yang ingin meraih gelar doktor di luar negeri juga diberikan peluang besar. Saya sering memberikan rekomendasi kepada mereka. Waktu awal saya jadi rektor, jumlah doktornya kurang lebih 134, sekarang sudah 310. Dulu prodi yang akreditasinya A hanya 2, sekarang ada 23. Satu hal yang fenomenal adalah ULM mendapat dana Islamic Development Bank (IsDB) untuk membangun 12 gedung baru, antara lain gedung FISIP, Ekonomi dan Bisnis, digital library, lecture teater building, dan auditorium,” tambahnya.

 

Akhirnya, perjuangan selama lebih dari sepuluh tahun. Melalui tiga periode rektor berbuah manis. Di periode kedua kepemimpinan Sutarto, pada tahun 2019, ULM memperoleh akreditasi A. “Ini bukan prestasi pribadi saya, tapi merupakan hasil kerja bersama sivitas akademika ULM dibantu para alumni serta dukungan pemerintah pusat dan daerah. Semangat Pangeran Antasari dengan semboyan 'Haram Manyarah Waja Sampai Keputing' (semangat pantang menyerah dari awal sampai akhir) telah dibuktikan oleh kami. Semboyan tersebut menjadi jiwa dan semangat bagi kami untuk mewujudkan mimpi ULM yang terkemuka dan berdaya saing,” pungkas penghobi tenis itu.

 

Cita-cita Sebagai Presiden pun Tercapai

 

Bicara soal cita-cita, Sutarto menguntai, semenjak duduk di sekolah menengah pertama ia telah menggantungkan mimpi besarnya, yakni ingin menjadi presiden, wartawan, dan guru. “Saat bersekolah di SMPN 6 Banjarmasin, anak-anak diminta mengisi kuisioner ingin bercita-cita menjadi apa. Selepas SMP, saya masuk sekolah favorit, yakni SMA 1 Banjarmasin, biasanya yang bersekolah di sana adalah anak-anak pejabat. Lulus SMA, saya memutuskan masuk Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) ULM. Teman-teman menertawakan saya, mereka bilang ‘Sutarto ini mau jadi guru, mau jadi Oemar Bakrie ya?’ Ya, memang pilihan menjadi guru tidak populer kala itu, rata-rata banyak yang menjatuhkan pilihan di teknik, pertanian, atau ekonomi,” kenang ayah dua anak ini.

 

Lantas kenapa ia ingin menjadi guru? Sutarto dengan lugas menjawab, “Ini adalah pilihan rasional karena saya anak yatim. Kuliah butuh biaya besar, siapa yang akan membiayai? dalam hati saya berujar, saya ingin cepat dapat kerja.” Kemudian, Sutarto memilih Prodi Pendidikan Matematika karena ia menilai guru matematika itu langka. Nasib baik  datang padanya, belum tuntas kuliah, banyak Cita-cita Sebagai Presiden pun Tercapai tawaran untuk mengajar kepadanya. “Saya mengajar di sekolah swasta, SMP, SMA, memberi les privat pada anak-anak. Jadi, citacita saya menjadi guru terkabul,” ungkapnya sembari tertawa.

 

Sutarto yang menjadi Mahasiswa Teladan (1988) dan Mahasiswa Berprestasi (1989) FKIP ULM pun ditawari oleh Ketua Jurusannya kala itu Drs. Muhammad Arsyad meraih beasiswa ikatan dinas. “Saya tanya, kalau dapat beasiswa ini nanti saya jadi apa? Beliau bilang, kamu akan terikat, setelah lulus harus menjadi dosen di sini. Dalam hati saya berkata, kebeneran berarti saya tidak perlu repot-repot mencari kerja. Setelah saya lulus pada 1991, saya langsung diangkat menjadi dosen di FKIP. Jadi, saya tidak hanya menjadi guru, tetapi menjadi dosen bagi para calon guru,” urainya bangga.

 

Tidak berselang lama, ia melanjutkan pendidikan S2 Matematika di Program Pascasarjana Universitas Gajah Mada (UGM), lulus pada 1996. Pada 1999, ia memperoleh gelar MSc dalam bidang Educational and Training System Design dari University of Twente, Belanda. Tahun 2002, dari universitas yang sama, ia meraih gelar Doktor (Dr) dalam bidang pendidikan matematika dengan disertasi berjudul "Effective teacher Professional Development for the Imprementation of Realistic Mathematics Education in Indonesia". “Setelah pulang, Alhamdulillah, saya bersama teman-teman mendapat grand dari Pemerintah Belanda untuk mengembangkan pendidikan matematika realistik di Indonesia. Akhirnya, kerjalah di project itu, bersama teman-teman dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Sriwijaya (Unsri), dan dari beberapa kampus lainnya. Salah satu programnya adalah menerbitkan majalah bernama Pendidikan Matematika Realistik Indonesia (PMRI), saya diminta menjadi pemimpin redaksinya. Wah cocok ini, cita-cita saya yang kedua jadi wartawan terkabul. Saya wawancara, menulis artikel, menerbitkan majalah. 8 tahun saya ikut terlibat,” bebernya.

 

Dari sana, ia sering berkeliling Indonesia bahkan dunia untuk menghadiri konferensi internasional. “Berkat itu, saya punya banyak kredit poin untuk mengusulkan kenaikan pangkat. Akhirnya pada 2007, saya menjadi guru besar dalam usia 41 tahun. Setelah itu, terbukalah jalan saya untuk menjadi anggota senat universitas. Lalu pada 2010, menjabat wakil rektor. Puncaknya, pada 2014, saya terpilih sebagai Presiden ULM karena rektor dulu di sini disebutnya presiden. Sehingga, cita-cita saya menjadi guru, wartawan, dan presiden (rektor) terkabul. Tuhan berbaik hati mengabulkan cita-cita saya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Ini adalah mimpi yang menjadi nyata,” tandasnya.