Oleh: -

Naskah: Subhan Husaen Albari Foto: Edwin Budiarso & Dok. Pribadi

Bergelut sebagai lawyer sejak 26 tahun lalu, Hartono Tanuwidjaja melihat dunia hukum memiliki sisi warna yang beragam. Hitam bisa menjadi putih, putih menjadi hitam atau bahkan abu-abu. Dengan tantangan dan godaan yang begitu besar tersebut, pria kelahiran Bandung, 9 Juni 1965 ini selalu memimpikan penegakan hukum di Indonesia tidak mengalir begitu saja sesuai warna yang diinginkan, melainkan harus dibentuk dan ditepati kisi-kisi kebenarannya.

 

Bagi Hartono, penegakan hukum yang penuh dengan dinamika dan kepentingan membutuhkan selaksa talenta. Karenanya, sosok lawyer selain harus punya kemampuan bahasa dan logika plus daya ingat, dan analisis yang tajam, juga harus memiliki pijakan yang kuat dalam melihat hukum secara jernih. Bukan hanya sekadar mengejar menang kalah. Namun, keinginan menerapkan dan menempatkan hukum sesuai aturan yang diyakini kebenarannya. “Konsistensi kita dalam cara berfikir dan mewujudkan perbuatan atau tindakan itu butuh pemikiran yang jernih dan fokus. Kalau konsentrasi dan niatnya sudah nggak benar nanti pasti hasilnya tidak benar. Misalnya, pengetahuan kita kan sudah tahu bahwa hukum itu A-B-C-D. Tapi kalau hukum A-B-C-D itu kita kurangi atau kita tambahkan tentu hasilnya akan jadi berbeda. Dalam konteks itu kita harus menjaga kisi-kisi kebenaran. Hukum tidak bisa diwujudkan tanpa kita bisa memahami apa itu kisi kebenaran karena kisi kebenaran adalah saringan hati nurani kemana harus melangkah,” ujar Hartono kepada Men's Obsession saat ditemui di ruang kerjanya.

 

Menurutnya, kisi-kisi kebenaran itu berupa tatanan nilai yang dianut seseorang berdasarkan keyakinan agama, budaya, norma atau kepercayaan lain yang mengandung prinsip keadilan. Untuk bisa menjaga dan mempertahankan kisi-kisi kebenaran itu, kata Hartono, dibutuhkan kuda-kuda yang kuat. “Jadi kisi kebenaran dalam hukum itu harus diperjuangkan tidak boleh mengalir begitu saja karena ibarat orang latihan karate/ silat/tinju prinsip utamanya adalah kudakudanya harus kuat. Kalau tidak, kita pasti akan jatuh. Sama semisal di agama saya juga diajarkan kalau mau bangun rumah tidak boleh di atas pasir,” ucapnya. Tafsir kebenaran diakui Hartono memang beragam karena benar menurutnya belum tentu benar menurut orang lain. Untuk itu, batasan seorang lawyer atau advokat dalam bekerja ada di Kode Etik yang mengatur etika dan moral advokat. Namun, tetap ujungnya akan dikembalikan pada keputusan diri masing-masing advokat tersebut. Hartono tidak mau menjadi advokat/pengacara yang memaksa diri menerima semua perkara. Ia memilih untuk bisa menjadi diri sendiri dengan keunikan yang tidak dimiliki oleh orang lain.

 

Alumnus Universitas Parahyangan, Bandung dan Universitas Krisnadwipayana, Jakarta ini melihat setiap perkara memiliki kriteria sendiri. Tidak semua kasus yang besar itu sulit dan tidak semua kasus yang ringan itu mudah. Ia sendiri mengaku sudah pernah menangani kasus berat maupun yang ringan. Yang terpenting bagi dirinya dalam pencapaian kerja adalah rasa tanggung jawab pada diri sendiri dan orang lain. Maksudnya setiap lawyer harus bisa memberikan resep yang pas atau sesuai kepada kliennya. “Jangan sampai hanya karena ingin mengejar kemenangan, kita memberikan sembarang resep. Bisa saja itu dilakukan, tapi harus banyak disiapkan amunisi. Padahal dalam hukum, istilah menang dan kalah itu sejatinya tidak ada. Ibarat peribahasa “Menang jadi arang, kalah jadi abu”. Jadi, hukum tidak boleh dijadikan satu-satunya patokan kebenaran nanti pasti hasilnya akan kecewa,” terang Hartono.

 

Misalnya, ia pernah menangani kasus Pejabat Lelang yang dikriminalisasi dengan tuduhan penyalahgunaan wewenang. Padahal, ia hanya pelaksana tugas dari atasannya. Meski berhasil memenangkan, Hartono menganggap sebenarnya kasus ini biasa saja tapi bersifat nasional karena ia berfikir jika pejabat lelang bisa dikriminalisasi, maka bisa jadi tidak ada yang berani menjadi pejabat lelang. Dengan putusan itu, Hartono bangga bisa dijadikan rujukan sekaligus evaluasi bagi Departemen Keuangan untuk mengkaji lagi Peraturan Menteri Keuangan yang terkait dengan pelaksanaan lelang. “Jadi capaian kinerja itu tidak dilihat dari besar kecil suatu kasus, tapi barometernya menurut saya adalah bagaimana setiap kasus yang kami tangani bisa memberikan dampak positif bagi perkembangan hukum kita. Maksudnya begini, kalau memang secara hukum orang itu harus mendapat keadilan, ya kami berharap keadilan itu menyertainya. Jadi bukan karena keadilan itu didapat dengan cara dibeli atau menyuap. Saya akui memulihkan keadilan itu tidak gampang. Makanya tadi semua harus dikembalikan pada kisi-kisi kebenaran itu,” tandasnya.

 

Di luar kesibukannya sebagai seorang advokat/pengacara, Hartono tetap bisa membagi waktunya bersama keluarga di akhir pekan. Selain hobi jalan-jalan, ia juga senang bermain catur, billiard, koleksi batu akik, lukisan, korek api hotel mancanegara, baca buku, dan juga menulis. Pria yang miliki dua anak itu tengah menulis buku berjudul “Negeri Sejuta Ancaman Pidana”. Buku tersebut tentu diambil dari pengalamannya dalam menangani berbagai kasus hukum. Ada satu yang unik dari Hartono, ternyata ia juga merupakan promotor tinju, pemilik sasana tinju, pengurus organisasi tinju sekaligus manajer tinju profesional. Bahkan belakang ini, ia sedang menyiapkan buku olahraga tinju yang telah ditulisnya.

 

Unik, memang karena pekerjaan itu tak banyak dimiliki seorang advokat/pengacara. “Saya hanya ingin bisa menjaga keseimbangan hidup agar tidak jatuh, tidak lalai, tidak melakukan dosa. Filosofi hidup saya adalah kesederhanaan dan kesimbangan. Dengan kesederhanaan melatih kita untuk terus bersyukur atas nikmat Tuhan. Dengan keseimbangan melatih kita agar tidak jatuh dan lalai,” tutupnya