Obsession Awards 2018 'Apresiasi Bagi Pemberi Inspirasi'

Oleh: Iqbal Ramdani () - 22 March 2018

Best Achiever In Ministry

Yohana Yembise (Menteri PPPA RI)

Naskah: Giattri F.P., Foto: Sutanto/Istimewa


Dialah menteri dan guru besar perempuan pertama dari Papua. Sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, Yohana Yembise, melakukan berbagai gebrakan, ia bukan tipikal perempuan yang hanya duduk diam di belakang meja, ‘Kartini dari Timur’ tersebut tak segan terjun langsung dalam mensukseskan program Three Ends yang digagasnya.

 

Sebagai ‘pembantu’ Presiden Joko Widodo di Kabinet Kerja, Yohana begitu gencar menjalankan program Three Ends atau Tiga Akhiri. Apa yang dilakukannya berbuah manis, pencapaian target program tersebut telah melibatkan ribuan masyarakat yang tersebar di banyak wilayah Indonesia. Beberapa capaian Three Ends tersebut secara signifikan meningkatkan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yakni akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak, dan akhiri ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan. Hal ini mengacu pada arah kebijakan pembangunan PPPA dan mengingat begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak.  Capaian dalam mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, ditunjukkan dengan Penetapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas UndangUndang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, untuk mempertegas pemberatan hukuman. Yohana juga mencanangkan Gerakan Stop Perkawinan Anak. “Semua ini kami lakukan dalam rangka mencapai target pemerintah dalam suistainable development goals (SDGs),” jelasnya.

 

Kemudian, 250.000 perempuan dan anak terjangkau informasi tentang hak perempuan dan anak melalui KIE (komunikasi, informasi dan edukasi). KIE dilakukan dalam berbagai bentuk, diantaranya jelajah nusantara Three Ends, kampanye BERLIAN (bersama lindungi anak) dalam bentuk dialog musikal, pembuatan moving cartoon video, digital education dan boardgame. Anak, orang tua/keluarga, aktivis, perangkat desa, lembaga pemberhati anak, fasilitator desa, organisasi perangkat daerah, tokoh masyarakat dan tokoh agama di 136 desa pengembangan model Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di 68 kabupaten/kota, di 34 provinsi merasakan manfaatnya. Sejak 2015, Kementerian PPPA juga mengembangkan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). 

 

“Tahun 2015 ada 287 kabupaten/kota yang sudah launching KLA. Tahun 2016 meningkat menjadi 302, dan pada 2017 lalu bertambah menjadi 342. Kita harapkan di tahun 2019, sudah bisa mencapai 516,” paparnya. Pada 2017 lalu, sambung Yohana, sebanyak 126 kabupaten dan kota menerima anugerah KLA sedangkan tahun sebelumnya berjumlah 77 kabupaten/kota. Beberapa waktu lalu, pada acara Fifth Islamic Conference of Ministers in Charge of Childhood dengan tema ‘Mewujudkan Dunia Ramah Anak’ di Rabat, Maroko,Yohana bersama 26 menteri dari negara-negara islam membahas lesson learn yang diterapkan masing-masing negara dalam melindungi dan mengakhiri segala bentuk kekerasan pada anak, khususnya korban perang dan konflik radikalisme.

 

 

“Indonesia membagi program Child Friendly District and City Program (CFC) atau KLA. Ada beberapa negara yang tertarik dengan program tersebut,” jelas peraih penghargaan Simon Fraser University Outstanding Alumni Awards di bidang pelayanan publik ini. Mencegah kasus kekerasan pada perempuan dan anak, Kementerian PPPA juga mendorong Peningkatan cakupan layanan Pusat Pelayanan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 34 provinsi dan 390 kabupaten/kota. “34 provinsi dan 2 kabupaten telah mendapatkan Sertifikasi ISO-9001,” jelas Yohana. Program unggulan lainnya, yakni mobil perlindungan perempuan dan anak (MOLIN) dan motor perlindungan perempuan dan anak (TORLIN) tersebar di 34 Provinsi dan 209 kabupaten/kota, ketersediaan data kasus kekerasan yang terlaporkan secara online dapat di akses oleh semua unit layanan secara real time dan akurat berdasarkan data kependudukan, serta ketersediaan data pravelensi kekerasan terhadap perempuan, hasil Survei Pengalaman Hidup Nasional/ SPHN tahun 2016. Ada pula Satuan Tugas Perempuan dan Anak (PPA).