Ismed Hasan Putro, Sang "Pendobrak"
By Benny Kumbang (Editor) - 10 October 2014 | telah dibaca 6713 kali
Ismed Hasan Putro, "Sang Pendobrak"
Naskah: Sahrudi, Foto: Sutanto
Menyelami perjalanan hidup Ismed Hasan Putro, seperti mengikuti alur irama hidup yang penuh warna. Ia tumbuh dan berkembang dari keluarga pengusaha tapi kemudian memilih awal karir sebagai jurnalis meski akhirnya terdampar juga di dunia bisnis. Kalaupun kini dipercaya memimpin PT Rajawali Nusantara Indonesia, sebuah perusahaan BUMN di sektor industri dan distribusi pangan, bukan kekayaan yang ia cari. Ia, hanya ingin membalas kebaikan yang diberikan bangsa dan negara ini kepadanya. Karena itulah ia nothing to lose, sebuah prinsip yang menggerakkan dirinya untuk tampil sebagai pemimpin yang berani, tegas dan tidak pandang bulu dalam melakukan gebrakan dan dobrakan di RNI. Walhasil, dari perusahaan merugi, RNI kini boleh dibilang sebagai BUMN yang berjaya dan menguntungkan.
Lahir dari sebuah keluarga pengusaha di Palembang, Sumatera Selatan, membuat Ismed muda hidup berkecukupan. Tapi ternyata hal itu tak membuatnya kepingin meneruskan tradisi keluarganya sebagai entrepreneur. Peristiwa getir yang dirasakan ayahnya dalam berbisnis saat itu, masih membekas dalam dirinya bahkan hingga sekarang. Ia merasakan betul sakitnya sang ayah ketika ditelikung oleh rekan bisnisnya saat sedang berjaya sebagai pengusaha distribusi mobil truk dan alat – alat pertanian. Ia juga merasa sedih ketika harus menagih hutang bersama ibunya, diperlakukan seperti seorang pengemis.
Semua pengalamanya di masa remajanya itu, lancar diceritakan saat Men’s Obsession menyambanginya di gedung PT Rajawali Nusantara Indonesia (RNI), gedung BUMN di mana sekarang ia duduk sebagai Direktur Utamanya.
Pengalaman-pengalaman pahit itulah yang mengendap dalam benak dan hati sanubarinya sehingga kemudian ia tidak memilih jalan hidup di dunia bisnis. Ismed, mendobrak tradisi keluarganya yang menjadi pengusaha. Ia memilih dunia jurnalistik dan intelektual sebagai pilihan untuk melawan main stream keluarganya yang pengusaha itu. Ia ingin memberikan pencerahan, itulah tekadnya.
Namun dalam perjalanan hidup Ismed selanjutnya, ternyata tak hanya dunia publisistik yang ia selami. Saat menjalani kehidupan sebagai staff peneliti di Litbang harian Kompas dan menjadi anggota redaktur rubrik opini diharian Jawa Pos, ia ternyata bersentuhan dengan dunia lain. Perkenalannya dengan sineas kawakan semisal Slamet Rahardjo, Eros Djarot, Christine Hakim, dan Emha Ainun Nadjib senias dan budayawan telah membuka cakrawala barunya di dunia perfilman nasional dengan tampil sebagai marketing film “Tjoet Njak Dhien” yang melegenda itu. Dalam proses kemudian Ismed juga dekat dan akrab dengan seniman dan budayawan seperti W.S Rendra, Setiawan Djody, Iwan Fals, Sawung Jabo, Jockie Surjoprajogo dari kelompok musik Kantata Takwa dari sanalah Ismed yang pernah kuliah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Indonesia (UI) memiliki kedekatan dengan cendekiawan muslim almarhum Nurcholish Madjid. Nurcholish Madjid yang akrab dipanggil Cak Nur inilah yang mengenal Ismed dengan M. Jusuf Kalla yang saat itu sebagai Direktur Utama NV Hadji Kalla di Makassar saat bekerjasama memasarkan film” Tjoet Njak Dhien” di wilayah Indonesia Timur. Ismed juga dekat dengan 3 tokoh Golkar Ir. Sarwono Kusumaatmaja, Akbar Tanjung, Siswono Yudohusodo pada saat bersamaan Ismed juga aktif diskusi bersama dengan Prof. Dr. Juwono Sudarsono dekan Fisip UI Depok, Dr. Sahrir Ekonom Senior, Rahman Tolleng. Sampai kemudian, Dahlan Iskan, yang menjadi boss-nya saat itu sempat ‘menegur’ Ismed. “Saya ditanya mau jadi jurnalis atau pebisnis? Lalu saya bilang, saya ingin buat bisnis, beliau tetap tenang. Malah dia kasih modal ke saya 25 juta rupiah, dan sampai sekarang belum saya balikin duitnya, hahaha..” Ismed mengenang.
Ternyata, Ismed tak mampu melawan takdirnya. Meski bertekad tak ingin tampil sebagai entrepreneur, toh garis tangan akhirnya mengantarkannya juga menjadi seorang pengusaha. Ia pernah duduk sebagai direktur utama hingga komisaris di berbagai perusahaan swasta. Sampai kemudian, rekannya, Said Didu yang ketika itu menjadi Sekretaris Menteri BUMN menawarkannya untuk menjadi komisaris di PT RNI.
Berbilang waktu kemudian ia ditunjuk sebagai Direktur Utama PT RNI. Tak disangka-sangka, ketika Dahlan Iskan dilantik sebagai Menteri BUMN, ia bertemu lagi dengan mantan bossnya di Jawa Pos dulu. “Dulu, beliau bos saya di Jawa Pos, eh sekarang jadi bos saya lagi di BUMN. Syukurnya, ketika saya pamitan sama beliau dari Jawa Pos dulu itu dengan cara baik-baik dan kami tetap menjaga hubungan baik sampai kemudian beliau kembali memimpin saya lagi dimana saya jadi dirut perusahaan BUMN dan beliau Menteri BUMN,” ia tersenyum. Sejak memimpin RNI pada bulan Maret tahun 2012, keberanian dan ketegasan Ismed tak beda jauh dengan Dahlan Iskan. Jika Dahlan melakukan banyak gebrakan dan mendobrak ketidakberesan di lingkungan BUMN, Ismed juga mendobak setiap ketidakberesan yang dilakukan dan terjadi di lingkup perusahaan yang dipimpinnya bahkan ketidakberesan yang diakibatkan oleh pihak eksternal.
Pria yang gemar pakai sepatu kets dan kemeja putih plus celana hitam ini, dikenal banyak kalangan khususnya di internal RNI sebagai pemimpin yang berani melakukan perubahan, khususnya terkait efisiensi di RNI sekalipun usia kepemimpinannya belum genap 3 tahun. Betapa tidak, ia nekad menghilangkan seluruh fasilitas dan kemewahan yang diberikan kepadanya sebagai seorang direktur utama. Mulai dari mobil dinas, fasilitas hotel, uang jalan dan lainnya dia hapuskan. Bahkan, satu set furniture mewah yang sudah lama bercokol di ruang kerjanya ia ganti dengan seperangkat meja dan kursi rapat. Tak ada meja kerja khusus. Dan itu diikuti oleh para direksi. Lebih berani lagi ketika baru dua minggu memimpin RNI dan melihat ‘bengkak’ nya personil di RNI, ia langsung melakukan pengantian terhadap beberapa orang yang duduk di posisi deputi direksi, direksi, dan komisaris anak perusahaan. Dengan jumlah karyawan hingga 275 lebih di RNI menurutnya sangat tidak ideal mengingat RNI adalah perusahaan holding. Seharusnya yang diperbanyak adalah tenaga di anak perusahaan. “Terpaksa, setelah evaluasi, maka dalam seminggu saya menganti 30 orang lebih direktur dan komisaris dari 13 anak perusahaan,” tegasnya. Ia juga melakukan langkah pembenahan untuk mengurai posisi karyawan yang idle sehingga menjadi karyawan yang dinamis dengan posisi yang jelas antara lain melakukan ‘pindah kuadran’ dan rotasi dari satu posisi ke posisi lain agar dapat memberikan hasil kerja yang maksimal.
Ismed berani melakukan langkah tersebut karena ia telah memberikan contoh yang baik kepada seluruh karyawannya. “Saya tidak mungkin me-appeal seluruh karyawan saya untuk menjalankan perusahaan ini dengan baik kalau saya sendiri tidak membangun budaya yang baik di mata mereka. Nah ketika saya memutuskan untuk tidak mengambil semua fasilitas itu, itu bagian dari komitmen saya karena memang saya ingin membayar kepada negeri ini atas semua kenyamanan yang sudah saya dapatkan sebelum saya menjadi Dirut RNI,” tegasnya. Ia bertekad tak ingin mencari kekayaan di RNI, karena jauh sebelumnya ia sudah merasa berkecukupan dengan penghasilannya yang halal. Dan yang pasti, dengan gaya kepemimpinannya itu, RNI sukses meraih laba setelah sebelumnya terpuruk ditelan rugi.
Tak hanya di RNI ia melakukan dobrakan. Di luar itu, ia juga berani membuka adanya ketidakberesan sejumlah oknum anggota DPR RI yang melakukan pemerasan terhadap BUMN. Dan ia melaporkan semua yang diketahuinya ke Badan Kehormatan DPR. Akibatnya, Ismed Hasan Putro diusir oleh anggota Komisi VI DPR saat rapat dengar pendapat (RDP) di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (2/4/2013). Para anggota DPR sepertinya tidak menerima tuduhan Ismed tekait pemalakan BUMN oleh Oknum Anggota DPR.
Tapi buat Ismed itu tidak masalah. Ia tetap berjalan dan berjuang. Ia tak bisa menghentikan sifatnya yang terbuka dan ceplas-ceplos terhadap apa yang ia lihat dan rasakan. Terhadap sikapnya itu, ia punya pendapat sendiri, “saya tidak bisa melepaskan karakter saya sebagai orang yang keras, karena saya dibesarkan di budaya Palembang, tapi di sisi yang lain saya juga ditempa oleh budaya arek Surabaya, saya lama di Surabaya karena SMA saya disana dan sempat bekerja di Jawa Pos Surabaya cukup lama, jadi budaya itulah yang mewarnai saya, ketika saya bergaul di Jakarta, budaya Surabaya yang ceplas-ceplos tidak bisa saya lepaskan, sehingga saya lantang saja, saya tidak peduli siapa pun karena prinsip hidup saya satu, seperti yang ayah saya sering bilang, hidup itu hanya sekali, mati itu pasti, jadi ga usah neko – neko. Jalani hidup ini dengan berbuat baik dan memberi manfaat bagi sesama!”
Dalam wawancara yang berlangsung selama dua kali di hari berbeda, Ismed menguraikan banyak hal tentang konsep RNI yang ideal sebagai BUMN yang berbasis industri pangan, hingga konsep dan harapannya dalam membangun politik pangan yang ideal sehingga mampu mewujudkan cita-cita Indonesia dalam swasembada pangan. Ia juga mengupas tentang sikap dan pandangan serta perjalanan hidupnya dalam meniti karir hingga saat ini. Semuanya diungkap dalam tulisan 10 halaman ini.
Pelajaran Hidup Si Anak Pengusaha
Memandangi puluhan bahkan hingga seratusan mobil truk dan bus milik ayah kami yang berjejer di sepanjang pinggir jalan depan rumahnya, adalah keasyikan tersendiri bagi Ismed kecil setiap kali bangun pagi. “Sedikit bangga juga, karena truk-truk itu adalah milik kami,” kenangnya. Agak siang sedikit, selepas sekolah ia menikmati jalan-jalan bersama sang ayah ke sawah melihat penggilingan padi. Maklum, selain sebagai distributor mobil, keluarga Ismed juga menjadi distributor alat-alat bajak sawah dan penggilingan padi. Sebenarnya, masih banyak lagi usaha yang dikelola keluarga ini selain menjual truk dan alat penggilingan, antara lain bisnis kecil-kecilan di bidang pencetakan dan penerbitan koran dan mengelola puluhan bagan ikan di lepas pantai.
Satu lagi kenangan yang masih membenam dalam benaknya adalah, ketika tiba waktu makan siang, puluhan bahkan hingga ratusan orang berkerumun di ruang tamu dan halaman rumahnya yang besar untuk sekadar makan siang bersama. Sebuah kebahagiaan yang sulit dilupakan sampai kemudian datang cobaan yang cukup berat bagi keluarga ini. Seorang teman bisnis ayahnya melakukan sesuatu yang boleh dikatakan sebagai sebuah kecurangan bisnis terhadap sang ayah.
“Seseorang yang sudah kita anggap sebagai keluarga bukan hanya sekedar partner bisnis, mendatangi kami dan berjanji untuk mengembangkan bisnis kami. Ya, kami percaya. Tapi ternyata dia hanya mencari celah untuk menguasai bisnis yang kami jalani. Singkatnya, dia membuka distributor sendiri terhadap produk yang sudah kami jual selama ini. Ya jelas saja ayah tak sanggup karena harga dia bisa lebih murah karena dia adalah produsen, sedangkan ayah hanya distributor. Jatuhlah. Disini saya dapat pelajaran yang membuat saya sadar, oh ternyata begini ya dunia usaha, banyak tipu-tipu dan ada pengkhianatannya,” ujarnya, menerawang.
Tak sampai disitu saja hal yang membuat resistensi dirinya terhadap dunia bisnis. Ada satu kejadian yang juga tak dilupakannya saat menagih hutang bersama sang bunda. Sebagai dealer mobil, ayahnya kerap memberikan kemudahan kepada konsumen untuk mencicil mobil yang mereka beli. Sampai kemudian, ada seorang konsumen yang hutangnya sudah jatuh tempo dan terpaksa harus ditagih oleh Ismed bersama ibunya. Maklum, zaman tahun 1970 akhir itu tidak ada leasing. Jadi pemberian pinjaman berdasarkan saling percaya saja. Tapi apa yang terjadi ketika ia menagih hutang tersebut? “Kami menagih hutang dari pukul 8 pagi hingga pukul 15.00 sore, dan kami dibiarkan di teras rumah mereka. Kami menagih hutangnya yang tinggal 1 juta rupiah sekian, tapi ketika itu mereka hanya kasih 100 ribu saja. Betul-betul ketika itu saya dan ibu diperlakukan tidak manusiawi, seperti pengemis. Padahal mereka itu berhutang kepada kami,” ceritanya kembali menerawang.
Peristiwa itulah yang akhirnya membuat dirinya memiliki prinsip untuk tidak memberikan hutang kepada orang lain. “Saya tidak akan pernah menghutangi orang karena menghutangi orang itu berarti kita akan membalik posisi hidup kita dari memberi akhirnya kita menjadi pengemis. Karena kalau kita perlu uang itu, kita pasti akan meminta uang itu ke dia, ya kalau dia mau kasih, kalau tidak? Itu pembelajaran hidup. Jangan pernah percaya dengan orang yang berhutang karena dia bisa memperlakukan kita berbalik dari status sosial yang kita miliki, dan itu sangat menyakitkan, itu saya mengalami betul,” ucapnya. Kalau ada yang mau pinjam, ga usah ngutang, kasih aja seikhlasnya biar jadi amal.
Pengalaman hidup lainnya yang juga ia dapatkan semasa remaja, adalah ketika ayahnya merintis bisnis bagan ikan. Ketika itu ia memiliki 50 lebih bagan penangkap ikan di lepas pantai. Bulan-bulan pertama, hasil dari bagan itu sering diantar ke rumahnya. “Tapi lama-lama habis tidak ada bekas dan orang-orang itu pun tidak pernah nongol lagi, tapi ayah tenang saja, katanya biar saja karena hitung-hitung bantu mereka, itu kan investasi saya untuk di surga nanti,” ia mengenang ucapan ikhlas sang ayah.
Kemerosotan bisnis sang ayah ketika mulai terlihat dari waktu ke waktu. Dari ratusan mobil yang biasa nongkrong di halaman dan jalan depan rumahnya hingga tinggal tersisa hanya 3 mobil pribadi saja. Tak hanya itu, kerumunan ratusan orang yang biasa kumpul di siang hari untuk makan bersama, pada saat itu pergi satu persatu. Sampai akhirnya, hanya tujuh orang saja yang tersisa makan siang bersama yakni Ismed dan ke dua orang tuanya serta keempat adiknya. ”Tidak ada lagi gula, sehingga semut pada kabur. Disitu saya katakan pada ayah saya, kita tidak perlu menjadi orang kaya, tapi begini akhirnya. Tapi disitu saya belajar filsafat hidup bahwa yang namanya harta, setiap saat bisa habis dan tidak berbekas, tapi di saat itu juga, saya kagum dengan ibu saya, yang ternyata beliau itu bisa berhemat dari uang belanjaan hari-hari yang kemudian bisa membantu ayah kami mendapatkan modal yang cukup untuk bangkit dengan memulai usaha yang baru,” ia tersenyum penuh arti.
Dari Jurnalis, Merintis Bisnis
Memasuki dunia wartawan, adalah cara Ismed untuk melawan main stream hidup dalam keluarganya yang sebagian besar adalah pengusaha. Kecewa dengan dunia bisnis yang pernah dialami ayahnya itulah yang menjadi alasan ia memilih bidang jurnalistik. Tapi siapa nyana jika dari dunia inilah ia justru terdampar di dunia bisnis.
Awalnya ketika masih kuliah di Universitas Indonesia (UI) ia sudah mendapat tawaran untuk menjadi peneliti di Penelitian dan Pengembangan (Litbang) harian Kompas. “Saya ditawari Mas Emanuel Subangun. Itu tahun 1987,” ia mengingat. Suatu ketika ia ditugaskan ke Malang mengikuti sebuah acara politik yang menampilkan pidato ekonom Menko Ekuin Indonesia Prof. Dr. Widjojo Nitisastro. “Saya tulislah isi pidato itu di secarik kertas, kemudian diberikan ke Kepala Biro Kompas di Surabaya, Mas Max Margono.
Ternyata hasil catatan saya itu jadi berita headline di harian Kompas, bayangkan saya masih mahasiswa lalu saya hanya menulis di secarik kertas, tiba-tiba oleh Kepala Biro Kompas itu jadi berita headline. Senang sekali,” bangganya. Dari situlah ia merasa jurnalistik adalah dunianya.
Ia pun aktif menulis. Salah satunya tulisan artikel yang dimuat di Jawa Pos yang dipimpin Dahlan Iskan. Ketika itu Dahlan senang dengan analisis Ismed di artikel tersebut. Ditawarilah ia untuk bergabung dengan Jawa Pos. Ia setuju dan mendapatkan tugas sebagai redaktur bidang opini. Kurang lebih 8 tahun di Jawa Pos, ia sudah membangun jaringan yang sangat luas baik di kalangan intelektual, entrepreneur dan seniman. Misalnya dengan sineas kawakan Slamet Rahardjo Djarot, Eros Djarot, dan aktris kawakan Christine Hakim yang saat itu sukses membuat film “Tjoet Njak Dhien”. Ternyata di balik kesuksesan film peraih 8 penghargaan di Festival Film Indonesia dan tampil dalam Festival Film Canes, ada Ismed di dalamnya. Ya, saat itu ia kebagian tugas dari Ekapraya Film selaku pembuat film “Tjoet Njak Dhien” untuk memasarkan film ini di Indonesia bagian Timur. Dan melalui Nurcholish Madjid yang lebih di kenal dengan panggilan Cak Nur, Ismed berkenalan dengan keluarga M. Jusuf Kalla yang digandengnya untuk memasarkan film ini ketika itu.
Kedekatannya dengan pengusaha Setiawan Djody, juga diawali dari film ini. Tapi ada kelebihan Ismed di mata Djody. lebih khusus lagi soal tulis menulis. Saat itu, setiap kali bertemu dengan bos Setdco (perusahaan di bidang perkapalan dan perminyakan) ini, Ismed banyak berdiskusi. Hasil diskusi itu ia tulis dan diterbitkan di Jawa Pos sebagai artikel. Djody ternyata tertarik dengan analisis Ismed yang disarikan dari diskusi mereka. Walhasil, ditawarilah Ismed bergabung di PT. Setdco Group. Ismed mengiyakan, meski ketika itu statusnya masih sebagai redaktur di Jawa Pos. Jadilah ia bolak balik Jakarta (kantor Setdco) dan Surabaya (kantor Jawa Pos). Saat itulah ia mengalami sesuatu yang kontradiksi. Ketika di Setdco, Ismed sebagai harus tampil sebagai professional dengan penampilan flamboyan sebagaimana Setiawan Djody yang selalu perlente. Tetapi ketika ke Jawa Pos, ia harus berhadapan dengan bosnya, Dahlan Iskan yang kemana-mana pakai sepatu kets sambil nenteng tas kresek. “Haha..ketika itulah saya mendapatkan banyak pelajaran hidup. Mas Djody dengan sangat flamboyannya sebagai pengusaha dengan segala kelebihannya, dia luar biasa, Tetapi di sisi lain saya menemukan seorang Dahlan Iskan yang sangat bersahaja, sederhana,” ujarnya.
Aktivitas Ismed yang harus hidup sebagai seorang wartawan dan menjadi professional di Setdco, rupanya dipahami Dahlan Iskan yang langsung menawarinya untuk berbisnis atau tetap ingin jadi jurnalis. “Saya bilang, saya ingin buat bisnis, eh dia kasih modal ke saya 25 juta rupiah, dan sampai sekarang belum saya balikin duitnya,” Ismed tertawa. Waktu berjalan, Ismed pun semakin asyik dengan dunia bisnis. Sesuatu yang dulu pernah ia tolak dalam hidupnya. Selepas dari Setdco, ia berbisnis gula, kelapa sawit, dan industri konstruksi.
Melawan Kezoliman Bersama MPM
Kebiasaannya berinteraksi dengan sejumlah tokoh politik intelektual dan jiwa pergerakkan yang tetap menyala dalam dirinya, membuat mantan aktifis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) ini tampil sebagai sosok professional yang berjiwa aktifis. Sikap kritisnya tetap bergelora saat melihat ketidakberesan. Seperti misalnya ketika pemerintah menaikkan harga BBM, tarif telepon dan tarif dasar listrik (TDL) secara bersamaan di tahun 2005, Ismed pun ‘gusar’. Ia melihat dan menilai ini adalah sebuah kezhaliman. Salah seorang rekannya, Benny Soetrisno yang pengusaha tekstil mengajaknya berdemo menentang kenaikkan itu. “Waktu itu kan sudah ada perwakilan dari buruh, sudah ada perwakilan dari pengusaha yaitu KADIN, kemudian sudah ada perwakilan dari pengusaha muda HIPMI, ada Apindo, pekerjanya sudah ada, pengusaha sudah ada, tapi profesionalnya belum ada. Kemudian kami buatlah gerakan Masyarakat Profesional Madani (MPM) kumpulan kalangan prefesional yang merupakan mantan aktivis mahasiswa tahun 80-an alumnus ITB, UI, UGM, UNHAS, STAN, beberapa perguruan tinggi lain antara lain mereka adalah Ito Warsito (Direktur Utama Bursa Efek Indonesia), Sukmawati Syukur (Direktur Utama Jakarta Monorel), Ryan Kirianto (Ekonom Bank BNI), Dandossi Matram (Pengamat Pasar Modal) , Djoko Retnadi (Ekonom Bank BRI), dan masih banyak yang lain.
Gerakan MPM ini ternyata mendapatkan perhatian masyarakat. Sampai kemudian, rekannya yang lain, Said Didu yang ketika menjabat Sekretaris Menteri BUMN memintanya untuk bergabung di Komite Kebijakan Publik, Kementerian BUMN. Ia pun masuk dalam lembaga yang beranggotakan para expert dari berbagai bidang seperti Fachri Aly, Umar Juoro, Fadhil Hasan dan lainnya.
MPM sengaja didirikan oleh Ismed dan kawan-kawan ketika ia dan kawan-kawannya saat sudah berada pada posisi ekonomi yang mapan. “Saya mendirikan Masyarakat Professional Madani dengan teman-teman aktivis yang kebetulan sudah menjadi pengusaha dan professional di banyak BUMN,” jelas Ismed. Dengan begitu, apa yang disuarakan MPM adalah murni sebagai sebuah perjuangan tanpa ada yang membiayai atau mencari keuntungan dari aksi. “Karena anggota kami itu sudah mapan semua. Saya tidak risau karena secara ekonomi kami tidak tergantung. Kebetulan teman-teman MPM itu adalah orang-orang yang professional, jadi ketika dia bersuara lantang, dia tidak khawatir soal dapur dan tidak mengajukan proposal kepada manapun karena dia sudah memiliki penghasilan tetap,” tambahnya. Dari MPM itulah Ismed memasuki RNI sebagai komisaris hingga kemudian menjadi Direktur Utama.
Menjemput Derita
Awal Ismed berkiprah di RNI adalah ketika Sekretaris Menteri BUMN, Said Didu menawarinya untuk menjadi komisaris di perusahaan negara tersebut pada tahun 2008. “Jadi yang sebenarnya ngejorogin saya ke RNI, ya Pak Said Didu itu,” ia tertawa. Selama empat tahun ia jadi komisaris, Ismed mengaku mendapatkan banyak pelajaran RNI sebagai perusahaan holding yang berbeda dengan mengelola perusahaan yang entitasnya tunggal. “Bayangkan ada 13 perusahaan yang satu dengan yang lainnya tidak ada korelasi, ada perusahaan gula, CPO, farmasi, kondom, pabrik kulit yang di ekspor, ada perusahaan karung plastik, sangat multi, ada kebun teh, perusahaan trading yang memperdagangkan kebutuhan hidup, jadi macam-macamlah dan itulah RNI,” ungkapnya.
Karenanya ketika ia ditunjuk sebagai Dirut RNI di tahun 2012, ia sudah siap mengurusi perusahaan holding dengan 13 jenis usaha di dalamnya. “Pagi saya bicara tebu, siang bicara sapi, sore bicara kondom..hahaha, bayangkan semua unit bisnis di RNI itu tidak ada korelasinya dan saya harus bisa mengatasi semua itu,” ia menjabarkan.
Pada saat proses dari komisaris menjadi calon Direktur Utama RNI dalam tahapan mengikuti wawancara dan fit and proper di kementrian BUMN tiba-tiba Dahlan Iskan dilantik sebagai Menteri BUMN. Takdir ternyata mempertemukan kembali ‘anak buah’ dan ‘bos’nya. Dulu, ketika jadi wartawan, Ismed adalah anak buah Dahlan Iskan. Berbilang tahun ketika ia keluar dari dunia wartawan ia kembali dipertemukan dengan Dahlan dengan posisi tidak berubah, Ismed sebagai Dirut RNI yang note bene adalah anak buah Dahlan yang Menteri BUMN. “Pesan yang saya ingin sampaikan adalah bahwa dalam hidup janganlah kita keluar dari suatu tempat tanpa tatap muka. Kita harus wise, sesakit apa pun, begitu kita meninggalkan tempat tampakkanlah muka kita dengan senyum, bersahabatlah, baiklah, tinggalkan kesan manis, mengapa? Karena kita tidak pernah tahu suatu saat dalam perjalanan hidup kita mungkin kita akan ke tempat itu lagi atau bahkan kita akan bertemu dengan orang yang kita pamit pada saat pergi itu, bisa terbayang tidak ketika saya sudah melanglang buana sekian puluh tahun di luar Jawa Pos, kalau saya keluar dari Jawa Pos tidak baik-baik dan Mas Dahlan menyimpan kesan yang tidak baik tentang saya, mungkin lain ceritanya,” ia mengingatkan.
Tapi ada satu pernyataan Dahlan Iskan yang dicatat Ismed saat ia menjadi dirut. “Mas Dahlan bilang kebanyak relasi dan koleganya yang menanyakan tentang saya, Ismed masuk ke RNI ibarat menjemput derita, haha..” ia mengenang. Di RNI, sejatinya Ismed memang menciptakan ‘derita’ untuknya sendiri dengan memotong semua fasilitas yang mamanjakan dirinya sebagai seorang direktur utama seperti mobil mewah dinas, anggaran perjalanan dinas, dan fasilitas lainnya.
Kalaupun ada yang hilang dalam dirinya ketika menjadi pucuk pimpinan di RNI, itu adalah kebiasaannya berumroh setiap kali menjelang hari raya Idul Fitri sampai selesai puasa syawal di Mekkah. “Saya kerja memang terkadang tidak kenal hari, tidak kenal waktu. Buktinya apa? Idul Adha pun saya ada di pabrik, potong sapi qurban dengan karyawan di pabrik, Saya tidak kenal libur, sudah 2 tahun 8 bulan, saya di RNI itu saya belum pernah ambil cuti. Sesuatu yang paling sedih untuk hidup saya adalah selama dua tahun lebih di RNI, saya sudah tiga tahun tidak Umrah Ramadhan. Padahal hampir 23 tahun lebih saya lakukan itu secara rutin setiap tahun. Karena pada saat Ramadhan, 10 pabrik gula RNI selalu jatuhnya pada musim giling tebu. Nah giling tebu itu pabriknya bekerja 24 jam. Karyawannya tidak ada yang libur, semua bekerja full di pabrik, ada persoalan etis, ko’ saya sibuk ibadah Umroh, sedangkan karyawan saya puluhan ribu orang sedang berjibaku, itu yang membuat saya tidak nyaman. Jadi ini lebih pada etika soal tanggung jawab moral. Kalau saya minta ijin Insya Allah dikasih. Tapi secara etika saya tidak merasa nyaman, saya sebagai kepala karyawan di RNI, ada puluhan ribuan karyawan saya bekerja full pada musim giling itu, sementara saya umrah untuk kenikmatan dan kenyamanan pribadi, kurang elok ia menguraikan. Sebagai gantinya, Ismed pun merogoh kocek pribadinya untuk mengumrohkan 12 orang setiap tahun.
Apa kegiatan yang akan dilakukan jika sudah tidak di RNI? Saya akan fokus mengurus masjid Agung Sunda Kelapa, Menteng. Kebetulan saya Sekertaris Dewan Pengurus dan Bapak Haji Muhammad Aksa Mahmud Ketuannya, selain itu tentu saja saya ingin merealisasikan pendirian SMP, SMA Islam International di Lembang, Bandung. Kalau perusahaankan sudah diurus adik – adik saya.
Apakah Ismed memang “menjemput derita” ? Ia tertawa. “Saya kok merasa bahagia bisa bekerja all out untuk negara,” tegasnya. Hal itu, sesuai dengan apa yang selalu ia katakan, “ingin membalas budi atas kebaikan yang telah diberikan bangsa dan negara ini kepadanya.
Saya Berfikir Secara Aktifis!
Memasuki ruang kerja Ismed, kita seperti masuk ke dalam ruang rapat. Tak ada meja dan kursi kerja yang mewah. Yang ada hanya meja berbentuk oval yang memanjang dengan sekitar puluhan kursi di sekelilingnya. Pintunya tak pernah ditutup. Benar-benar jauh dari perkiraan sebagai sebuah ruang kerja seorang petinggi perusahaan. Di ruang yang mejanya penuh dengan display produk PT RNI itulah, Ismed menerima Men’s Obsession untuk sebuah wawancara. Banyak hal diungkap dalam wawancara ini, mulai dari pembenahan RNI hingga kebijakan terkait pangan. Apalagi RNI adalah perusahaan BUMN yang salahsatu tugasnya adalah pengadaan pangan seperti daging, beras, gula dan lain sebagainya. Sesuatu yang diakuinya sebagai hal yang sangat vital bagi rakyat Indonesia saat ini. Banyak gagasan dan ide ia sampaikan terkait hal itu. Gamblang, apa adanya, dan familiar membuat wawancara mengalir lancar dan kadang diselingi joke dan cerita lucu yang di alaminya. Wawancarapun seperti sebuah dialog yang cair. Dan itulah yang kami suguhkan dalam petikan wawancara ini.
Apa yang Anda rasakan ketika pertama kali memimpin RNI ?
RNI ini adalah tipikal umumnya BUMN, tidak efisien dan cenderung menjadi birokrasi, dia bukan korporat. Karena itu mindset yang saya ubah pertama kali adalah budaya, culture, dia harus menjadi culture korporasi bukan birokrasi makanya ketika saya masuk pertama kali ke RNI, itu tiga hari setelah saya dilantik, serah terima, saya sampaikan bahwa saya ingin mengurangi lemak-lemak yang ada di RNI dan proses pengurangan lemak itu harus saya mulai dari diri saya.
Apa yang Anda maksud mengurangi ‘lemak’ ?
Pertama mengurangi posisi jabatan yang ada disini, dulu RNI ada yang namanya direksi, kemudian ada deputi direktur sebanyak 7 orang, dibawahnya lagi ada asisten deputi direktur, dibawahnya lagi ada kepala divisi, dibawahnya lagi ada kepala bagian. Jadi ada 5 strata, ketika saya masuk 2 strata saya hapuskan yakni deputi dan asisten deputi.
Kenapa ?
Deputi itu kan cuma ada di kementerian BUMN, ini kan bukan di Kementrian BUMN, ini perusahaan. Nah saya menghapuskan posisi tadi untuk efisiensi dan efektivitas kerja. Bisa dibayangkan kalau saya mendelegasikan kewenangan itu kepada yang namanya kabag, nanti melalui deputi, kepada asisten deputi, nanti ke kadiv, kabag, baru kemudian stafnya yang tadinya hurufnya 10 bisa jadi 3, karena nanti terjemahnya bisa berbeda-beda. Dan itu rapatnya selalu eksklusif BOD, nanti ada rapat Kabag sesuai jenjang. Kalau saya tidak, makanya ketika di RNI saya langsung hapus. Direksi langsung ke kadiv lalu kabag itu supaya lebih efisien dan rapatnya di ruangan saya makanya kursinya banyak. Jadi kalau rapat semua direksi ada,Kadiv kabag juga ada, terus unit-unit bisnis misalnya unit bisnis beras, bisnis air minum, bisnis sapi, bisnis rending, bisnis property, ada semua disini saya libatkan semu. Dan saya juga seringkali mengambil keputusan melalui grup BB (blackberry-red) sehingga ketika saya berada di luar Jakarta, saya tetap bisa mengambil kebijakan itu tinggal nanti formalitas teken belakangan.
Anda menyebut diri sebagai Kepala Karyawan dan bukan Dirut, ada alasannya ?
Saya memang tidak pernah menyebut Dirut kalau disini, saya ya seperti karyawan makanya saya dari awal tidak mengambil mobil dinas, rumah dinas, dan fasilitas dinas yang lain.
Itu kan hak Anda ?
Fasilitas dinas memang merupakan hak, saya tidak ambil bukan berarti saya kufur nikmat, tapi ketika awal-awal saya mengatakan bahwa, saya ingin melakukan transformasi, tidak mungkin saya mengajak orang untuk efisien kalau saya sendiri tidak melakukan itu, jangan kan orang lain, saya pun akan mengatakan siapa elo kalau saya sendiri atau pemimpin saya tidak mau susah. Ini soal kepraktisan saja, saya sedang mengajarkan orang, jangan ngentit, jangan korupsi, ya tetapi kan harus dari diri saya dong, saya harus jadi role model dulu, mereka harus melihat saya itu siapa. Saya bilang harus penghematan, tapi saya pakai mobil Camry, kan lucu. Saya bilang jangan bermewah-mewah, tapi naik pesawat bisnis class nginep di hotel bintang lima, dan itu hak saya mestinya harus saya ambil, tapi saya ingin mendadani RNI. Karena saya ingin mendandani, saya harus mulai dari diri saya.
Anda boleh dibilang cukup ‘keras’ apakah ada tentangan di RNI terkait sikap Anda itu ?
Begini, ketika dalam seminggu saya menganti 30 orang lebih direktur dan komisaris dari 13 anak perusahaan, Alhamdulillah tidak ada gejolak. Saya tidak mungkin me-appeal seluruh karyawan saya untuk menjalankan perusahaan ini dengan baik kalau saya sendiri tidak membangun budaya yang baik di mata mereka. Nah ketika saya memutuskan untuk tidak mengambil semua fasilitas, itu bagian dari komitmen saya karena memang saya ingin membayar kepada negeri ini atas semua kenyamanan yang sudah saya dapatkan sebelum saya menjadi Dirut RNI. Saya tidak kaya raya, tapi hidup saya cukup. Ukuran saya cukup adalah saya mau ngapain juga, saya bisa. Saya mau beli apa saja, saya bisa.
Anda sangat sederhana sebagai dirut, pakai sepatu kets dan kemeja biasa saja ?
Saya belajar dari Pak Jusuf Kalla dan Pak Dahlan Iskan. Pak JK saja sebagai seorang pengusaha perusahaan besar di Makassar hidupnya sangat sederhana, itu bagian dari pembelajaran. Dan Pak Dahlan juga adalah pengusaha yang tidak pernah naik pesawat business class, dia selalu naik ekonomi. Itu bagian dari pengalaman yang saya memang saya menyaksikan. Buat saya justru itu suatu yang melegakan karena saya bisa apa adanya di RNI tanpa harus terbebani. Anda bayangkan jika saya bergaya Dirut, pakai Camry, pintu dibukain. Tiba-tiba besok dipecat.
Anda juga melakukan pembenahan SDM di RNI ?
Saya tadinya membayangkan di RNI Holding dan anak perusahaannya banyak kan mestinya fokus bisnis di anak perusahaan bukan di holding, yang bekerja bisnis kan di anak perusahaan bukan di holding, mestinya holding cukup dikit dong karyawannya, nah ketika saya masuk, karyawan ada 270 orang. Padahal dalam hitungan saya itu cukup sampai 75 orang. Lantas kemana ini? Kemudian saya bikin program namanya Pindah Kuadran jadi saya mengefisienkan holding ini dengan cara karyawan-karyawan yang idle itu mulai dari OB, satpam, driver, kemudian staff-staff itu yang ingin pindah kuadran dari karyawan menjadi pemilik lahan sawit 4 hektar, tapi dia tetap sebagai karyawan, dia pindah ke anak perusahaan bukan lagi di holding. Mereka akan dapat rumah, kebun sawit, dan lahan rumah 1000 meter plus rumahnya.
Sebagai mantan aktifis, Anda tentu memiliki kepekaan sosial yang tinggi tapi sebagai seorang profesional..?
Saya tetap berpikir secara aktivis, dipraktekan secara korporasi. Saya menyimpan gagasan, visi saya tentang Indonesia yang lebih baik itu, dalam kerangka saya sebagai aktivis pada masa itu. Sekarang saya tuangkan di RNI, tetapi tidak mengganggu proses bisnis dan tahapan-tahapan yang harus diperoleh RNI sebagai korporasi. Apa misalkan? Ketika kita masuk RNI mencatat kerugian itu 64 miliar karena saya melakukan pembersihan buku dari tagihan, ketika saya melakukan transformasi, Alhamdulillah dalam waktu 10 bulan, kita laba 463 miliar rupiah dalam waktu 10 bulan jadi time error kita hanya dalam 10 bulan untuk pelompatannya 500%.
Bukankah ketika itu memang ditopang harga gula yang bagus dan RNI diuntungkan ?
Memang betul, ketika itu harga gula sedang bagus, saya setuju, tetapi disitu ada konsep dan gagasan. Saya ditekan oleh banyak pihak untuk menjual gula saya 40ribu ton di dalam gudang yang harganya ketika itu hanya 8000 rupiah, sementara di toko harga gula 14.000 rupiah, saya nggak lepas, saya lawan, bahkan Mas Dahlan Iskan telepon saya, ini gimana? Kamu akan berpotensi merugikan? Saya bilang kalau Mas tidak percaya sama saya, saya sekarang mundur, tapi kalau mas percaya sama saya, ijinkan saya dalam waktu 1 bulan untuk memproses ini secara bisnis, jadi saya ketika itu langsung datang ke Bank BRI, saya bilang butuh modal kerja dan saya dikasih 750 miliar rupiah. Para pedagang besar, selalu mengatakan bahwa pabrik gula tidak punya modal kerja, itu dia ingin beli ijon gula ini dengan harga murah, saya nggak mau, karena saya tahu persis karena saya pedagang gula, saya tahu betul berapa marginnya dan saya tahu berapa harga lelang, berapa harga di toko atau pasar, disparitasnya 4.000 sampai 5.000. bayangkan masa lelang 8.900 di toko 14.000, 4.000 an kan selisihnya, saya bilang RNI sekarang RNI bukan lagi pengikutnya Samurai, RNI menjadi Ninja, jadi kita membangun pasar sendiri. Singkat cerita ketika saya declare mendapat modal kerja dari BRI saya juga besoknya datang ke BNI kemudian saya dikasih 500 miliar jadi saya punya cadangan modal kerja itu belum saya kutak-kutik, itu baru komitmen saja, bukan agreement saya. Saya sudah punya 1,2 triliun, saya bilang RNI tidak akan menjual gulanya, RNI akan simpan. Perlahan-lahan harga gula naik mulai dari 9.000 hingga ketika harganya 11.300 rupiah baru saya lepas. Disini juga ada soal keberanian, nekad, tetapi pakai kalkulasi dan yang terpenting harus punya basis.
Apa sebenarnya tujuan Anda di RNI ?
Saya masuk ke RNI bukan ingin mencari kerja, atau untuk mencari kekayaan. Hidup saya kebetulan sudah cukup. Tujuan saya adalah ingin mengabdi dan menebus kenikmatan yang sudah saya dapatkan di republik ini sebagai anak bangsa dan saya memang ingin mencari jati diri saya, jadi memang nothing to lose, makanya saya tak punya beban apa-apa. Sabtu-Minggu tidak libur dan saya tidur di mess bersama karyawan, semua aktivitas dengan mereka, jadi saya tidak berjarak. Ini juga yang memperteguh keyakinan mereka bahwa saya berkerja dengan khusnul khotimah, saya tidak merasa asing, nomer Hp saya buka untuk mereka jadi mereka bisa menghubungi saya 24 jam, mereka bisa memarahi, menangis, dan mengadu ke saya, mereka juga bisa berdoa dan support saya di sms itu. Dokumen - dokumen pekerjaan saya, saya biasakan tidak ada yang lebih dari 2x24 jam sudah saya selesaikan, jadi tidak ada yang menumpuk sampai lebih dari 24 jam, bila perlu saya sampai menginap di Kantor. Begitu saja, jadi yang saya katakan bahwa banyak proses bisnis yang saya lakukan di RNI memang berdasarkan insting saya sebagai entrepreneur, tapi saya kelola dengan ideology saya sebagai aktivis dan itu bukan untuk pribadi saya, tapi untuk kemaslahatan orang banyak.
Anda seorang professional yang langka karena tidak menomorsatukan materi dan kemewahan…
Saya bukan tipikal orang yang suka kemewahan, saya bukan orang yang haus pada kemewahan karena saya yakin betul eksistensi saya bukan dari kemewahan, tidak dari simbol-simbol. Eksistensi saya diukur dari apa yang saya lakukan dan orang mengapresiasikan apa yang saya kerjakan. Itu yang dihargai orang dan Saya juga sedang tidak mencari popularitas, kenapa? Jauh sebelum saya masuk RNI, saya sudah dikenal. Setiap saat ada di Kompas, di MetroTV, RCTI, TV One, dan ada dimana-mana. Saya juga bukan politisi untuk apa saya pencitraan? Saya tak membutuhkan untuk dikenang, untuk dicitrakan, saya tidak punya kepentingan dengan itu. Saya ingin diingat sebagai orang yang bekerja untuk bangsa ini.
Sekarang soal lain, menyangkut keberadaan sektor pangan yang saat ini sangat strategis tidak hanya bagi Indonesia tapi juga dunia dan kebetulan RNI ada dalam pusaran sektor pangan nasional, bagaimana Anda melihat itu ?
Memang, Indonesia ini kedepan akan sangat tergantung pada pangan bukan hanya Indonesia, China pun sudah menyadari itu karena penduduk bertambah terus sementara kontribusi pangan itu semakin berkurang dengan lahan yang semakin tergerus dalam konteks Indonesia itu yang terjadi. Oleh karena itu, saya mengatakan RNI harus fokus kepada bisnis pangan. Apa pangan itu? Gula, beras, air minum, dan daging yang mungkin untuk dilakukan. Kenapa daging? Indonesia ini sekarang mengkonsumsi daging sapi per tahun itu hanya 1,8 kilo, Philipin itu 7 kilo, Malaysia Singapura itu 15 kilo, Korea Jepang itu 35 kilo sampai 50 kilo. Kita hanya 1,8 kilo. Dengan 1,8 kilo kita konsumsi kitas sudah krisis daging sapi, kenapa? Karena sejak tahun 2012 sampai saat ini daging sapi tidak pernah turun di bawah 95 ribu. Di Penang, Kuala Lumpur harga daging itu hanya 49 ribu – 50 ribu rupiah. Sumber dagingnya sama yang kita beli di Darwin, di Autralia, jaraknya antara Darwin dan Kuala Lumpur (Penang) itu lebih jauh ketimbang Darwin- Jakarta. Kenapa harga dagingnya lebih mahal 40 ribu. Dan itu laku, dan itu habis, begitu Idul Fitri, Idul Adha harga daging naik sampai 125 ribu, tapi tetap di beli, kan sakit bangsa ini?
Apa gagasan Anda ?
Begini, kita tidak bisa membiarkan ini terus padahal negara kita adalah negara kelautan, laut kita sangat luas, mestinya kita tidak berpikir daging sebagai konsumsi utama, kita harus berpikir ikan sebagai konsumsi utama. Karena bentangan negara ini dikepung oleh lautan yang memiliki sumber protein yang luar biasa.
Bukankah kita juga bertekad untuk swasembada pangan ?
Harus di akui bahwa dari sisi slogan ada sayup-sayup terdengar untuk memperhatikan masalah pangan. Tapi persoalan kemudian sejauh mana konsistensinya. Karena pada akhirnya suara yang terdengar itu kan harus di implementasikan. Pada tataran implementasi saya belum melihat itu. Indikasi paling faktual misalkan, tidak adanya perlindungan kepada peternak sapi, nelayan ikan, juga terhadap petani padi, petani tebu, sama sekali tidak ada perlindungannya. Apa indikasi dan faktualnya, pertama kita sering sekali gampang atau doyan untuk melakukan impor. Apa saja, mulai dari beras, gula, daging sapi, bawang, cabai, ikan asin, jengkol semua impor. Dan itu dilakukan seiring dengan kerangka berfikir tiba masa tiba akal, jadi ketika kepepet impor. Jadi tidak ada strategi atau blueprint jangka panjang yang bisa mengajak seluruh komponen bangsa ini untuk gotong royong, untuk memenuhi kebutuhan pangannya, dalam konteks kekinian, ke depan, dan masa yang akan datang. Dan disini menurut hemat saya menjadi krusial, problemnya menjadi sangat serius bagi bangsa ini .
Mengapa?
Karena kita pertumbuhan penduduknya sangat cepat pasca reformasi ini. Sekarang kita sudah 240 juta orang. Kalau kita berfikir dalam rangka 10-15 tahun ke depan itu mungkin kita bisa mencapai 270 juta. Sementara pada saat bersamaan, pemerintah sekarang tidak menambah lahan pertanian. Kalaupun ada itu adalah parsial, sporadis dan itu dilakukan dengan cara yang tidak industrialis. Padahal untuk pangan yang skala besar itu tidak bisa lagi mengandalkan petani. Petani itu sifatnya dia hanya supporting saja. Oleh karena itu Negara yang harus men-take over itu. Nah kalo saya perhatikan peran Negara, itu kan tidak mungkin Negara beperan langsung, itukan harus ada instrumennya. Yaitu BUMN. Tapi pada faktualnya BUMN tidak dimanfaatkan dengan baik, dalam pendangan saya seperti anak tiri di Negeri sendiri.
Kenapa bisa demikian ?
Karena instrumen Negara yang menaungi regulasi itu lebih berpihak kepada swasta apakah itu Kementrian Pertanian, apakah itu Kementrian Perdagangan itu lebih suka bekerja sama dengan swasta. Saya tidak tau kenapa, tetapi BUMN tidak pernah di ajak dalam menyelamatkan harga daging, dalam mengendalikan harga gula, mengendalikan beras, jarang sekali itu. Kalaupun ada maka itu dipepet dan disalahkan, apa case nya dalam kasus ketika daging impor harganya tidak turun-turun maka Pemerintah meminta kepada BULOG untuk impor, dan BULOG disalahkan. Sementara ada ratusan ribu ton yang sudah di impor oleh swasta tapi itu tidak di utak atik dan tidak dipersoalkan. Nah ini mengindasikan bahwa ini tidak ada keberpihakan terhadap yang namanya BUMN. Mengapa? Karena kalau swasta itu bisa di ajak cin cai, bisa di ajak transaksional, menghasilkan rente disitu. Saya ingin mengatakan bahwa kalau menterinya masih memiliki ideology rente, masih rakus, maka akan dipastikan bahwa bangsa ini akan terus terbelenggu oleh perilaku pejabat yang norak, pejabat yang tidak tahu diri, pejabat yang tidak bisa menjaga amanat yang diberikan oleh bangsa ini. Nah itulah yg kemudian merusak filosofi dasar Pak SBY sebagai presiden untuk membangun swasembada, apakah itu swasembada daging, swasembada gula, swasembada beras. Karena semua itu di kendalikan Kartel.
Apa harapan Anda terhadap kepemimpinan Joko Widodo dan Jusuf Kalla ?
Mereka harus bisa lebih memeperhatikan soal pangan. Karena apa, karena ini menyangkut pertarungan antara Negara terkait pertumbuhan populasi penduduk yang berkembang sangat dramatis. Dan Indonesia kalau lupa ataupun lalai untuk melakukan itu maka bisa dipastikan, sekarang ini kita masih 450 triliun untuk impor pangan. Tapi kalkulasi saya itu, hitungan bisnis saya pada tahun 2020 kita bisa mengimpor pangan itu sekitar 1500 triliun per tahun. Itu mengerikan sekali kalau sampai terjadi. Oleh karena itu tidak ada pilihan lain, kita harus segera melakukan evaluasi terhadap kerangka strategi kita terhadap kebutuhan pangan. Khususnya pangan yang berbasiskan dalam negeri kita, apa? Indonesia Kita bisa swasembada gula, kita masih punya lahan yang luas hanya problemnya adalah bagaimana menyelesaikan koordinasi antara lembaga kementrian untuk menagatasi persoalan lahan ini. Artinya antara Kementrian Kehutanan, Pertanian, BPN, kemudian juga Pemda untuk mengalokasikan lahan bagi cadangan pangan nasional kita. Kalau tidak maka kita akan bermasalah ke depannya. Demikian juga dengan orientasi kita meningkatkan gizi masyarakat dengan cara asupan daging. Saya sepakat daging penting, tetapi kita harus menyadari bahwa, kita tidak bisa lagi memenuhi tuntutan untuk swasembada daging. Kita hanya bisa daging itu di support dari import. Tetapi import itu bisa bersinegi dengan bisnis. Caranya Indonesia harus mengakuisisi lahan, untuk pengembangan Sapi, apakah itu di New Zaelland apakah itu di Australia, sebagaimana pola yang dilakukan oleh Jepang, Korea, Brunei, agar kita bisa mengembangkan anakan, dan bakalan disana, kemudian dibawa ke Indonesia. Itu lebih efisien.
Apa harapan Anda terhadap gagasan dan visi Jokowi dan JK untuk mewujudkan Indonesia yang berdaulat pangan?
Pada akhirnya, visi dan konsep itu, akan di uji pada tingkat implementasi, dan implementasi itu akan dilaksanakan olehpejabat yang mengelolah Kementerian. Kalau kemudian nanti salah dalam memilih dan menempatkan figurnya maka bisa dipastikan kita mengulang sejarah yang keliru yang sudah kita lalui berpuluh-puluh tahun. Akibatnya kita akan menjadi bangsa yang menggapai-gapai untuk menuju kemadirian dan berdaulat pangan itu. Saya berharap bahwa ke depan ini problem pangan itu betul-betul diseriusi oleh Jokowi-JK. Saya agak tergugah ketika Pak Jokowi mengatakan kita akan mewujudkan bangsa maritim. Tetapi konsep maritim itu bukan semata-mata hanya menghubungkan pulau antar pulau, tapi bagaimana kita bisa mengesplor kekayaan alam laut itu untuk kesejahteraan masyarakat, untuk meningkatkan kualitas insan Indonesia. Dengan cara apa, bagaimana agar bangsa ini menggeser peran asupan daging itu dengan ikan, karena ikan itu ada di bumi Indonesia, ada di bentangan luas lautan subur makmur. Itu merupakan lautan yang menyimpan asupan gizi yang sangat luar biasa. Kita punya ikan-ikan yang sangat kaya dengan kualitas gizinya untuk meningkatkan kepintaran dan kecerdasan anak-anak Indnesia ke depan.
Apa Kunci untuk bisa sukses mencapai kedaulatan panggan ?
Yang pertama tentu saja Bapak Jokowi – JK harus mempunyai grand desain dan perencanaan pembangunan Indonesia dalam program jangka pendek ( 5 tahun), jangka menengah (5 – 10 tahun), dan jangka panjang (5 – 30 tahun) terkait dengan kedaulatan pangan. Yang kedua harus ada transformasi dari tata kelola birokrasi yang bersingungan dengan kedaulatan panggan, harus ada sinergi yang baik antar Kementrian dan Badan yang menaungi kedaulatan pangan. Yang ketiga menempatkan personil yang mempunyai integritas dan moralitas yang baik selain kompetensi mumpuni karena di Indonesia ini banyak orang pintar namun merekalah yang menjadi pelaku pemburu rente dan itulah yang merusak dan mengagalkan yang di gagas pada pemerintahan SBY. Celakannya lagi oknum menteri atau dirjen itu diatur oleh Kartel pangan.
Soal yang lebih personal, apa obsesi Anda ?
Pada kerangka pribadi tidak lagi memikirkan obsesi untuk meraih capaian yang lebih. Sebagai enterpreuner rasanya apa yang saya lakukan secara pribadi sudah cukup. Kemudian ketika saya diberikan ruang di RNI, saya juga merasakan apa yang saya lakukan sudah cukup. Saya sudah bekerja maksimal, totalitas, dan saya tidak memiliki interes terhadap RNI untuk kepentingan pribadi. Saya hanya ingin RNI sebagai suatu BUMN yang bisa ditumbuhkan, bagaimana karyawannya bisa menikmati dan sejahtera dari kinerja yang kami lakukan. Kedepan saya lebih percaya pada air yang mengalir, saya percaya pada putaran alam, saya percaya bahwa Allah itu Ora Sare, dan Allah tau mana orang yang baik, Allah tau mana yang bisa menjalankan amanah yang diberikan mana, dan mana yang tidak. Saya ingin mengatakan bahwa saya tafakur pada Sunnatullah saya nurut saja pada Gusti Allah yang menentukan jalan saya ke depan. Apakah saya akan tetap di RNI apakah saya akan kembali ke swasta sebagai Enterpreuner biarkan Gusti Allah yang menentukan jalan-Nya. Fungsi saya sebagai insan adalah bekerja dengan penuh amanah, menjaga kepercayaan teman-teman saya, apakah itu jurnalis, para pengamat, tokoh-tokoh masyarakat, dan teman-teman di parlemen, keluarga besar saya, rekan-rekan karyawan di RNI, itu semua kan amanat yang harus dijaga.
Apa filosofi hidup Anda ?
Dalam menjalani hidup saya menyadari bahwa tidak ada bencana yang lebih besar daripada merasa diri belum cukup. Tidak ada bahaya yang lebih besar daripada keserakahan. Karena itu, saya meyakini orang yang merasa cukup akan selamanya berkecukupan. Kesadaran itu membuat saya nyaman dan damai dalam menjalani kehidupan. Tidak gamang dan gampang tergoda pada hal yang duniawi. Ada falsafah Tiongkok kuno yang jadi referensi saya yaitu, zi zu bu ru atau tahu cukup tidak merasa terhina. Zi ziz bu dai, tahu batas terhindar dari bahaya. Selain itu tentu saja sholat dan sabar yang membuat saya terkendali. Dan yang membuat saya tenteram adalah Belajar puasa Nabi Daud yang sudah saya jalani 23 tahun lebih.
Add to Flipboard Magazine.
Popular

Wanita Muslim yang Menginspirasi Dunia
24 July 2014
Film-film Islam Terbaik Sepanjang Masa
01 July 2013