Search:
Email:     Password:        
 





Kartini-Kartini Tangguh

By Benny Kumbang (Editor) - 14 April 2014 | telah dibaca 5317 kali

Gusti Kanjeng Ratu Hemas: Permaisuri di Panggung Politik

Naskah: Gyatri F.P./Sahrudi, Foto: Dok. GKR Hemas

Meski seorang permaisuri, ia tak pernah berpikir untuk menikmati segala kenyamanan dengan duduk tenang di keraton. Pasalnya, isteri dari Sri Sultan Hamengkubuwono X ini memiliki obsesi besar untuk meningkatkan kualitas dan keadilan bagi wanita dan anak-anak. Untuk itulah ia terjun ke pentas politik. Karier politiknya pun cemerlang, ia didaulat menjadi Anggota Dewan Perwakilan daerah (2004-2009) kemudian pada periode selanjutnya menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah DPD RI(2009-2014).

Sedari kecil, sebagai anak perempuan satu-satunya dari lima bersaudara, Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hemas sudah dididik mengenai kedisiplinan dan kemandirian oleh ayahnya yang tentara. Bakat organisasi sudah diperolehnya sejak remaja, dan terus berlanjut ketika ia menjadi isteri Pangeran Mangkubumi, ia terlibat aktif dalam berbagai aktivitas sosial. Terlebih saat, Sri Sultan Hamengku Buwono X, diangkat menjadi Raja serta menjadi Kepala Daerah Setingkat Provinsi, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Dalam kegiatan karitas itu, GKR Hemas menemukan kenyataan tentang berbagai problem masyarakatnya seperti kemiskinan, orang cacat yang tidak bisa bekerja, anak perempuan yang harus putus sekolah karena hamil di luar nikah, tingginya angka kematian ibu dan bayi, akses layanan kesehatan yang belum optimal, mahalnya biaya kesehatan, penyebaran dokter yang tidak merata, dan infrastruktur kesehatan yang jauh tertinggal sehingga problem kesehatan berkembang tak terkendali.

Di tengah ketekunan beraktifitas dalam pemberdayaan masyarakatnya itu, GKR Hemas kian merasakan bahwa ranah politik merupakan jalur yang sangat strategis untuk lebih menyejahterakan masyarakat yang terpinggirkan tersebut. “Karena kebijakan politik, baik legislatif maupun eksekutif, akan lebih efektif dalam mendorong pengambilan keputusan yang berdampak langsung bagi kesejahteraan masyarakat,” terangnya.

Dukungan dari suami dan kelima anaknya (GKR Pembayun, GKR Condro Kirono, GKR Maduretno, GKR Hayu, dan GKR Bendara), menantu serta para cucunya pun kian memantapkan langkahnya untuk berkiprah di luar dan memperjuangkan aspirasi rakyat, “Bahkan suami saya tidak hanya memberi restu tetapi banyak memberi nasehat antara lain, politik itu memang kekuasaan, tetapi ambillah kekuasaan secara etis dan selalu dialamatkan untuk kemaslahatan rakyat banyak. Hal ini bisa dilakukan kalau kita bisa selalu mendengar hati nurani diri kita sendiri,” jabarnya. Maka, dengan restu keluarga itu pula, GKR Hemas semakin termotivasi dalam melakoni tugasnya sebagai Wakil Ketua DPD RI.

Kesuksesannya sebagai seorang ibu rumah tangga dan berkarier di politik tak lepas dari peran beberapa wanita dalam hidupnya, yakni sang ibu R. Ngt. Soesamtilah yang mengajarkannya mengenai makna kemandirian dan menjadi mitra sejajar yang selalu mendukung suami. Neneknya, Ummi Salamah, yang memiliki jiwa kedalaman batin spiritual, cinta kepada budaya Jawa, dan berjiwa sosial tinggi. “Seolah-olah hidupnya ingin dibaktikan kepada keluarga dan orang lain,” tuturnya. Serta Ciptaningsih Utaryo, pendiri Yayasan Sayap Ibu, yang mengajaknya pertama kali berkiprah di bidang sosial. “Hingga kini, di usianya yang lanjut, Ibu Utaryo masih aktif di bidang sosial,” ungkapnya.

Menyangkut hari Kartini, ia menekankan untuk tidak sekadar dimaknai dalam bentuk seremonial belaka. Tapi, merefleksikan perjuangan Kartini yang telah mencerahkan dan inspiratif bagi kemajuan kaum wanita, sehingga memiliki karakteristik yang tangguh dalam menghadapi dialetika kehidupan. Wanita Indonesia harus bisa berperan ganda, selain dituntut untuk bisa tampil mandiri, dinamis, kreatif, penuh inisiatif, dan profesional dalam perannya di sektor publik, ia jangan sampai meninggalkan naluri keibuannya yang penuh perhatian dan kasih sayang terhadap anak dan suami. “Di masa kini wanita juga harus turut membangun bangsa dan menepiskan diskriminasi serta menegakkan keadilan gender!” tegasnya.

Ia juga menggarisbawahi bahwa cita-cita R.A. Kartini yang belum tercapai perlu untuk dicermati. Emansipasi belum terealisasi secara maksimal dalam kehidupan publik di negeri ini, masih terjadi diskriminasi terhadap wanita. Kultur patriarki masih kental.

Selain itu, ketidakberanian wanita untuk menyampaikan buah pikirannya, mempertahankan prinsipnya, dan meraih kesempatan yang tersedia di depan mata.

“Ketidakberanian perempuan juga terlihat ketika datang pilihan antara karir dan keluarga, kebanyakkan wanita memilih untuk tidak mendapatkan promosi agar tetap berkumpul dengan keluarga. Dibutuhkan dukungan yang kuat dari seluruh anggota keluarga agar perempuan berani mengambil keputusan,” terangnya.

Dalam aspek pendidikan wanita tertinggal dibandingkan lawan jenisnya, antara lain disebabkan adanya pandangan dalam masyarakat yang mengutamakan laki-laki untuk mendapatkan pendidikan daripada wanita. Di bidang ekonomi, secara umum partisipasi wanita untuk memperoleh peluang kerja dan berusaha masih rendah, demikian juga dengan akses terhadap sumber daya ekonomi.

Begitu juga di bidang kesehatan, politik, budaya dan berbagai aspek lainnya. “Sesungguhnya ketertinggalan kaum wanita ternyata menjadi permasalahan yang tidak saja merugikan wanita itu sendiri, tetapi juga merugikan pembangunan nasional atau daerah secara keseluruhan,” sesalnya.

Jadi, menurutnya, cita-cita untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan, khususnya bagi wanita masih panjang. Banyak kendala yang menghalangi wanita untuk maju, termasuk antara lain nilai budaya dan beragam mitos yang menyudutkan wanita.

”Saya selalu menyerukan agar wanita turut ambil bagian dalam sektor publik, termasuk politik. Wanita harus masuk dan meningkatkan keterwakilannya dalam parlemen karena berbagai isu wanita harus direpresentasikan oleh wanita sendiri sebab kaum pria masih enggan membahas mengenai isu tersebut. Arena perpolitikan yang lebih ramah terhadap kepentingan wanita juga dapat terwujud jika wanita yang berperan aktif dalam parlemen cukup jumlahnya,” pungkasnya.

Namun, yang perlu diperhatikan adalah peningkatan secara kuantitas juga harus diikuti dengan peningkatan secara kualitas. ”Wanita harus ditingkatkan kapasitasnya, sehingga mereka mampu membahas dan memproduksi berbagai keputusan legislatif yang mensejahterakan wanita,” tegasnya.

Hemasgrafi
Nama: Gusti Kanjeng Ratu Hemas Lahir: Jakarta, 31 Oktober 1952 Keluarga: Sri Sultan Hamengku Buwono X (suami) GKR Pembayun, GKR Condro Kirono, GKR Maduretno, GKR Hayu, GKR Bendara (anak) Pendidikan: Jurusan Arsitektur Pertamanan Universitas Trisakti Jakarta Organisasi: Anggota Dewan Perwakilan Daerah - DPD RI (2004 – 2009), Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah - DPD RI (2009 – 2014), Ketua Tim Penggerak Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (TP PKK) Prop DIY, Penasehat Dharma Wanita Persatuan Prop DIY, Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (DEKRANASDA) Prop DIY, Penasehat Badan Koordinasi Kegiatan Kesejahteraan Sosial (BKKKS) Prop DIY, Ketua Yayasan Kanker Indonesia Wilayah Prop DIY, Ketua Persatuan Wanita Olah Raga Seluruh Indonesia (PERWOSI) Prop DIY, Ketua Umum Lembaga Penelitian dan Pengembangan Penyandang Cacat Dria Manunggal Yogyakarta, Pelindung Yayasan Penyantun Anak Asma (YAPNAS) Prop DIY, Badan Penyantun Yayasan Sayap Ibu Prop DIY, Penasehat Dewan Nasional Indonesia Untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS), Penasehat Badan Pembina Olahraga Cacat (BPOC) Pusat, Penasehat Yayasan Jantung Indonesia Cabang Utama Prop DIY, Badan Penyantun Yayasan Lembaga Gerakan Orang Tua Asuh Prop DIY, Pembina Yayasan Wredho Mulyo Yogyakarta, Dewan Kehormatan Kaukus Perempuan Politik Wilayah DIY, Ketua Yayasan Gerakan Pemberdayaan Swara Perempuan (GPSP), Ketua Tim Pembangunan Berwawasan Jender Prop DIY, Pembina Utama Badan Koordinasi Paguyuban Lansia DIY, Pembina Lembaga Pemberdayaan Dan Penguatan Pendidikan Nasional, Ketua Umum Forum Perlindungan Korban Kekerasan DIY, Ketua Pembina Yayasan Lembaga Perlindungan Anak DIY, Pembina Pusat Pelayanan Terpadu Perempuan dan Anak “Rekso Dyah Utami” DIY, Pembina Lembaga Pemberdayaan Dan Penguatan Nasional, Ketua Board of Trustee Merapi Resilience Concorsium (MRC), Ketua Umum Perkumpulan Bhinneka Tunggal Ika (PBTI) Jakarta, Majelis Nasional Aliansi Asional Bhinneka Tunggal Ika (ANBTI) Jakarta, Ketua Kaukus Perempuan Parlemen DPD RI tahun 2009 – 2014 Jakarta, Ketua Forum Perempuan Untuk Indonesia Jakarta.

Mira Amahorseya: Figur Sukses di Balik Sarinah

Naskah: Suci Yulianita, Foto: Sutanto

Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, merupakan peribahasa yang tepat ditujukan kepada Mira Amahorseya. Perjalanan karier kedua orangtua telah menginspirasi hidupnya selama ini, hingga mengantarkan Mira menjadi pucuk pimpinan di salah satu perusahaan BUMN, PT Sarinah (Persero).

Ya, sang ayah, yang notabene adalah mantan direksi di salah satu perusahaan BUMN pada eranya, membuat Mira ingin mengikuti jejak sang ayah, menjadi pejabat pada perusahaan BUMN. Sementara sang ibu, yang mantan jaksa pada eranya, membuatnya tertarik menggeluti bidang hukum. Jadilah Mira cerminan kedua orangtuanya, seorang direksi dengan latar belakang pendidikan hukum.

Perjalanan karier Mira, sebetulnya diawali pada salah satu law firm ternama di Jakarta, namun ia merasa jiwanya bukan di situ. Ketika ada tawaran bekerja di Sarinah, atas dorongan sang ayah, ia segera memutuskan untuk berkarier di Sarinah, dan meninggalkan kantor lamanya, “padahal sebelumnya saya membayangkan nggak suka bekerja di BUMN karena harus mengenakan seragam dan ada upacara tiap tanggal 17. Tapi begitu saya diterima di Sarinah, ternyata saya langsung jatuh cinta,” kenangnya sembari tertawa.

Mira mengawali karier di Sarinah sejak tahun 1991 sebagai Kepala Bagian, hingga kariernya terus menanjak selangkah demi selangkah sampai akhirnya berada pada posisi puncak. Ya, Mira resmi menjadi direktur utama PT Sarinah (Persero) sejak 2012 lalu. Dalam menakhodai Sarinah, Mira menjalankannya dengan dua prinsip yang menurutnya sangat penting, yakni, sincerity dan transparansi.

Bersama jajaran direksi lainnya, wanita berdarah Ambon dan Manado ini, berhasil menggenjot prestasi Sarinah. Misalnya saja, tercatat KPI (Key Performance Indicator) di tahun 2013 yang meningkat. Antara lain, untuk Good Corporate Governance (GCG) yang meningkat dari 82 menjadi 84,4, lalu tingkat kesehatan yang meningkat menjadi AA, dan BUMN bersih dengan score 84. Bahkan untuk Kriteria Penilaian Kinerja Unggul (KPKU) yang baru pertama diaudit, Sarinah meraih score 337.

Untuk penjualan pada 2013 juga meningkat sebanyak 14%, jika dibandingkan 2012. Tak hanya itu, Sarinah juga berhasil mencapai laba hingga 107,83% dari rencana anggaran perusahaan, sementara laba sebelum pajak meningkat hingga 12,65%. Yang juga membanggakan adalah, occupancy Gedung Sarinah Thamrin yang mencapai 100%.

Tak hanya itu, Mira juga tengah mempersiapkan gebrakan-gebrakan lain dalam membesarkan Sarinah. Antara lain, menjajaki untuk membuka outlet Sarinah di beberapa bandara di seluruh Indonesia. Juga akan merenovasi gedung Sarinah Thamrin lebih mewah dan menjadikannya sebagai Sarinah Square. “Sekarang sedang persiapan, kita akan mengoptimalkan asset yang kita miliki ini. Target kita 2 tahun lagi akan terealisasi.

Sarinah akan menjadi destinasi di Jakarta sebagai The Indonesian Emporium,” ujarnya, seraya menambahkan, “Yang paling penting, Sarinah tumbuh sebagai perusahaan yang dipercaya untuk memelihara warisan asset negara yang memiliki sejarah tinggi ini.”

Jika bicara Sarinah dalam posisinya sebagai bisnis retail, tak bisa dipungkiri, Sarinah memang dikenal sangat tua, terlebih jika melihat sejarah dan usianya yang sudah menginjak 52 tahun. Karena itu pula, Sarinah tumbuh dan konsisten menjadi department store yang menjual produk nasional.

Diakui Mira, 90% produk yang dijual Sarinah merupakan asli produk nasional yang berbasis budaya. Untuk itu, tak heran jika Sarinah diakui sebagai pusat perdagangan produk Indonesia. Bahkan tak tertutup kemungkinan jika suatu saat nanti, selain batik dan handicraft, Sarinah juga akan menyediakan industri kreatif hasil karya anak bangsa lainnya, seperti, produk elektronik misalnya.

Sibuk berkarier bahkan menjadi orang nomor satu di Sarinah tak membuatnya lupa akan kodratnya sebagai seorang wanita. Pada saat kembali ke rumah, Mira tetaplah seorang ibu rumah tangga, seorang isteri yang sangat menghormati suaminya, dan seorang ibu yang menyayangi dan mengayomi putri semata wayangnya. Menurut Mira, seperti itulah seharusnya peran seorang wanita, sebagai supporting yang sejajar tanpa melupakan kodratnya.

Dalam hal ini, putri pasangan Leo Amahorseya dan Terry Amahorseya Mongula ini, sangat mengidolakan sang ibunda. Di mata Mira, sang ibunda merupakan sosok pahlawan. Dia membayangkan betapa keputusan yang sangat sulit ketika ibunya itu harus memilih mengorbankan kariernya sebagai jaksa wanita pertama di Indonesia demi menjadi ibu rumah tangga bagi kelima putrinya.

“Saya rasa itu keputusan yang berat. Tapi berkat itu, sekarang kami semua menjadi wanita mandiri. Itu pahlawan menurut saya. Ibu saya luar biasa,” tutur putri kedua dari lima bersaudara ini.

Para Srikandi Sarinah
Satu hal yang menarik dari Sarinah, adalah, jajaran direksi Sarinah yang sebagian besar diemban oleh para wanita-wanita tangguh. Selain Mira, berikut tiga direksi lainnya yang saling bekerjasama mengembangkan Sarinah;

Rini Wulandari (Direktur Operasi)
Bergabung di Sarinah Malang sejak tahun 1994 sebagai kepala bagian keuangan. Kemudian hijrah ke Sarinah Jakarta menjabat sebagai GM Sarinah Thamrin. Setelah itu ke divisi biro, divisi SDM, hingga menjabat Direktur Keuangan pada periode sebelumnya. Kini, Rini menjabat sebagai direktur operasional. Di mata Rini, Sarinah di bawah kepemimpinan Mira sudah melakukan banyak pembenahan, antara lain, konsep Sarinah Square. “Ini nantinya akan menjadi Sarinah Never Sleep,” ucap Rini.

Sumini (Direktur Keuangan & Administrasi)
Sumini mengawali kariernya di Sarinah benar-benar dari bawah. Bergabung sejak tahun 1988 sebagai staff akunting. 10 tahun kemudian ia menjabat asisten manager, kemudian menjabat posisi manager. Dari situlah kariernya kemudian meningkat setahap demi setahap, hingga pada akhirnya menjabat direktur keuangan & administrasi pada 2012 lalu. Sumini bersama Sarinah kini banyak melakukan pembenahan-pembenahan, antara lain membangun sistem informasi yang terintegrasi guna mendukung semua bisnis. “Jangan sampai ada situasi terlewat karena tidak didukung dengan sistem informasi dan administrasi,” ujarnya.

Handriani Tjatur Setiowati (Direktur Pengembangan Usaha)
Wanita yang akrab disapa Wati ini, merupakan pemain baru di Sarinah, baru bergabung sejak 2012 pada posisi Direktur Pengembangan Usaha. Alumni Teknik Arsitek Universitas Indonesia ini, sebelumnya berkarier di PT Wika Realty selama kurang lebih 24 tahun dengan posisi terakhir Direktur Operasi.

Dari sisi pengembangan usaha, Wati melihat salah satu tugasnya adalah bagaimana mengembangkan asset-asset Sarinah, juga mewujudkan Sarinah Square sebagai the Indonesian Emporium. “Selain itu, secara bertahap kami juga akan mengembangkan lahan-lahan lainnya yang dimiliki di beberapa daerah. Jadi properti kita tumbuh, retail juga bisa tumbuh, sehingga PR kita untuk menjadikan sarinah sebagai the Indonesia Emporium betul-betul bisa terwujud. Dan yang penting juga, bagaimana mengubah image anak-anak muda untuk menjadi lebih cinta produk Indonesia,” terangnya, serius.

dr. Enrina Diah, Sp. BP: Wanita Penuh Inspirasi

Naskah: Gyatri F.P., Foto: Fikar Azmy & Dok. Pribadi

Cantik, cerdas, dan tangguh. Begitulah Enrina Diah, dokter spesialis bedah plastik dan ahli bedah craniofacial yang sukses mengembangkan keahliannya dengan mengelola Ultimo Aesthetic & Dental Centre, dan berhasil mendidik putri semata wayangnya menjadi siswi di sekolah terbaik di Australia. Tak salah jika perempuan kelahiran Manado, 23 Mei 1974 ini dijuluki Kartini jaman modern yang bisa dijadikan inspirasi bagi wanita Indonesia.

Enrina begitulah ia kerap disapa, membangun kliniknya dengan merangkak dari bawah. Berawal dari sepetak ruangan kecil dan dibantu dua orang karyawan. Berkat sikap gigih yang diwarisi dari sang ayah, lambat laun, usahanya berkembang pesat, Ultimo menjadi sebuah klinik kecantikan yang digandrungi kalangan menengah ke atas. Ribuan pasien datang silih berganti ke klinik yang didirikannya pada 2009 itu.

Bahkan pada 2013 lalu, Ultimo membidani Men’s Clinic yang terfokus pada perawatan stem cell therapy dan testosterone therapy. Dengan ditangani oleh dokter yang ahli di bidangnya, terapi ini menggunakan stem cell dari tubuh pasien sendiri untuk meningkatkan vitalitas tubuh dan vitalitas seksual, yang dikombinasikan dengan mesin yang canggih. Meski belum genap setahun namun sudah banjir peminat, diantaranya adalah anggota parlemen.

Apa yang diraihnya itu bukanlah tanpa perjuangan, ia menghabiskan hampir separuh hidupnya untuk pendidikan. Setelah menjadi lulusan terbaik FKUI 1997, ia mendapat beasiswa di Taiwan, Thailand, dan Switzerland pada 2004 hingga 2005. Kehidupannya tatkala itu cukup memprihatinkan, ia harus memaksimalkan pendapatan dan pengeluaran di negeri orang lantaran sejak menjadi orangtua tunggal semua kebutuhan hidup anak juga pendidikannya, ia tanggung sendiri.

Mereka terpaksa menempati sebuah rumah kecil yang tidak memiliki heater. Jadi ketika musim dingin mereka memakai semacam kipas angin kecil dengan pemanas untuk menghangatkan tubuh dan kalau mandi air menggenang. Sebuah tempat yang sebenarnya tidak sehat untuk didiami.

Seusai menyelesaikan beasiswa itu, Enrina ditawari untuk bekerja di Taiwan dengan beragam fasilitas. Tapi ia menolak dan memilih untuk kembali ke Indonesia karena ingin mengembangkan ilmu yang dimilikinya di tanah air. “Jika melihat ke belakang, saya merasa bersyukur karena dengan begitu saya bisa menjadi seperti ini,” ujar wanita berhijab itu.

Sekembalinya ke Indonesia, ia mengajar di UI sampai akhir 2009. Ia juga sempat praktik di beberapa rumah sakit di Jakarta, diantaranya RSCM dan Brawijaya Women & Children. Selama menjalankan rutinitas itu, tercetuslah ide untuk membuat one stop beauty clinic, yang menyediakan semua perawatan kecantikan dalam satu atap mulai dari kecantikan kulit, bedah plastic, dan gigi. Ide itu ia sampaikan ke rumah sakit tersebut, tapi ternyata tidak diterima karena sulit secara birokrasi, investasinya juga sangat besar. Ia pun tak patah arang dan membuka klinik sendiri.

“Selain pertimbangan ingin mengembangkan usaha, saya merasa kurang punya waktu untuk anak saya, Alyssa Vania, yang ketika itu masih berusia 10 tahun. Saat itu saya harus bekerja dari pagi, pulang malam. Belum lagi jika ada panggilan mendadak untuk melakukan bedah,” kisah wanita yang kerap menjadi pembicara workshop di mancanegara ini.

Ultimo yang berada di Lantai 18 Plaza Asia/ABDA, Kawasan Sudirman, Jakarta memang usianya terbilang muda, namun sudah mampu menunjukan perkembangan yang signifikan dengan membuka cabang ke Surabaya dan Bali. “Banyak ahli bedah plastik yang bergabung sehingga kita akan membuka klinik lebih banyak, sudah ada perencanaan tinggal direalisasikan saja. Yang terpenting klinik terus berkembang dan berinovasi agar semakin banyak memberi manfaat bagi masyarakat,” ungkapnya sembari tersenyum.

Saat ini Ultimo sedang menggarap penelitian besar “Menggandeng salah satu pusat stem cell di Jakarta, mudah-mudahan akan berkontribusi untuk pengembangan stem cell di Indonesia,” harapnya.

Soal hari Kartini yang diperingati setiap tanggal 21 April, Enrina mengatakan harus dijadikan momentum oleh para wanita Indonesia untuk menumbuhkan semangat Kartini Baru. “Wanita harus bisa berperan karena wanita adalah tiangnya negara. Apalagi di Indonesia wanita diberikan kesempatan yang luas untuk berprestasi di bidangnya masing-masing. Jadi kita harus memiliki jati diri, harga diri, dan martabat sebagai wanita Indonesia dengan cara berprestasi!tunjukan pada dunia bahwa wanita Indonesia itu smart dan polite” tegasnya.

Enrina juga berharap pemerintah khususnya menteri pemberdayaan perempuan serta menteri pendidikan dan kebudayaan harus mencermati nilai-nilai budaya Timur yang sudah mulai tergeser akibat dampak buruk dari globalisasi. “Saya miris melihat di berita-berita bahwa ada wanita Indonesia yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang mereka mau. Kedepan, jangan sampai ada lost generation lagi! mereka harus dididik dan ditempa jiwanya agar memahami benar bahwa kesuksesan itu bukan dilihat dari apa yang kita pakai, atau kita kendarai, tapi apa yang bisa kontribusi ke masyarakat,” pungkasnya.

Apa yang dikatakannya sudah ia realisasikan di dalam mendidik putri yang dilahirkannya pada 15 Desember 1998 lalu, gadis cantik yang hobi membaca dan berenang itu berprestasi dalam akademik dengan diterima sebagai murid di sekolah terbaik di Sydney. “Ia sangat cemerlang, bisa mengikuti pelajaran disana, bahkan berprestasi di matematika dan chemistry. Saya berharap ia bisa menggapai impiannya dan bisa bersaing di negeri orang, ” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.

Alyssa Vania (putri)
“Caca sangat kagum dengan mama dan kalau sudah besar nanti aku ingin menjadi dokter bedah plastik seperti mama. Yang pasti mama itu role model-nya Caca.”

Enrita Dian Rahmadini (adik)
Sebagai seorang wanita, Dr Enrina memiliki segalanya, beauty, brain dan kepedulian tinggi terhadap sesama. Sementara itu, sebagai seorang Ibu, beliau mencurahkan segalanya untuk putri semata wayangnya. Meski begitu, beliau mendidik dan menanamkan nilai-nilai agama dan kemanusiaan kepada putrinya itu dengan tegas.

Nah, sedangkan dalam posisinya sebagai kakak, as a sister, she is the one that we can relay on, mau mendengarkan keluh kesah, dan memberikan saran-saran dan motivasi.

EnrinaGrafi:
Nama Lengkap dr. Enrina Diah, SpBP Lahir Manado, 23 May 1974 Profesi Dokter Spesialis Bedah Plastik sekaligus Owner Ultimo Aesthetic & Dental Center Pendidikan Craniofacial Center, Chang Gung Memorial Hospital, Taiwan (2004 – 2005), Kedokteran Spesialis Bedah Plastik, Universitas Indonesia (2000 – 2005), Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (lulus 1997) Penghargaan Kartini Awards 2011, Her World Certificate The Most Powerful Women 2011, Asian admirable achievers (2009), Women of the year, yayasan penghargaan Indonesia (2009), Golden blade award for best paper presentation, IAPS Scientific Meeting (May 2006), Ten Young Investigators Forum, International Society of Craniofacial Surgeons Conference (2005), Noordhoff Craniofacial Foundation, Scholarship for Cleft and Craniofacial Fellowship (2004 – 2005), AO Scholarship for Craniomaxillofacial Surgery (2004), Indonesia Look Good, Feel Good Award (2003), Higher Achievers on National Board Examination of Basic Surgical Science (2000)



Add to Flipboard Magazine.
Komentar:

 

                        
   

Popular

Photo Gallery

Visitor


Jumlah Member Saat ini: 233250