Search:
Email:     Password:        
 





Arief Budiman (Ketua KPU RI), “Tuduhan itu Menyakitkan”

By Syulianita (Editor) - 23 September 2019 | telah dibaca 2199 kali

Arief Budiman (Ketua KPU RI), “Tuduhan itu Menyakitkan”

Naskah: Purnomo Foto: Sutanto/Dok. MO/Istimewa

Pesta demokrasi tahun 2019 usai sudah. Rakyat, tak hanya telah memilih para wakilnya di parlemen, tapi juga presiden dan wakil presiden-nya. Meski harus diakui, perhelatan itu telah meninggalkan banyak hal, tapi sebagai sebuah perhelatan politik terbesar sepanjang perjalanan negeri ini, Pemilu 2019 bolehlah dikatakan berhasil. Gugatan hasil pemilihan umum (pemilu) baik untuk legislatif maupun presiden dan wakilnya nyaris minim.

 

Sukses Pemilu 2019 memang tak lepas dari peran banyak pihak. Namun, sentral dari semua itu ada di Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan segenap jajarannya yang dipimpin Arief Budiman selaku Ketua KPU. Perjalanan panjang dan melelahkan yang telah dilakukan Arief dalam mengomandani pelaksanaan Pemilu 2019 tentu menjadi cerita menarik. Ada banyak tantangan dan rintangan yang harus ia lewati untuk menuntaskan tugas negara yang dibebankan kepadanya dengan baik dan benar.

 

Ya, selama kepemimpinannya, pria kelahiran Surabaya, 2 Maret 1974 ini dinilai oleh publik telah berhasil menyelenggarakan Pilpres maupun Pileg 2019. Pertama kali menjabat sebagai ketua KPU, reputasi Arief di lembaga penyelenggara pemilu ini sudah terlihat jelas. Ia mampu menakhodai KPU dalam menjalankan tugasnya. Meski begitu, Arief menilai hasil kerjanya itu semata-mata untuk membuat KPU lebih baik lagi dari yang sebelumnya. 

 

“Tentu penilaian itu saya serahkan kepada masyarakat, tetapi yang jelas KPU menyelenggarakan Pemilu 2019 berupaya maksimal untuk memperbaiki apa saja yang kurang di 2014,” ujar Arief kepada Men’s Obsession di ruang kerjanya.   Hal itu juga dapat dilihat dari kebijakannya yang telah membuat terobosanterobosan baru yang bisa membuat Pemilu 2019 lebih baik, lebih transparan, mudah diakses oleh publik, dan kepentingan KPU adalah membangun kepercayaan publik terhadap proses pemilu itu sendiri. 

 

Bahwa publik menilai Pemilu 2019 bisa berjalan dengan baik, tentu ia berterima kasih dan mengapresiasi karena memang berdasarkan catatan-catatan data kuantitatifnya itu ada catatan yang memang lebih baik. Misalnya tingkat partisipasi, kalau dulu sekitar 74 sampai 75 persen, sekarang sudah mencapai 81 persen. Kemudian digital data, seperti di sistem hitung (situng) KPU, data yang bisa ditampilkan di situng pada Pilpres 2019 sudah mencapai 99,3 persen. Sedangkan, untuk pileg sudah mencapai 98 persen. “Publik bisa lihat di web KPU tentang situng. Kami masih terus meng-upload data pengitungan maupun rekap melalui situng,” ungkap pria berdarah Jawa Timur tersebut.

 

Tak hanya itu, angka-angka lain juga ikut cemerlang. Misalnya, jumlah sengketa yang diajukan oleh peserta pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK) menurun. Ia mengaku tidak tahu penyebab turunnya angkaangka tersebut. Apakah itu keberhasilan KPU atau memang peserta pemilu malas mempersengketakan. “Tetapi dibandingkan pemilu sebelumnya, 2014 misalnya, sengketa itu ada 900 lebih yang diajukan ke mahkamah. Kemudian, ada beberapa sengketa yang tidak dapat diteruskan masih tersisa 500 sekian,” ungkap pria ramah ini. Kalau sekarang, jumlah angka yang masuk dalam sengketa itu hanya sekitar 350. Kemudian, yang bisa dilanjutkan ke sidang berikutnya ada 250. 

 

Lalu, ada putusan dismisel yang bisa dilanjutkan hanya sekitar 120. Jadi, dibandingkan dengan data sengketa 2014, tahun ini jauh lebih turun, padahal jumlah TPS dan peserta pemilu lebih banyak. “Tapi, angka yang masuk di Mahkamah Konstitusi jauh menurun,” ungkapnya lagi.  Namun, ketika KPU dituding berlaku tidak manusiawi dalam menerapkan pola kerjanya bahkan dituduh telah melakukan kecurangan dalam menyelenggarakan Pemilu 2019 yang lalu, Arief begitu geram.

 

“Saya pikir tuduhan itu sangat menyakitkan bagi saya,” tegasnya. Menurutnya, tuduhan itu mengadaada. Semua orang bisa melihat, seluruh tahapan pemilu dilaksanakan secara terbuka. Seperti yang terlihat saat KPU melakukan tahapan regulasi. Semua dilakukan uji publik, pesertanya semua ada di situ, mereka diundang, perwakilan dari lembaga pemerintah terkait diundang. “Jadi, sejak menyusun regulasi, semua sudah terbuka,” tukas mantan Komisioner KPU Pusat itu. 

 

Bukan Karena Hal Gaib

Ketika disinggung terkait banyaknya petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal, mantan anggota KPU Jawa Timur ini mengaku, KPU telah mengantisipasi hal tersebut. Publik pun tahu, pekerjaan KPU di Pemilu 2019 sangat berat. Seluruh jenis pemilu untuk tingkat nasional diselenggarakan dalam satu waktu yang sama. Mulai dari DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab. Kota, DPD, dan pilpres. Maka KPU dalam simulasinya mengambil kesimpulan terlalu berat kalau menggunakan angka maksimal sebagaimana ditentukan UU 500 pemilih per TPS. Oleh karena itu, KPU mengubahnya menjadi 300 pemilih per TPS. “Harapannya kerja KPPS lebih ringan dan lebih singkat sehingga potensi mereka kelelahan dalam bertugas dapat diminimalisir,” tutur Arief.  

 

Meski demikian, layanan terhadap anggota KPPS yang meninggal sebetulnya sudah diupayakan lebih baik. Misalkan, dengan memberikan santunan, walaupun tidak dalam bentuk asuransi, tetapi dalam bentuk santunan. Terkait beredar isu banyaknya anggota KPPS yang meninggal saat menjalankan tugasnya dikarenakan faktor lain, seperti diracun bahkan karena serangan gaib, hal itu ditepis olehnya. Menurutnya, petugas KPPS yang meninggal itu memang alamiah karena memiliki punya riwayat sakit. Ada yang hipertensi, jantung, dan beberapa yang memang kalau mereka kelelahan dapat menimbulkan kematian.

 

“Karena sakit ataupun kelelahan, bukan disebabkan hal-hal lain yang dibayangkan banyak orang,” tegas Arief. Untuk itu, ia berharap ke depannya KPU dapat memberikan lebih baik lagi dari yang sekarang, yakni dapat menegakkan asas pemilu di Indonesia, yaitu asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil (luber jurdil) dalam menyelenggarakan Pilkada Serentak 2020 mendatang.

 

Sebab, pihaknya sudah menentukan tahapannya. Setelah tahapan ditetapkan, barulah semua pihak bisa menjalankan tugasnya, seperti partai politik bisa menentukan calon pilihannya. Kemudian, penyelenggara pemilu sudah bisa menentukan, kapan pendaftaran,  kampanye, dan pemungutan suaranya. “Pemungutan suara kami rencanakan 23 September 2020. Sebab, tahapan-tahapan yang telah kita susun, mau kita formalkan dalam peraturan KPU," ungkap Arief. Tak hanya itu, ia juga berharap untuk Indonesia yang kini berusia ke-74 tahun, betul-betul bisa mandiri. Bisa memenuhi seluruh kebutuhannya dengan kekuatan sendiri, yakni sandang, pangan, dan papan.

3 Magic Words

Ada hal menarik ketika bertemu dengan sosoknya, sebagai Ketua KPU yang pekerjaannya penuh risiko, tekanan, dan rentan menerima tudingan juga ancaman, Arief selalu terlihat tenang. Ternyata, ia memiliki magic words sehingga bisa melalui segala tantangan yang menghadang dengan baik dan lancar. “Tantangan dan tekanan biasa terjadi. Makanya, ada tiga hal yang menjadi prinsip hidup saya,” ungkap ayah tiga anak ini. Pertama, pandai bersukur. Jadi, pekerjaan sesulit apapun, harus disyukuri. Kedua bersabar.

 

“Sabar itu tidak ada batasnya. Misalnya, tiba-tiba ada orang marah, saya tidak boleh kehilangan kesabaran. Ketiga, tidak sombong. 3 magic words inilah yang sering saya ucapkan dalam doa, semoga selalu bisa saya terapkan karena kalau semua dikerjakan, hidup akan tenang saja,” ungkap pria ramah ini.

 

Lebih lanjut ia menuturkan, untuk selalu tampak prima ia selalu menyempatkan diri berolahraga, mulai dari futsal bersama teman-teman, bulu tangkis, hingga bersepeda, dilakoninya. “Selama tahapan kemarin, jujur karena load pekerjaan yang begitu tinggi, saya tidak ada waktu berolahraga. Namun, satu bulan belakangan, saya sudah melakoninya lagi. Saya juga suka kalau ada acara di luar kota dan harus bermalam di hotel, saya sempatkan diri ke gym-nya, setidaknya treadmill,” akunya. Seminggu yang lalu, sambung pria berdarah Jawa ini, ia baru saja membeli sepeda. “Jadi, saya menempatkan dua sepeda di kantor sehingga sewaktu-waktu bisa bersepeda dengan teman. Lalu, saya beli lagi dua untuk di rumah supaya bisa bersepada bersama keluarga,” imbuh Arief.

 

Ia juga kerap menghabiskan waktu bersama keluarga tercintanya dengan berwisata kuliner. “Namun, dua putri saya sudah sibuk sekolah dan ada yang masuk pondok. Hiburan saya di rumah, si bungsu yang saat ini usianya baru 5 1/2 bulan. Obat lelah saya adalah bermain dan berjalan-jalan bersama si baby,” ujarnya. Arief mengungkapkan, nama putra bungsunya adalah Tsabit El Haq Budiman. Menariknya, nama tersebut terinspirasi dari situasi politik Pemilu Serentak 2019.

 

“Jadi, saya ini banyak dituduh, dicerca macam-macam. Saya punya prinsip, jangan penah takut sepanjang melakukan dan mengatakan hal yang benar. Saya pernah berkomentar, tuduhan itu sangat menyakitkan. Padahal, saya tidak punya niat buruk sedikit pun terhadap bangsa ini, tapi dituduh ini dan itu. Saya tetap harus menjaga kebenaran. Oleh karena itu, saya namakan nama si kecil Tsabit El Haq Budiman,” urainya.

 

Arti nama tersebut, imbuhnya, adalah  orang yang teguh menegakkan kebenaran, anaknya Budiman. “Termasuk waktu kelahirannya juga dipengaruhi situasi kondisi politik. Jadi, saya ingat betul, saat ingin menetapkan daftar pemilih tetap (DPT). Beberapa kami tetapkan kembali bahkan sampai tiga kali, DPT yang pertama, DPTHP pertama, kedua, hingga ketiga. Kata dokter, anak saya akan lahir hari Kamis. Waduh, itu bersamaan dengan penetapan DPTHP secara nasional melalui rapat pleno dan terbuka. Akhirnya, saya bilang sama dokter, "Dok, hari baik itu Jumat". Alhamdulillah, mundur sehari, mestinya tanggal 4 menjadi tanggal 5,” kenang Arief seraya tersenyum.

“Serangan yang aneh-aneh nggak nyampe”

Di ruangannya yang tertata rapi, Arief Budiman menerima Men’s Obsession untuk wawancara di tengah kepadatan kerjanya. Banyak hal ia ungkapkan dalam wawancara ini. Seperti ‘curhat’, ia memaparkan semua hal yang terjadi selama Pilpres dan Pileg tahun 2019 kemarin. Ia sedikit agak emosional ketika disinggung bahwa ada ketidakadilan yang dilakukan KPU sehingga lembaga ini kerap dituding curang. Bahkan, ia juga mau menjawab pertanyaan soal dugaan-dugaan yang unik tentang isu tak masuk akal seperti dugaan kekuatan gaib yang ada selama ia memimpin. Berikut petikannya:

 

Dalam Pilpres kemarin KPU dituding curang, bagaimana Bapak menyikapi tudingan tersebut?

Tuduhan itu sangat menyakitkan bagi saya. Tuduhan itu mengada-ada. Semua orang bisa lihat, seluruh tahapan pemilu dilaksanakan secara terbuka. Anda lihat saat kami melakukan tahapan regulasi, uji publik, semua peserta diundang dan ada di situ. Kami juga mengundang perwakilan dari lembaga pemerintah dan teman-taman NGO. Jadi, sejak menyusun regulasi itu semua sudah terbuka.


Soal transparansi juga?

Ya, proses pemungutan dan penghitungan suara semua orang menyaksikan, baik secara langsung di TPS, semua saksi dihadirkan di TPS, semua pemantau datang ke TPS, pengawas TPS dari jajaran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) itu ada di setiap TPS. Jadi, semua orang menyaksikan, termasuk menyaksikan melalui sistem informasi yang disediakan oleh KPU. Orang dengan mudah sekarang mengakses di TPS mana, angkanya berapa, data digital scanning fomulir sertifikatnya seperti apa sehingga kalau kami mau curang mestinya kami membangun sistem yang tidak transparan. Lah ini kan kami pertontonkan semua, masa curang mau dipertontonkan, rasa-rasanya tidak masuk akal tuduhan itu. Bahkan, setelah kami sajikan dalam bentuk digital, siapa yang nakal di tempat itu akan mudah ketahuan dan publik bisa melaporkan kepada KPU, kami langsung menindaklanjuti. 

 

Pemilu 2019 banyak beredar kabar hoaks, bagaimana KPU menghadapinya ?

Untuk Hoaks, kami merespon dengan dua cara. Kalau hoaks itu tidak berdampak masif, hoaks itu biasa-biasa saja, kami cukup melakukan klarifikasi melalui media sosial. Misalnya, ada hoaks tentang, ini ada Arief Budiman kerja sama dengan Cina. Karena, hanya menyangkut saya, saya hadapi biasa saja, tidak mau lebay dan baper. Cukup melakukan klarifikasi. Tetapi, ada hoaks yang menurut saya sangat berbahaya, berdampak masif, bisa mempengaruhi kepercayaan publik terhadap KPU. Maka, kami tidak cukup merespons hanya dari media sosial. Namun, kami laporkan kepada aparat penegak hukum. Misalnya, hoaks tentang isu 7 kontainer surat suara sudah dicoblos, wah itu berdampak besar karena orang bisa sangat terpengaruh dan tidak percaya kepada KPU.  Maka, kami laporkan ke polisi. Kemudian, hoaks tentang KPU sudah mengatur server-nya untuk memenangkan salah satu pasangan calon. Ini bahaya, sehingga kemudian kami laporkan kepada penegak hukum. Jadi, begitu cara kami merespons penyebaran hoaks. Bukan karena marah, baper, lebay, tapi kami cukup proporsional melihat hoaks itu.

 

Selama menjelang Pemilu 2019 hingga pelaksanaanya, apakah banyak ancaman baik kepada KPU, Bapak, maupun keluarga?

Saya menjadi penyelenggara pemilu sudah hampir 20 tahun, mulai tahun 1999 sampai 2019. Pengalaman diancam sebetulnya banyak, baik melalui media sosial, SMS, WA, maupun yang ketemu langsung. Saya menyikapi ancaman-ancaman itu biasa saja. Orang marah, kecewa, biasanya karena dia tak mampu menahan dirinya, dia mengancam. Ya, saya hadapi secara proporsional saja. Kalau cukup dengan saya jawab, ya saya jawab, tapi kalau sudah menyangkut keselamatan banyak orang, keluarga atau anak saya, saya meminta bantuan kepada aparat keamanan untuk ikut mengamankan. Jadi misalnya di rumah, ditempatkanlah aparat keamanan untuk menjaga. Kemudian, saat kami merekap, kantor dipasang kawat berduri dan petugas yang berjaga jumlahnya ditambah. Saya menyikapi bergam ancaman dengan cukup proporsional saja.

 

Keluarga bagaimana?

Keluarga awalnya biasa-biasa saja, tapi begitu melihat eskalasinya naik, apalagi medsos dan televisi menyiarkan mengkhawatirkan, seperti ada yang dibakar, digeruduk, mereka mulai khawatir juga. Saya bilang ke mereka semua harus mawas diri. Saya tidak mungkin menjaga istri dan anak yang tempatnya berpencar-pencar. Sehingga, kami membuat SOP sendiri. Misalnya, saya bilang kepada anak jangan sembarangan bicara sama orang yang tak dikenal, tidak boleh menerima sesuatu dari orang asing. Terus istri saya kalau mau berpergian harus ada yang menemani, tidak boleh sendirian.

 

Kalau sampai sekarang masih dapat ancaman?

Sekarang tidak pernah ada ancaman, tapi mungkin protes-protes keberatan. Ada saja kebijakan yang sudah saya keluarkan diprotes. Tidak seperti dulu, yang rentan ancaman. Bagi saya, orang marah atau kecewa, sudah biasa, saya akan hadapi dan jelaskan. Pernah ada peristiwa lucu, tepatnya saat saya datang ke sebuah pameran di JCC, Senayan, Jakarta. Saya jalan ke lorong sebelah sini, orang memuji-muji saya, "Pak Arif selamat ya, pemilunya sukses". Lalu, saya jalan di lorong yang lain, orang-orang di situ memaki-maki saya. "Curang kamu!" kata mereka. Jadi, bagi saya dalam satu ruangan saja terjadi hal seperti itu maka hidup pun begitu. Kita harus siap. 

 

Kabarnya serangan di luar nalar seperti serangan gaib juga dialami?

Saya tidak merasa itu (serangan gaib). Saya menjaga diri saya secara fisik, mental, dan spiritual. Salah satu kunci penting menjaga ketenangan dalam bekerja adalah ibadah. Jadi, kalau saya merasa mulai terganggu, salah satu save correction diri saya, yaitu ibadah. Jangan- jangan ibadah saya yang kurang. Biasanya kalau sudah rajin beribadah, hati tenang. Misalnya, kalau banyak tamu, salatnya menjadi terlambat. Kalau terus menerus seperti itu, hati tidak akan tenang, tapi kalau tertib, kembali merasakan kedamaian. Jadi, kalau mulai gelisah dan menghadapi persoalan yang sangat berat, cukup perbanyak ibadah.

 

Serangan yang aneh-aneh lainnya?

Nggak ada, kayanya serangannya yang anehanehnya nggak nyampe.

 

Terkait Pilkada Serentak 2020, apakah KPU siap untuk melaksanakan?

KPU siap untuk melaksanakan itu bahkan kami akan melakukan beberapa terobosan. Pertama, kami akan terus berjuang untuk mengakomodasi pelarangan eks terpidana koruptor, pelaku kejahatan seksual pada anak, dan bandar narkoba menjadi peserta Pilkada 2020 karena saya bersama temanteman di sini berfikir, hidup sekali harus memberikan arti. Kita tidak selamanya ada di KPU, sekarang saat kita masih diberi kewenangan oleh negara untuk mengatur maka kami akan usulkan kembali. Saya tidak tahu, apakah masyarakat melakukan Judical Review lagi dan kami nantinya menang atau kalah, itu urusan belakangan. Namun, kami harus mengupayakan. Saya punya keyakinan, dengan kejadian ada beberapa calon yang terpilih kemarin, tersangkut korupsi lagi dan tertangkap kembali. Kemudian, ada yang melakukan korupsi ,sudah ditahan, masih menang juga. Mungkin ini membuka mata orang bahwa tidak bisa kita menyerahkan sepenuhnya kepada masyarakat karena yang tidak baikpun masih terpilih kembali maka kita harus bangun dengan sistem. 

Kedua, supaya Pilkada Serentak bisa lebih baik, KPU akan usulkan e-rekap. Jadi, nanti hasilnya akan bisa lebih cepat. Kalau kemarin kami punya dua cara, manual sebagaimana perintah undang-undang dan situng atau sistem informasi penghitungan yang ditampilkan oleh KPU. Namun, situng ini bukan hasil resmi. Sekarang, kami mengusulkan data digital hasil rekap secara elektronik adalah hasil resmi. Jadi, nanti KPU Kabupaten-Kota mengirim data ke pusat tabulasi, begitu datanya masuk, data itulah yang ditetapkan sebagai hasil pemilu secara resmi. Nanti akan cepat. Dua hal ini saya siapkan untuk Pilkada Serentak 2020 supaya menjadi lebih baik.

 

Pesan untuk masyarakat Indonesia?

Untuk masyarakat Indonesia. Pertama, negara ini sudah menyepakati bahwa untuk mengganti, regenerasi, proses regenerasi kepemimpinannya itu disepakati dengan pemilu. Mau ganti presiden, gubernur, wali kota, bupati, DPR, semua disepakati melalui pemilu. Dan, itu kita lakukan setiap lima tahun sekali. Oleh  karena itu, silahkan Anda semua pilih orang-orang yang baik dalam pemilu. Kalau Anda tidak memilih orang baik maka lima tahun ke depan Anda akan rugi dipimpin oleh orang yang tidak baik. Tapi, kalau berhasil memilih orang yang baik maka lima tahun ke depan kita akan beruntung karena banyak kebaikan yang akan terjadi jika dipimpin oleh orang baik. Setiap pemilu adalah saat yang tepat bagi kita untuk memberikan evaluasi, apakah pemimpin kita sudah melaksanakan amanah yang kita berikan atau tidak. Di situ, kita memutuskan untuk pilih dia kembali atau tidak. Anda ingin Indonesia makmur, adil, dan sejahtera? Salah satunya diwujudkan oleh pemimpin-pemimpin yang baik maka pemilu jadi sarana atau proses awal untuk mewujudkan negeri yang adil, makmur, dan sejahtera. Pemimpin yang baik, pasti akan membuat kebijakan yang baik.

 

Bagaimana Bapak membangun team work di KPU?

Pertama harus tunjukkan kepada mereka bahwa saya bekerja dengan cara yang transparan. Kalau kerjanya transparan orang tidak curiga terhadap saya, maka mereka dengan ikhlas mendukung pekerjaan yang kita hadapi. Tapi, kalau saya punya niat tidak baik atau buruk, menyembunyikan kepentingan sesuatu, pasti mereka tidak akan mau bekerja secara tim dengan baik. 

Kedua, toleransi. Orang kan memiliki kemampuan yang spesifik di bidangnya masing-masing. Saya tidak paksakan mereka melakukan seluruh pekerjaan. Kalau urusan ini si A yang kerjakan, kalau urusan itu si B yang kerjakan. Dengan begitu, semua pekerjaan terdistribusi dengan baik. Kalau semua pekerjaan dibagi dengan beban yang sama, maka team work akan berjalan. Ini merupakan salah satu ilmu manajemen saja. Yang terakhir, mengerti situasi dan kondisi seseorang. Misalnya, yang satu tidak mampu mengerjakan pekerjaannya maka yang lain harus mau membantu. Jadi, masing-masing melengkapi untuk yang lainnya.

 

Setelah purna tugas menjadi Ketua KPU, apa rencana Bapak ke depan?

Sejak saya mahasiswa dan menjadi KPU provinsi, pekerjaan saya banyak. Terutama yang paling saya suka adalah berdagang. Kemungkinan kalau tidak lagi di KPU dan kebetulan saya sudah dua periode di sini sehingga tidak akan jadi KPU lagi, saya akan kembali berdagang. Lantaran, berdagang adalah salah satu pintu rezeki.

 

Sosok inspirator?

Banyak, tapi ada tiga sosok yang menginspirasi saya. Pertama, bapak saya yang mengajarkan kedisiplinan. Itu saya alami sendiri, dulu bapak saya PNS, tidak pernah tiba di kantor terlambat. Kedua, saya belajar kesabaran dan kesederhanaan dari ibu saya. Di tengah keterbatasan dan kesederhanaan keluarga, ibu mendidik kami untuk mampu melewati itu semua dengan baik. Didikan beliau, terbawa sampai sekarang. Pernah suatu ketika, saya ingin membelikan mainan untuk anak, kebetulan isteri tidak ikut. Saya pergi ke Pasar Gembrong, saya kaget, orang bertanya, "Loh, ini pak Arief? Kok beli mainannya di sini, bukannya di mall?" 

Bagi saya, itu tidak menjadi masalah, ketika saya ingin membeli mainan di pasar bukan di mall.  Persis ketika saya lebih senang kulineran di pinggir jalan, ketimbang di mall. Salah satu makanan kesukaan saya adalah ketoprak di Taman Lawang, tepat di belakang kantor. Penjualnya kalau saya beli, sudah hapal racikan untuk saya. Ketiga, saya sangat terinspirasi dengan B.J. Habibie. Tentang kecerdasan, iman dan taqwa, serta harmoni kehidupan, saya banyak belajar dan terinspirasi dari beliau. Makanya, kalau melihat filmnya beliau, Habibie dan Ainun, saya sampai menguras air mata. Hal penting yang saya petik adalah keluarga itu penting. Dulu, waktu masih energik dan muda, kerja sampai malam juga dilakoni, kalau keluarga telepon nanti saja dulu. Sekarang, sudah tidak lagi karena ketika orang lain tidak lagi mendoakan, keluargalah yang masih mendoakan kita. Jadi, bagi saya keluarga sangat penting.

 

Obsesi Bapak dalam hidup?

Suatu saat saya ingin pemilu kita ini harus mampu dilaksanakan dengan efektif dan efesien. Jalannya tepat waktu, tahapannya tidak perlu terlalu lama, dan harus murah bagi siapapun. Misalnya, murah bagi penyelenggara pemilu. Sekarang itu kan karena perintah undang-undang, orang yang menjadi penyelanggara pemilu pada hari pemungutan suara, dengan desain yang sekarang kalau ditotal secara keseluruhan, bukan hanya KPU, hampir 15 juta orang. KPU saja, 9 orang dikali 800 ribu lebih. Itu, hanya level TPS. Kalau ditambah PPS, PPK Kabupaten, bisa mencapai 8 juta orang. Seratus persen anggaran yang kami gunakan, sekitar 60 persen untuk membayar honorer. Kalau nanti ada mekanisme penggunaan teknologi informasi pada pemilu, kami tidak perlu melibatkan banyak orang, sehingga murah bagi penyelenggara.

Kedua, pemilu murah bagi peserta pemilu. Bagi partai politik, calon kepala daerah, calon presiden, harus murah. Cara murahnya bagaimana? Pertama-tama, kita harus menghapus money politic karena jangan-jangan sebagian besar pengeluaran mereka ke situ. Jadi, biaya yang mahal itulah yang akhirnya memunculkan semangat untuk mengembalikan modalnya. Undang-undang sudah mengarah ke sana. Apa buktinya? sebagian kegiatan kampanye tidak pertu dibiayai oleh peserta pemilu, tapi dibiayai oleh negara. Membuat baliho, spanduk, iklan di televisi atau media massa, calon sudah tidak boleh pasang sendiri, melainkan KPU. Artinya, sudah bisa menekan pengeluaran. Namun, kami akan terus mendorong agar bisa lebih murah lagi. Kalau sudah murah bagi penyelenggara dan peserta, banyak hal baik yang bisa dicapai.

 



Add to Flipboard Magazine.
Komentar:

                         
   

Popular

Photo Gallery

Visitor


Jumlah Member Saat ini: 233250