Jokowi Mengabdi Untuk Bangsa Meraih Ridha Allah
By Iqbal Ramdani () - 24 January 2019 | telah dibaca 5578 kali
Jokowi Mengabdi Untuk Bangsa Meraih Ridha Allah
Naskah: Sahrudi Foto: Istimewa
“Pemimpin yang efektif bukan soal pintar berpidato dan mencitrakan diri agar disukai. Kepemimpinan tergambar dari hasil kerjanya, bukan atributatributnya,” begitu pernah disampaikan Peter Ferdinand Drucker, seorang penulis, konsultan manajemen, dan “ekolog sosial” kelahiran Wina, Austria tahun 1909.
Tak berlebihan jika kalimat bijak tokoh yang sering disebut sebagai bapak “manajemen modern” ini disematkan kepada Presiden Republik Indonesia, H. Joko Widodo (Jokowi) yang dengan kepemimpinannya mampu memperlihatkan karya dan bukan sekadar retorika atau wacana. Terbukti, selama kepemimpinannya sudah banyak infrastruktur yang dibangun sebagai upaya menaikkan perekonomian rakyat. Bisa dilihat juga dari kepeduliannya terhadap pendidikan dan kesehatan, serta kehidupan beragama yang toleran. Semua itu menegaskan bahwa negara selalu hadir di setiap sektor kehidupan dan terjaganya keberpihakan pemerintah saat ini kepada rakyat.
Hasil survey juga menyebut bahwa rakyat yang merasa puas oleh kinerja Jokowi sebesar 73,4 persen, dengan rincian sangat puas 9,7 persen dan cukup puas 63,7 persen. Sementara yang kurang puas 22,6 persen, tidak puas 2,8 persen dan TT/ TJ (tidak tahu/tidak jawab) 1,2 persen. Sementara, terkait hasil survei tingkat keyakinan atas kemampuan Jokowi untuk memimpin, sebanyak 71,4 persen merasa yakin dengan mantan Gubernur DKI Jakarta itu. Sedangkan, responden yang tidak yakin sebesar 23,2 persen. Padahal seperti kita tahu, pemilih Jokowi yang ketika itu berpasangan dengan Jusuf Kalla pada Pemilu Presiden/ Wakil Presiden RI tahun 2014 adalah sebesar 70.997.85 suara (53,15 persen). Sementara, partai pengusungnya hanya 5 partai politik, yaitu PDI-Perjuangan, PKB, Partai NasDem, Partai Hanura, dan PKP Indonesia yang tergabung dalam “Koalisi Indonesia Hebat”.
Bandingkan dengan pasangan calon presiden yang mengusung penantangnya (Prabowo-Hatta Radjasa) yang didukung oleh “Koalisi Merah Putih” yang terdiri dari 6 partai politik, yakni Partai Gerindra, PAN, PPP, PKS, PBB, dan Partai Golkar. Tak heran kalau perjalanan Jokowi di awal pemerintahan tidaklah mudah. Selain karena dukungan parlemen yang rendah, pada saat masa transisi pergantian kepemimpinan dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), Jokowi dihadapi juga oleh transaksi anggaran defisit anggaran berjalan.
Ternyata figur Jokowi menjadi magnet tersendiri bagi partai politik yang sebelumnya berseberangan sehingga terjadi dinamika politik yang signifikan di mana pada bulan Oktober 2014 beberapa partai yang sebelumnya tidak berada pada posisi mendukung Jokowi tiba-tiba balik badan memproklamirkan dukungannya untuk Jokowi, semisal Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Amanat Nasional. Terakhir, pada bulan Januari 2016, Golkar secara resmi ikut bergabung dan pada 17 Mei 2016, menyatakan keluar dari “Koalisi Merah Putih”. Itu artinya, seiring perjalanan waktu, kepemimpinan Jokowi yang pro rakyat telah membuat kepercayaan rakyat semakin meningkat dan kalangan elit politik pun menaruh kepercayaan besar. Sebuah fakta bahwa Jokowi adalah sosok yang diyakini mampu membawa, menata, dan meningkatkan pembangunan Indonesia di segala bidang. Karenanya, pemimpin itu mestinya bukan sembarang orang. Harus benar-benar orang pilihan, yang pikiran dan jiwanya tangguh, tentu pula disokong oleh fisik yang kuat dan sehat. Ajaran Plato tentang pemimpin harus filsuf menegaskan kekuatan pikiran sebagai jangkar berdaulatnya kepemimpinan yang tangguh.
Empat tahun perjalanan kepemimpinannya, Jokowi telah menempatkan diri sebagai pemimpin besar yang mampu bekerja memproyeksikan masa depan bangsanya, menyusun strategi terbaik bagi pencapaian yang berjangka. Namun, tak sungkan melakukan blusukan dan segenap pernak-perniknya sebagai wujud dari kepedulian pemimpin, kesederhanaan, dan memiliki rasa sepenanggungan. Di sisi lain, ia telah memperlihatkan sebagai pemimpin yang punya ide dan gagasan segar sehingga segenap kerja yang diwujudkannya adalah proyeksi, bukan reaksi terhadap hal-hal sederhana dari masalah kebangsaan yang kita hadapi. Tak heran, di tahun politik menjelang pemilihan Presiden RI ini Jokowi yang kembali maju berkontestasi dengan pasangannya sebagai Wakil Presiden, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, ia selalu tenang menyikapi ‘serangan’ dari kubu kandidat lainnya. Baginya serangan itu tak perlu ditanggapi secara reaktif.
Karena ia yakin bahwa pemimpin tak perlu membela diri lantaran yang bisa membela dirinya hanya hasil kerja dan pencapaian prestisius dari proyeksi besar yang digarapnya. Ia cukup membela diri dengan membeberkan pencapaian-pencapaian yang membuktikan bahwa rakyat masih merasakan hadirnya negara dalam ruang kehidupan mereka. Tampaknya, Jokowi tipikal pemimpin Amerika semacam Abraham Lincoln dan John F. Kennedy yang selalu mengajak warganya membangun masa depan negara dengan bertumpu pada kerja keras. Sebuah catatan yang sangat inspiratif. Karena itulah, di edisi khusus ini, majalah Men’s Obsession merasa penting untuk menampilkan sosok Jokowi sebagai pemimpin yang sangat inspiratif. Sejumlah catatan kepemimpinan, kinerja presiden dan kabinet, hasil karya, hingga kehidupan keluarga Jokowi kami sorot dengan penyajian khas Men’s Obsession. Kekuatan audio visual juga kami hadirkan dalam bentuk QR code sehingga mampu menampilkan sebuah laporan yang paripurna kepada para audience.
Kerja Cepat Untuk Rakyat Butuh Tim Yang Sigap
Naskah: Sahrudi/Pessy Foto: Istimewa
Nama Jokowi sebenarnya sudah dikenal sejak menjabat Walikota Solo, Jawa Tengah. Tambah terkenal ketika jadi Gubernur DKI Jakarta. Dan, semakin terkenal ketika rakyat Indonesia memilihnya sebagai Presiden RI. Yang membuat Jokowi terkenal dan disukai rakyat adalah tiga faktor, yakni pekerja keras, membumi, dan emoh memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
Tak heran istilah “blusukan” populer di era kepemimpinannya. Sebuah kata yang awalnya dianggap sebagai pencitraan. Namun, lama-lama malah ditiru oleh pihak lain sebagai simbol kedekatan dengan rakyat dan segala permasalahannya. Sejumlah kalangan menilai Presiden Jokowi adalah seorang pemimpin yang mandiri, dan wajar kalau ia pun mengharapkan agar bawahannya juga sama mandirinya. Tidak perlu diarahkan setiap harinya. Bagi Jokowi, yang penting adalah bawahannya mengerti tujuan dan parameter dari pekerjaannya, dan dengan itu Presiden Jokowi memberikan kepercayaan atas hasil yang akan diberikan.
Presiden Jokowi itu bukan tipe bos yang mesti didewakan, dibawakan payung pun tidak perlu. Ia perlunya didengarkan di awal pekerjaan dengan jelas, ditanyakan ekspektasi dan time frame, dikasih laporan berkala, diberikan penjelasan detail jika ada kendala, dan juga diberikan usul untuk mengatasi kendala itu, serta sedikit diajak bercanda. Jokowi adalah tipe pemimpin yang tidak suka dengan anak buah yang harus “dipecut” dulu baru kerja dan hanya menjelaskan kendala tanpa memberikan opsi penyelesaian. Hanya anak buah yang memiliki kepribadian mandiri yang bisa bersinergi dengan Presiden Jokowi. Gaya kepemimpinan Presiden Jokowi memang menuntut semua orang bertindak cepat karena arus informasi bergerak lebih cepat lagi. Zaman di mana Indonesia harusnya bisa mengejar ketertinggalan dalam banyak hal.
Pangkas Menteri yang Tak Efektif
Dengan gaya kepemimpinannya seperti itu tak heran Jokowi kerap melakukan akselerasi kerja dengan melakukan bongkar pasang di kabinet. Tercatat, selama empat tahun menjalankan pemerintahannya, Presiden Joko Widodo terhitung telah empat kali melakukan reshuffle atau perombakan kabinet. Berbagai alasan menjadi penyebab dilakukannya perombakan kabinet, di antaranya untuk mempercepat pencapaian target kerja, adanya menteri yang tersangkut kasus hukum, hingga politis. “Jadi, keputusan ini konsekuensi dari dinamika politik perkoalisian. Sekali lagi, jadi ini soal koalisi,” kata Menteri Sekretaris Negara Pratikno menyoal pergantian Asman Abnur sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi oleh Wakapolri Syafruddin ketika itu.
Reshuffle pertama dilakukan saat pemerintahan Jokowi-JK berjalan 10 bulan, tepatnya pada Rabu, 12 Agustus 2015. Darmin Nasution didapuk sebagai Menko Perekonomian menggantikan Sofyan Djalil. Sofyan diberi tugas sebagai Menteri PPN/ Kepala Bappenas menggantikan Andrinof Chaniago. Posisi Menko Kemaritiman yang sebelumnya dijabat Indroyono Susilo digantikan Rizal Ramli. Presiden Jokowi melantik Luhut Binsar Panjaitan sebagai Menko Politik Hukum dan HAM (Menko Polhukam), menggantikan Tedjo Edhy Purdijatno. Sebelum menjadi Menko Polhukam, Luhut menjabat sebagai Kepala Staf Kepresidenan. Jabatan ini kemudian diisi Teten Masduki. Rachmat Gobel dicopot dari posisi Menteri Perdagangan dan menggantikannya dengan Thomas Lembong.
Presiden mengangkat Pramono Anung sebagai Sekretaris Kabinet menggantikan Andi Widjajanto. Pada 27 Juli 2016, Presiden Jokowi kembali melakukan perombakan kabinet. Ignasius Jonan dicopot dari jabatannya dan posisi Menteri Perhubungan digantikan oleh Budi Karya Sumadi. Menteri PPN Sofyan Djalil digantikan Bambang Brodjonegoro yang sebelumnya menjabat sebagai Menteri Keuangan. Posisi Bambang digantikan Sri Mulyani. Sofyan Djalil yang sebelumnya Menteri PPN dilantik menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang menggantikan Ferry Mursyidan Baldan. Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said digantikan oleh Archandra Tahar. Posisi Saleh Husin sebagai Menteri Perindustrian digantikan Airlangga Hartarto. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang sebelumnya dijabat oleh Anies Baswedan digantikan Muhajir Effendy.
Jokowi mempercayakan Eko Putro Sandjojo menjadi Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT) menggantikan Marwan Jafar. Posisi Yuddy Chrisnandi sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menteri PANRB) digantikan oleh Asman Abnur. Menko Polhukam Luhut Binsar Panjaitan dipindahtugaskan menjadi Menko Kemaritiman dan posisinya sebagai Menko Polhukam digantikan Wiranto. Posisi Rizal Ramli sebagai Menko Kemaritiman digantikan Luhut. Enggartiasto Lukita diberikan amanat sebagai Menteri Perdagangan menggantikan Thomas Lembong yang dirotasi menjadi kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Thomas Lembong menjabat Kepala BKPM menggantikan Franky Sibarani yang ketika itu ditugaskan sebagai Wamen Perindustrian.
Jokowi merombak posisi Menteri ESDM lantaran pengangkatan Arcandra Tahar menuai polemik. Arcandra pun ditugaskan menjadi Wamen ESDM. Posisi Menteri ESDM dijabat Ignasius Jonan pada 14 Oktober 2016 lalu. Reshuffle berikutnya dilakukan Jokowi pada 17 Januari 2018. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengundurkan diri. Posisinya digantikan Sekjen Partai Golkar Idrus Marham. Posisi Teten Masduki sebagai KSP digantikan Moeldoko. Teten ditugaskan sebagai Koordinator Staf Khusus Presiden. Terakhir reshuffle dilakukan pada 15 Agustus 2018. Menteri PANRB Asman Abnur digantikan Syafruddin yang sebelumnya menjabat sebagai Wakapolri. Posisi Mensos yang semula dijabat Idrus Marham berganti ke Agus Gumiwang.
Diplomasi Kopi Ala Jokowi
Naskah: Imam Fathurrohan Foto: Istimewa
Sebagai kepala negara, Presiden Joko Widodo (Jokowi) seringkali bertemu dengan presiden maupun tokoh dunia untuk membahas banyak hal, baik ekonomi, agama, sosial, budaya, infrastruktur, pertahanan, dan lainnya. Uniknya, Presiden tak melulu melakukan pertemuan formal. Ia juga kerap kali melakukan agenda di luar istana sehingga diplomasi santai pun menjadi ‘jurus’ untuk mendulang kerja sama di tengah derai tawa.
Presiden Jokowi selalu memiliki cara untuk mengenalkan Indonesia. Satu di antaranya mengenalkan kopi asli asal Indonesia yang memiliki citra rasa tinggi dan unik dibandingkan kopi-kopi dari negara lain. Ya, Presiden Jokowi belakangan gencar mempromosikan kopi asli asal Indonesia di setiap kunjungan kerjanya, baik di dalam maupun luar negeri. Jokowi yang sebelumnya dikenal penikmat minuman teh, menyertakan kopi sebagai ‘media’ diplomasinya yang unik. Ia diketahui selalu membawa kopi di setiap kunjungan kerjanya ke luar negeri. Alasannya, tentu untuk mempromosikan hasil kopi Nusantara tersebut kepada negara lain agar mau kerja sama untuk mensejahterakan petani kopi Tanah Air. Soal ini, Sekretaris Kabinet Pramono Anung memiliki cerita menarik. Dalam sebuah kunjungan kerja ke New Zealand beberapa waktu lalu, Presiden Jokowi memperkenalkan kopi asli Papua kepada negara asal burung kiwi tersebut.
Bukan tanpa sebab pastinya karena ia tahu Papua menjadi isu yang hangat di negara tersebut. Disamping itu, Presiden Jokowi melihat ada peluang besar bagi kopi asli Tanah Air untuk lebih dikenal publik internasional. Apa pasal? Indonesia merupakan salah satu negara terbaik penghasil kopi dunia. “Jadi, pada waktu ke Middle East. Tamu-tamu negara dipersilahkan untuk mencoba beragam kopi Indonesia, seperti kopi yang dari Jawa Barat, kopi Aceh, kopi Toraja secara berganti-ganti. Semuanya mendapatkan kesempatan yang sama untuk itu,” ungkap Pramono. Ia menuturkan, Presiden Jokowi memang kerap menyiapkan kopi sebagai suvenir bagi para tamu negara. Bahkan dalam rapat-rapat terbatas, Sidang Kabinet, atau menjamu tamu-tamu negara, Presiden sekarang menyiapkan kopi sebagai suvenirnya. Pada setiap kesempatan rapat terbatas bersama menteri-menterinya, jelas Pramono, Presiden Jokowi selalu menyuguhkan kopi karena dirasa lebih banyak gagasan yang bisa disampaikan setelah meminum secangkir kopi.
“Ada pojok kopi dan inilah yang kemudian menjadi kita lebih akrab, termasuk bagi para menteri. Mereka akan mempunyai kesempatan untuk pesan black coffee, cappucino, coffee latte, dan bermacam kopi yang intinya adalah ada kebersamaan di situ,” Pramono menerangkan. ‘Jualan kopi’, sesungguhnya hanyalah cara Presiden Jokowi berdiplomasi, berkomunikasi dengan media yang unik agar message yang disampaikan lebih terasa dan mengena. Di sini, Presiden Jokowi tengah menyampaikan pesan dengan estetika yang khas. Tujuannya tentu saja agar Indonesia menjadi sebuah negara yang diterima secara baik di kancah internasional. “Jadi yang pertama adalah kopi, yang kedua adalah ekonomi, yang ketiga di dalam kopi itu ada kebersamaan. Sehingga ada kebersamaan, ada dialog, ada sharing, ada saling berbagi. Orang minum kopi itu kan bisa bicara A sampai Z dan sebenarnya itu adalah salah satu akar budaya dan kekuatan kita,” kata politikus PDI-Perjuangan itu.
Dari Blusukan Hingga Main Layangan
Bukan Presiden Jokowi namanya jika tak memiliki cara unik dalam pola komunikasi politiknya. Sebagai Wong Jowo, Presiden memahami betul pentingnya kebersamaan. Oleh karenanya, ucapan dan gestur menjadi sangat diperhatikan. Secara personal, Presiden Jokowi dikenal sebagai sosok yang mudah bersahabat, rendah hati, dan ramah. Karakter inilah yang membuat masyarakat Tanah Air menyukainya sehingga ia terpilih sebagai Wali Kota Solo, Gubernur DKI Jakarta hingga saat ini menjadi presiden.
Terkait diplomasi, Presiden Jokowi memiliki teknik yang unik dengan kreativitas di atas rata-rata para elite politik dan pejabat di negeri ini. Blusukan ke perkampungan, misalnya. Diplomasi seperti ini dinilai sebagai salah satu cara unik Jokowi yang tak dimiliki oleh semua politisi. Meski sudah ada yang mendahului diplomasi ‘blusukan’. Namun, Jokowi melakukannya dengan kreativitas yang berbeda. Saat blusukan ke pondokpondok pesantren, Presiden Jokowi mengajak para santri untuk mengenal Indonesia. Kepada para santri, Presiden bertanya tentang kekhasan Tanah Air, mulai kuliner, hewan, hingga nama-nama kota. Para santri pun merespons dengan penuh antusias.
Di sepanjang itu pula tawa berderai, mengaduk emosi, dan mendekatkan hati Presiden Jokowi dengan para santri. Begitu pun saat bertemu dengan para petani. Presiden Jokowi tak ragu untuk berkalang lumpur menjejakkan kakinya di sawah-sawah hanya untuk menyapa mereka. Kepada para petani, Presiden bertanya tentang pupuk, gabah, padi, hingga harga jual dan segala macam yang berkenaan dengan pertanian. Pun demikian saat bertemu pedagang di pasar, tukang becak, atau para guru. Ciri khasnya, Presiden Jokowi memahami bahasa warga, gestur, dan cara berpikirnya sehingga dalam setiap perjumpaan akan tersaji kebersamaan. Jokowi selalu tampil apa adanya. Tak cuma kepada santri, pedagang, atau petani, ia pun berdiplomasi ala wong cilik saat menjamu tamu-tamu kenegaraan.
Seperti ketika Jokowi mengajak Perdana Menteri (PM) India Narendra Modi bermain layangan di Monumen Nasional (Monas), Jakarta Pusat, Rabu (30/5/2018) lalu. Keduanya bermain layangan setelah melakukan pertemuan bilateral di Istana Merdeka. Saat tiba di Monas, Jokowi terlebih dahulu mengajak Modi melihat sejumlah koleksi layang-layang milik Indonesia, sambil diiringi lagu khas Betawi berjudul Si Jali-Jali. Berbagai bentuk layang-layang ditampilkan dalam acara ini. Usai melihat pameran, Jokowi kemudian mengajak Modi bermain layang-layang. Sudah ada dua layang-layang yang disiapkan panitia untuk dua kepala negara itu. Ia terlihat memainkan layanglayang berbentuk kotak, bergambar bendera India. Sementara Modi, memainkan layanglayang berwarna putih bertuliskan 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia-India.
Dalam kunjungan ke Monas ini, Jokowi didampingi sejumlah menteri. Mereka, di antaranya Menteri Luar Negeri Retno Marsudi, Menteri Pariwisata Arief Yahya, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Gaya Jokowi berbeda lagi saat mengajak Christine Lagarde pada Senin, 26 Februari 2018 lalu. Bersama Managing Director International Monetary Fund (IMF) itu, Presiden mengajak blusukan ke Blok A, Pasar Tanah Abang, Jakarta. Kepada Lagarde, mantan Wali Kota Solo itu ingin menunjukkan bahwa Indonesia kaya dengan sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Lagarde juga sempat diajak Presiden Jokowi ke rumah sakit. Di Rumah Sakit Pertamina Pusat (RSPP), Jokowi dan Lagarde pun sempat berbincang dengan pasien yang tengah dirawat. Kepada pasien, pria murah senyum itu menunjukkan Kartu Indonesia Sehat (KIS) sebagai bukti bahwa biaya pengobatan yang harus dibayar pasien ditanggung oleh pemerintah, alias gratis.
Blusukan ke pasar juga dilakukan Presiden Jokowi saat mengajak Presiden Korea Selatan Moon Jae-in pada Kamis, 9 November 2017. Presiden Moon diajak blusukan ke Bogor Trade Mall (BTM), Bogor yang sontak disambut masyarakat di pusat perbelanjaan tersebut. Gaya diplomasi lainnya ditunjukkan Jokowi saat bertemu Sultan Brunei Darrusalam Hassanal Bolkiah. Keduanya bermain bulutangkis di GOR Ahmad Yani, Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur pada Kamis, (3/5/2018). Pertandingan digelar dengan sistem ganda putra. RI-1 berpasangan dengan legenda bulutangkis Indonesia Alan Budikusuma. Sedangkan, Sultan Bolkiah berpasangan dengan Hendry Saputra. “Ada yang namanya soft diplomacy, dan memang saya tahu, Sultan Brunei punya hobi badminton, makanya saya ajak,” kata Jokowi. Ya, ia mengakui pertandingan bulutangkis antara dirinya dengan Sultan Bolkiah sebagai proses diplomasi antara Indonesia dan Brunei Darussalam. Menurutnya, diplomasi bulutangkis ini bertujuan agar setiap tamu negara yang hadir senang dan persahabatan kedua negara terus terjalin dengan baik.
Kisah Cinta Jokowi dan Kaum Santri
Naskah: Imam Fathurrohman Foto: Istimewa
Sesungguhnya, kisah ‘cinta’ Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan kaum santri sudah melegenda. Blusukan ke pondok-pondok pesantren untuk ‘ngalap’ berkah para kiai dan menyapa para santri mungkin baru ingar-bingar belakangan ini. Tapi nyatanya, cinta Jokowi pada kaum santri telah diembuskan sejak lama.
Alkisah, Jokowi pernah membatin soal bagaimana menyatakan cintanya kepada kaum santri. Lama dipendam, lelaki kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961 itu kemudian menyatakannya saat berkampanye di beberapa pesantren yang menjadi basis Nahdliyin. Suatu ketika, Jokowi yang masih menjadi calon presiden, tiba di Pesantren Babussalam. Kehadirannya untuk mengikuti haul pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH. Hasyim As’ayri dan Presiden ke-1 Sukarno. Di akhir acara itulah Jokowi akhirnya berkesempatan menyampaikan ‘cintanya’ dengan menandatangani surat pernyataan mendukung penetapan 1 Muharam sebagai Hari Santri Nasional (HSN). Peristiwa ini dibeberkan pengasuh Pondok Pesantren Babussalam Malang, Agus Thoriq Darwis bin Ziyad.
Sebenarnya, kata Thoriq, HSN sudah disuarakan sejak 2010. Thoriq membahas ide tersebut bersama sejumlah pondok pesantren dan ulama di wilayah tapal kuda Jawa Timur, yakni Pasuruan, Lumajang, Probolinggo, dan Jember. Keluarga mantan Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur pun dilibatkan. “Harapannya waktu itu Gus Dur bisa jadi tumpuan penetapan 1 Muharam sebagai hari santri. Namun, takdir berkata lain. Gus Dur wafat,” kata Thoriq. Selain keluarga Gus Dur dan sejumlah ulama sepuh di Jawa Timur, ide HSN juga didukung Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siroj. Dukungan kemudian datang dari beragam pihak, termasuk Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan. Cerita tak berhenti sampai di sini. Tak berapa lama setelah Jokowi didapuk secara konstitusional sebagai Presiden Republik Indonesia, Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Hidayat Nur Wahid mengusulkan agar Hari Santri Nasional digeser menjadi tanggal 22 Oktober. Pernyataannya dikemukakan sehari sebelum pelaksanaan HSN pada tahun tersebut.
“Jangan 1 Muharam sebagai Hari Santri,” kata Hidayat di kompleks DPR, Jumat (24/10/2014). Ia beralasan, 1 Muharram merupakan momentum tahun baru bagi umat Islam yang diperingati di seluruh dunia, baik oleh santri maupun tidak bukan santri. Tokoh Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini kemudian mengusulkan peringatan Hari Santri Nasional sebaiknya dikaitkan dengan warisan atau jasa santri. Ia mengusulkan agar HSN diperingati pada 22 Oktober, tanggal di mana Kiai Hasyim Asy’ari, pendiri NU, mengeluarkan fatwa resolusi jihad. Hidayat mengaku telah berkomunikasi dengan Ketua Umum PBNU Said Aqil Siroj dan menyetujuinya. Usulan ini lalu dibawa pada pertemuan sejumlah Ormas Islam. Pertemuan yang digelar di Hotel Salak, Bogor pada Rabu, 22 April 2015 lalu itu membahas penetapan Hari Santri Nasional. Sejumlah ormas Islam yang hadir mengirimkan perwakilannya, di antaranya Al-Irsyad, DDII, Persatuan Islam (Persis), Muhammadiyah, NU, dan juga MUI. Selain ormas ada juga sejarahwan dan pakar Islam, Azyumardi Azra. Hasilnya terlihat pada Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 22 Tahun 2015, di mana Presiden Jokowi menetapkan 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Santri, Penjaga Pancasila dan NKRI
Ahad malam, 21 Oktober 2018. Mengenakan sarung, baju muslim putih dilapisi jas hitam, dan peci hitam, Presiden Jokowi mengurai peran besar ulama dan santri dalam perjuangan bangsa Indonesia. “Sejarah mencatat peran besar para ulama dan santri pada masa kemerdekaan. Menjaga Pancasila, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, memandu ke jalan kebaikan dan kemajuan,” kata Jokowi di hadapan sekitar 10 ribu santri yang hadir di Lapangan Gasibu, Kota Bandung, Jawa Barat. Presiden menuturkan, Hari Santri merupakan penghormatan dan rasa terima kasih negara kepada para alim ulama, kiai, ajengan, dan para santri dan seluruh komponen bangsa yang mengikuti teladan alim ulama, ajengan, serta kiai. Ya, Indonesia tak bisa lepas dari ulama dan santri. Jokowi sadar sepenuhnya tentang ini.
Pada HSN tahun 2015, ia pernah mengatakan bahwa para ulama dan santri dalam menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki peran historis. Ia menyebut nama-nama seperti KH. Hasyim As’yari dari Nahdlatul Ulama, KH. Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah, A. Hassan dari Persis, Ahmad Soorhati dari Al-Irsyad, dan Mas Abdul Rahman dari Mathlaul Anwar serta mengingatkan pula tentang 17 namanama perwira Pembela Tanah Air (Peta) yang berasal dari kalangan santri. “Sejarah mencatat, para santri telah mewakafkan hidupnya untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia dan mewujudkan cita-cita kemerdekaan tersebut. Para santri melalui caranya masingmasing bergabung dengan seluruh elemen bangsa, melawan penjajah, menyusun kekuatan di daerah-daerah terpencil, mengatur strategi, dan mengajarkan kesadaran tentang arti kemerdekaan,” kata Jokowi di hadapan para santri, ulama, dan tokoh-tokoh agama yang hadir di Masjid Istiqlal Jakarta, Kamis (22/10/2015) silam.
Jokowi begitu yakin, penetapan HSN tidak akan menimbulkan sekat-sekat sosial atau memicu polarisasi antara santri dengan nonsantri. Justru sebaliknya, akan memperkuat semangat kebangsaan, mempertebal rasa cinta Tanah Air, memperkokoh integrasi bangsa, serta memperkuat tali persaudaraan. “Penetapan hari santri nasional dilakukan agar kita selalu ingat untuk meneladani semangat jihad ke-Indonesiaan para pendahulu kita, semangat kebangsaan, semangat cinta Tanah Air, semangat rela berkorban untuk bangsa dan negara,” ungkap pria berdarah Jawa tersebut.
Dengan mewarisi semangat itulah, terang Jokowi, para santri masa kini dan masa depan, baik yang di pesantren atau di luar pesantren dapat memperkuat jiwa religius keislaman sekaligus jiwa nasionalisme kebangsaan. Dengan mewarisi semangat itu, sambungnya, para santri juga akan ingat memperjuangkan kesejahteraan, memperjuangkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia dan meningkatkan ilmu pengetahuan/teknologi demi kemajuan bangsa. “Semangat ini adalah semangat menyatukan dalam keberagaman, semangat menjadi satu untuk Indonesia. Saya percaya dalam keragaman kita sebagai bangsa, baik keragaman suku, keragaman agama, maupun keragaman budaya melekat nilai-nilai untuk saling menghargai, saling menjaga toleransi, dan saling menguatkan tali persaudaraan antar anak bangsa,” katanya. Ya, Hari Santri memang harus didorong agar menjadi milik bersama. Menjadi milik semua orang Islam yang memang mempunyai rasa nasionalisme.
Santri menjadi kata kunci bagi siapapun yang mencintai Indonesia, memahami Islam, dan kemudian menyebarkannya secara damai di Indonesia. Islam yang kemudian menghargai tradisi dan budaya sehingga lahirlah Islam yang ramah. Atau dalam bahasa KH. Ma’ruf Amin, santri merupakan anak-anak bangsa yang memperjuangkan Islam yang tawassuth atau moderat dan tawazun yang berarti seimbang. Para santri berada dalam posisi I’tidal atau tengah-tengah. Dia moderasi, dia ada di tengah-tengah, tidak ada di ekstrem kanan atau ekstrem kiri.
Petuah Ibunda: Ikhlas, Jujur, dan Benar
“Le, sing ikhlas ya, sing jujur ya, kalau kerja itu yang bener”. Petuah ini paling sering didengar Joko Widodo dari Ibundanya, Sudjiatmi Notomihardjo, jauh sebelum dirinya menjadi ‘orang penting’ sebagai Wali Kota Surakarta, Gubernur DKI Jakarta, atau Presiden RI seperti saat ini.
Petuah lainnya yang kerap mampir di telinga Jokowi saat berkomunikasi melalui sambungan telepon adalah wejangan kepada sang anak untuk tidak lupa menunaikan shalat lima waktu dan tidak melupakan rakyat yang telah memilih dirinya. “Kalau diberi amanah sama Allah, dijalankan. Berikan yang terbaik kepada rakyat dengan ikhlas,” ujar Sudjiatmi. Bagi Jokowi, petuah atau wejangan Sudjiatmi adalah perintah yang tak boleh dibantah. Sang ibunda adalah ‘keramat’ bagi Jokowi yang akan selalu dijaga, diikuti nasihatnya, serta dimintai doa dan restunya. Jadi, tak heran kalau setiap pulang ke rumahnya di kawasan Sumber, Banjarsari, Surakarta untuk menemui Sudjiatmi, Jokowi kerap sungkem sebagai tanda bakti dan permohonan doa-restu.
Meski terlahir di lingkungan tradisi Jawa yang kuat. Namun, ajaran Islam melekat erat dalam diri Jokowi dan keluarga. Sang ayah Widjiatno Notomihardjo dan Sudjiatmi memiliki peran penting dalam hal ini. “Bapak dan Ibu saya itu dua-duanya haji. Keluarga saya sudah jelas. Orang juga sudah kenal semua. Kakek saya lurah dari Karanganyar. Kalau kakek dari Ibu adalah pedagang kecil,” terang Jokowi dalam sebuah kesempatan. Sujiatmi bahkan merupakan sosok muslimah taat. Selain berhijab, ia juga aktivis majelis taklim di kampungnya. Keislaman Sudjiatmi semakin terlihat saat ia begitu tenang menghadapi setiap fitnah yang tertuju pada Jokowi, dirinya, dan keluarganya. “Saya mendoakan yang memfitnah mendapatkan bimbingan Allah SWT karena yang dituduhkan tidak ada buktinya dan keluarga saya tidak ada yang terlibat. Bila terhadap yang dituduhkan kita tidak melakukan maka isyarat dukungan Tuhan adalah kita diberikan ketenangan, Alhamdulillah saya sangat tenang menghadapi semua ini,” tegas Sudjiatmi.
Jokowi, sesungguhnya beruntung berada di tengah keluarga yang selalu mendukungnya dalam setiap keadaan. Ibunya, menjadi pendukung terdepan dengan doa-doa yang selalu dipanjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala dalam sujud dan munajat di keheningan malam. ‘Wanti-wanti’ Sudjiatmi soal amanah dan shalat lima waktu menjadi perhatian sangat penting bagi Jokowi. Dua pesan tersebut sesungguhnya menyiratkan tugas mahamulia, yakni agar Jokowi mampu menunaikan tugasnya untuk mengabdi kepada bangsa sekaligus meraih ridha Allah subhanahu wa ta’ala. Dari sinilah niat ‘blusukan’ bermula. Jokowi ingin terlibat langsung dalam proses pembangunan sebagai bulatnya tekad menjalankan amanah tersebut.
“Untuk memastikan pembangunan berjalan, saya selalu turun tangan ke bawah. Saya tidak mau hanya menerima laporan ABS (Asal Bapak Senang),” tulis Jokowi dalam salah satu kicauannya di akun twitter, @jokowi. Dalam konteks silaturrahim, ‘blusukan’ juga sering dilakukan Jokowi dengan menemui para ulama. Kepada para ulama inilah Jokowi kerap bertanya, meminta nasihat, dan memohon doa agar setiap aktivitasnya mengabdi pada bangsa dan negara beroleh ridha Allah. “Di sini lah saya kira peran kunci para ulama dalam menjaga momentum dan optimisme umat dalam perdamaian. Ulama adalah agen perdamaian, ulama didengar, ulama dituruti, ulama diteladani oleh umat, ulama memiliki kharisma, ulama memiliki otoritas, ulama memiliki kekuatan untuk membentuk wajah umat yang damai,” Jokowi mengungkapkan.
Ia menyerukan kepada seluruh pihak agar meluruskan niat semata hanya untuk meraih ridha Ilahi. Dengan niat ikhlas dan tulus, Jokowi yakin bahwa tugas berat dan mulia ini akan dapat dilalui bersama. “Tidak dapat dimungkiri, ini adalah tugas berat, sekaligus tugas yang mulia bagi para ulama. Untuk itulah saya kembali menyerukan, mari kita niatkan pertemuan ini semata hanya untuk meraih ridha Allah dengan menabur benih-benih perdamaian dan menghindari kekerasan di antara hambahamba-Nya,” tuturnya.
Mengabdi Untuk Bangsa
Gubernur Nusa Tenggara Barat (2008/2013 & 2013/2018), M. Zainul Majdi atau Tuan Guru Bajang (TGB) yang mengawal Jokowi menemui para pengungsi korban gempa bumi Lombok memiliki cerita betapa Jokowi selalu ingat pada waktu shalat. Senin, 13 Agustus 2018. Hampir seharian, Jokowi dan TGB melakukan kunjungan ke beberapa titik lokasi pengungsian di Lombok. Ketika matahari telah terbenam dan waktu sudah masuk Maghrib, TGB dan Jokowi menyempatkan untuk shalat terlebih dahulu. RI-1 tak sungkan untuk menjalani shalat Maghrib di mushalla darurat dengan tempat wudhu yang dibuat darurat. Penampungan air wudhu adalah drum besar.
Dalam keterangan yang ditulis TGB di akun instagramnya, air di mushalla darurat tersebut juga minim dan kondisi mushallanya tidak layak. Namun, Jokowi bersikeras ingin shalat di sana. “Di tengah jalan, mampir ke tempat pengungsi di tengah lapangan. Datanglah waktu Maghrib, Beliau ajak kami shalat. Ajudan ingatkan, mushalla tidak layak dan air minim untuk wudhu, Beliau tetap berkeras. Jadilah, kami shalat di situ. . .” Awalnya, Jokowi mempersilahkan TGB untuk menjadi Imam Sholat Magrib. Namun, TGB menghormati Jokowi dan mempersilakannya untuk menjadi Imam Shalat Maghrib. TGB juga membeberkan surat pendek yang dibaca Jokowi saat menjadi imam Shalat Maghrib.
“Ternyata bacaan Beliau sangat terang. Rakaat pertama membaca Surah Al-Humazah dan rakaat kedua membaca Surah Quraish. Habis shalat, zikir ditutup doa Beliau: Allohumma innaka ‘afuwwun kariim tuhibbul ‘afwa fa’fu ‘anna. Lalu doa Ashabul Kahfi, Rabbana aatinaa min ladunka...dan ditutup dengan doa sapujagat. Terakhir mushafahah dengan jemaah," TGB mengisahkan pengalamannya dengan Jokowi. Ketaatan Jokowi menjalankan ibadah shalat juga terekam dalam cerita Calon Wakil Presiden nomor urut 01 KH. Ma’ruf Amin. Dalam sebuah kesempatan, Kiai Ma’ruf mengaku pernah kalah oleh Presiden Jokowi soal urusan ibadah shalat.
Begini ceritanya: “Sekali waktu saya bertamu ke Pak Jokowi. Saat tiba, ternyata Pak Jokowi tidak ada. Ternyata beliau sedang shalat, padahal saya belum shalat. Ternyata Pak Jokowi selalu shalat awal waktu. Jadi, saya kalah dari Pak Jokowi dalam urusan shalat,” ujar Kiai Ma’ruf saat menghadiri acara konsolidasi calon legislatif (caleg), relawan, dan kader Partai Golongan Karya (Golkar) di Gedung Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Golkar Kabupaten Serang, seperti dikutip dalam keterangan tertulisnya, Senin (1/10/2018). Kiai Ma’ruf menuturkan, selain taat beribadah, Presiden Jokowi juga telah membuktikan komitmennya dalam menyelesaikan masalah keumatan, dengan menandatangani sejumlah kebijakan pro kepada rakyat. “Pak Jokowi juga sangat menghormati ulama dan mencintai santri,” ujarnya. Menurut Kiai Ma’ruf, penetapan Hari Santri Nasional di era pemerintahan Presiden Jokowi bukan sekadar pengakuan negara terhadap peran santri, melainkan juga harapan dan komitmen negara untuk meningkatkan peran santri di masyarakat.
Kecintaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), mengabdi pada bangsa dan negara, menunaikan amanah, mencintai ulama dan santri, membangun dan memelihara toleransi, hingga urusan shalat yang merupakan kewajiban personal seorang muslim, diakui Jokowi telah dipelajarinya sejak kecil. Begitupun dengan ketekunan, jujur, dan tulus yang dipelajarinya sejak kecil dari orangtuanya. “Dari perjuangan orangtua, saya belajar ketekunan. Kesetiaan pada janji kerja keras dan kepercayaan bahwa bila segala sesuatu dijalankan dengan jujur, tulus, dan bersih, ridha Allah niscaya ada. Keteguhan wong cilik untuk berlaku, bertahan, dan bekerja dalam kejujuran sikap adalah teladan yang membesarkan saya sejak kecil,” tandasnya.
Merajut Damai di Negeri Bhineka Tunggal Ika
Naskah: Imam Fathurrohman Foto: Istimewa
Duta Besar Inggris untuk Indonesia Moazzam Malik mengaku kagum dengan masyarakat Indonesia. Empat tahun bertugas di Indonesia, Moazzam menilai banyak mendapat inspirasi dalam kehidupan keagamaan.
Ada nilai lebih, kata Moazzam, yang didapat di Indonesia sepanjang pengalamannya sebagai duta besar. Sebelum di Nusantara, Moazzam pernah bertugas di Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Timur. Dia berpengalaman di banyak negara muslim dunia, termasuk pengalaman keterlibatannya dalam kegiatan Muslim di negaranya, Inggris. “Dibanding seluruhnya, Indonesia lebih berhasil untuk menjaga toleransi, pluralisme, dan kebersamaan antara kelompok-kelompok agama,” terang Moazzam Malik saat berbicara pada Semiloka Pengayaan Wacana Agama dan Keberagamaan “Rukun, Ragam, Sepadan”, di Bandung pada Rabu, 28 November 2018. Sebelumnya, apresiasi tinggi atas keragaman di Indonesia juga dituturkan pemimpin Arab Saudi, Raja Salman bin Abdulaziz Al-Saud saat berkunjung ke Jakarta dalam jamuan minum teh bersama dengan Presiden Joko Widodo dan beberapa tokoh agama Indonesia, Jumat (3/3/2017).
Saat itu ada sembilan tokoh Islam, empat tokoh Kristen Protestan, empat tokoh Katolik, empat tokoh Buddha, empat tokoh Hindu, dan tiga tokoh Konghucu yang hadir dalam pertemuan tersebut. Raja Salman mengungkapkan kekagumannya pada berbagai agama dan keyakinan yang bisa hidup berdampingan dengan damai di Indonesia. Hal itu diungkapkan Kepala Biro Pers, Media, dan Informasi Istana Bey Machmudin usai pertemuan dengan tokoh lintas agama. “Tadi Raja Salman memberikan sambutan sebentar di awal. Ia mengungkapkan kekagumannya tentang berbagai agama dan keyakinan yang bisa hidup damai berdampingan di Indonesia,” katanya kepada awak media.
Pernyataan Moazzam Malik dan Raja Salman itu tentu bukan sembarang statement. Ada ukuran dan perbandingan yang disampaikan sehingga objektif. Kekaguman yang didasarkan pada fakta sebuah negeri dengan 17.000 pulau, 516 kabupaten dan kota, 34 provinsi, serta memiliki lebih dari 700 suku dan 1.100 lebih bahasa lokal. Ya, sejak dahulu masyarakat Indonesia dikenal paling pintar menjunjung tinggi toleransi dan pluralisme agama. Negeri ini memiliki sejarah sosial panjang dan sudah “tahan banting”, menghadapi berbagai serbuan kelompok intoleran agama yang sudah ada sejak beberapa abad silam.
Masyarakat Indonesia juga sudah terbiasa hidup dalam kemajemukan (agama, etnis, bahasa, dan seterusnya), dan karena itulah motto negara ini adalah Bhinneka Tunggal Ika. Meskipun ada sejumlah orang karena motivasi ideologi atau doktrin agama tertentu misalnya atau terpengaruh oleh jenis keislaman tertentu. Kemudian, berubah menjadi intoleran, sebagian besar masyarakat di Indonesia masih merawat tradisi toleransi agama. Lihatlah kehidupan di desa-desa dan berbagai daerah di luar Jakarta, bagaimana masyarakat berbagai kelompok agama hidup membaur, tetapi tetap memelihara, menjaga, dan mempertahankan keunikan serta menghormati keragaman masing-masing sebagai warisan leluhur dan nenek moyang mereka. Kondisi ini tentu sangat mendukung kinerja pemerintah dalam merajut damai di tengah-tengah masyarakat.
Indonesia Rumah Semua Agama
Penegasan Indonesia ramah pada semua pemeluk agama telah didengungkan jauhjauh hari. Di era pemerintahan saat ini, Presiden Joko Widodo bahkan menyebut Indonesia sebagai rumah bagi semua agama. Jokowi meyakini agama merupakan pendorong demokrasi di Indonesia, bukan penghalang terjalinnya toleransi. Para pemeluk agama di Indonesia sejak dahulu berperan penting dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik. Tak heran jika nilai-nilai perdamaian tetap dipegang teguh seluruh umat beragama di negeri ini.
“Nilai mengenai perdamaian sampai saat ini terus dipegang umat Islam Indonesia. Selain Islam, Indonesia adalah rumah bagi umat Kristiani, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kongfucian,” kata Jokowi saat membuka Bali Democracy Forum pada 8 Desember 2016. Menyinggung Islam, Jokowi menyadari bahwa mayoritas penduduk Indonesia atau sekitar 85 persen merupakan umat Muslim. Namun, ia juga meyakini, Islam di Indonesia tetap mengedepankan perdamaian sebab ajaran Islam masuk Indonesia dengan cara damai. Mantan Wali Kota Surakarta ini menilai, perilaku untuk menjaga perdamaian terlihat jelas di masyarakat.
Menurutnya, masyarakat dapat merasakan dan menyadari toleransi dan sinergi terjalin di antara mereka terutama yang berbeda keyakinan. Ia mencontohkan, Pondok Pesantren Bali Bina Insani di Tabanan. Meski mayoritas masyarakat Bali merupakan umat Hindu. Namun, keberadaan pondok pesantren tersebut dilindungi masyarakat sekitarnya. “Jadi, bagaimana mungkin sebuah pondok pesantren dapat hidup aman dan nyaman di tengah masyarakat yang mayoritas penduduknya penganut agama Hindu? Ini semua telah mendorong sinergi antara agama, toleransi, dan demokrasi di Indonesia,” kata mantan Gubernur DKI Jakarta ini.
Contoh lain dikemukakan Jokowi. Ia menyebut, Aksi Bela Islam (ABI) 212 pada 2 Desember 2016 sebagai momen yang luar biasa. ABI 212 merupakan aksi lanjutan mengenai dugaan penistaan agama oleh Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama. Namun menurutnya, aksi tersebut berbeda dengan dua aksi sebelumnya. Massa peserta ABI 212 tak lagi berteriak-teriak menyampaikan tuntutannya. Sekitar 7 juta lebih massa itu berdoa dan melantunkan shalawat di halaman Monumen Nasional (Monas). Jokowi pun tak ragu turun langsung menemui dan bergabung dengan peserta aksi untuk berdoa dan bershalawat. Ia mengaku terkesan dengan momen tersebut sehingga ia pun berterima kasih karena aksi dilakukan dengan super damai. Terlebih lagi, selain damai, dan tertib, peserta aksi juga dengan disiplin merapikan dan membersihkan halaman Monas sehingga kembali bersih seperti semula.
Dua hal itu membuat Jokowi meminta peran aktif seluruh lapisan masyarakat untuk memastikan demokrasi dan toleransi tetap terjalin di tengah kemajemukan. Ia menekankan, hal itu mendukung stabilitas, perdamaian yang akan menyejahterakan rakyat. Pemerintah tak tinggal diam. Jokowi menuturkan, setiap kebijakan nasional pemerintah akan mendukung situasi kondusif kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mendorong sinergi agama, toleransi, dan demokrasi. “Pendekatan top-down berupa peran aktif pemerintah menjadi kunci, melalui good governance dan supremasi hukum yang sama pentingnya dengan penguatan demokrasi dari akar rumput,” Jokowi menuturkan.
Terobosan Demi Jaminan Kebebasan Beragama
Saat ini, kepemimpinan Joko Widodo di Tanah Air berusia empat tahun. Selama itu pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla dinilai telah berhasil melakukan terobosan-terobosan untuk menjamin Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB). Ada sejumlah produk terobosan yang menyokongnya, di antaranya Presiden telah mengeluarkan Perpres tentang Harlah Pancasila 1 Juni, pembentukan BPIP (Badan Pembina Ideologi Pancasila), Perppu ormas, Perpres pendidikan karakter, serta berinisiasi untuk merevisi UU Terorisme yang tujuannya mempromosikan toleransi dan menindak tegas tindakan ujaran kebencian. Kebijakan yang ditujukan untuk menjamin KBB di tengah masyarakat tersebut cukup berhasil. Hal itu dapat dilihat dari tren tindakan kekerasan di Indonesia yang menurun dan ada peningkatan pola perbuatan baik (best practices) selama 2017 berdasarkan laporan Wahid Foundation.
Dalam riset itu ditunjukkan tindakantindakan kekerasan didominasi oleh aktor non-negara, terutama ormas dan institusi di daerah, seperti polres dan pemda. Tren kekerasan pada 2017 cenderung terjadi di DKI dan Jawa Barat. Sementara, pemerintah pusat telah menunjukkan sikap tegas berupa zero tolerance terhadap intoleransi dan melakukan upaya-upaya terukur untuk menindaknya. Di sisi lain, keterlibatan parlemen yang turut aktif memperjuangkan hak KBB melalui inisiatif Kaukus Pancasila sejak 2008 juga patut diacungi jempol. Selain itu, DPR juga terus melakukan mediasi dan lobi-lobi untuk penanganan dan pencegahan kasus kekerasan KKB. Kaukus Pancasila terus melakukan kampanye membangun toleransi, khususnya di kalangan guru dengan bekerja sama dengan BPIP, MPR, dan lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan pada 2017.
Di luar itu semua, Presiden Jokowi rupanya memiliki jurus dalam menjaga toleransi dan perdamaian di Tanah Air, yakni mengajak semua komponen bangsa untuk turut terlibat aktif di dalamnya. Menurutnya, dalam dinamika kehidupan bermasyarakat, Indonesia juga pasti sesekali mengalami sedikit gesekan. Namun, gesekan kecil itu segera diselesaikan sehingga menjadi pembelajaran yang mendewasakan masyarakat. “Jadi, kalau kita ini ada gesekangesekan kecil ya wajar, tapi segera selesaikan. Jangan sampai dibawa berbulan-bulan, persoalan yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan cepat,” kata Presiden Jokowi saat bertemu dengan tokoh lintas agama yang tergabung dalam Asosiasi Forum Kerukunan Umat Beragama Indonesia di Istana Kepresidenan Bogor, Selasa (23/5/2017). Presiden menegaskan, kerukunan dan stabilitas memang diperlukan untuk membangun negara, apalagi pada era kompetisi global seperti sekarang persatuan dan soliditas bangsa Indonesia akan diuji dalam kancah persaingan dunia.
“Menurut saya, ada sebuah etos kerja kedisiplinan nasional yang memang harus kita bangun mulai sekarang ini dalam rangka kompetisi dengan negara-negara lain. Sekali lagi, jangan habiskan pikiran kita untuk hal-hal yang menyebabkan iri, dengki, saling hujat, menjelekkan, dan menyalahkan,” jelasnya. Oleh karenanya, Jokowi mengajak seluruh pihak, terutama para tokoh dan pemuka di daerah untuk bersama-sama mewujudkan kerukunan nasional. “Saya titip agar kalau ada percikan sekecil apa pun untuk segera diselesaikan. Jangan tunggu esok hari, selesaikan pada saat api itu masih sangat kecil. Segera padamkan. Ingatkan kepada yang akan bergesekan, kita ini bersaudara. Bahwa kita ini berbeda-beda iya, tapi kita tetap saudara sebangsa dan seTanah Air,” tandas Jokowi.
Perkuat Ekonomi Umat Dengan Ekonomi Syariah
Naskah: Imam Fathurrohman Foto: Istimewa
Pidato KH. Ma’ruf Amin di Universitas Islam Negeri Malik Ibrahim Malang, Jawa Timur pada Mei 2017, rupanya membuai Presiden Joko Widodo (Jokowi). Kiai Ma’ruf yang dikukuhkan sebagai Guru Besar Ilmu Ekonomi Muamalat Syariah berpidato soal konsep ekonomi syariah.
Dalam ceramahnya Kiai Ma’ruf antara lain mengatakan bahwa ekonomi syariah dapat menjadi pilihan alternatif untuk masyarakat Muslim kelas menengah karena bisa menjawab kebutuhan berekspresi dan berekonomi, dan juga dapat menjawab sisi kebutuhan spiritual. Gagasan ekonomi umat dari Kiai Ma'ruf kembali hangat diperbincangkan menyusul terpilihnya dia sebagai cawapres Jokowi dalam pemilihan presiden 2019. Jokowi menilai pendampingnya itu sosok yang punya pengetahuan luas di bidang ekonomi. Bersama Kiai Maruf, Jokowi berjanji akan memperkuat ekonomi umat. “Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, kita harus mengatasi masalah kemiskinan kesenjangan dengan memperkuat ekonomi umat,” kata Jokowi dalam pidatonya di Gedung Joang 45, Jakarta Pusat pada Jumat, 10 Agustus 2018.
Senada dengan Jokowi, menurut Kiai Ma’ruf jumlah kelas menengah muslim kini makin meningkat. Dia mengatakan secara ekonomi, kelas ini telah terpenuhi kebutuhan pokoknya tapi mereka terus mencari sarana untuk mengekspresikan kebutuhan spiritualnya. “Ekonomi syariah yang bersumber dari ajaran Islam dapat membawa lebih banyak keadilan ekonomi bagi masyarakat,” jelasnya. Memperkuat ekonomi umat, tampaknya menjadi cita-cita Presiden Jokowi. Dan, citacita itu segera diwujudkannya saat Presiden Jokowi meluncurkan Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) di Istana Negara Jakarta pada Kamis, 27 Juli 2017. Peluncuran itu sekaligus meresmikan pembukaan Silaturahmi Kerja Nasional (SILAKNAS) Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI).
KNKS dibentuk pemerintah melalui Peraturan Presiden Nomor 91 Tahun 2016. Hal ini merupakan wujud komitmen pemerintah untuk mengembangkan potensi dan menjawab tantangan keuangan dan ekonomi syariah di Indonesia. Presiden Joko Widodo memimpin langsung KNKS ini dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menjadi wakilnya. Dewan Pengarah diisi oleh Menko Perekonomian Darmin Nasution, Menteri PPN/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin. Selain itu juga ada, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Koperasi dan UKM AA Gede Ngurah Puspayoga, Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso, Gubernur BI Agus Martowardojo, Ketua LPS Halim Alamsyah dan Ketua MUI KH.
Ma’ruf Amin. KNKS mendapat amanat untuk mempercepat, memperluas, dan memajukan pengembangan keuangan syariah dalam rangka mendukung pembangunan. KNKS berperan pula untuk menyamakan persepsi dan mewujudkan sinergi antara para regulator, pemerintah, dan industri keuangan syariah untuk menciptakan sistem keuangan syariah yang selaras dan progresif untuk pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Mimpi yang Jadi Nyata
Mimpi umat Islam dalam memperjuangkan ekonomi syariah di Indonesia, menjadi kenyataan. Hadirnya peran pemerintah dalam mengembangkan ekonomi syariah sudah lama ditunggu umat Islam. Perkembangan ekonomi syariah yang selama ini hanya berkutat pada share market 5 persen saja dinilai tidak sebanding dengan jumlah 225 juta penduduk Indonesia yang mayoritas adalah Muslim. Adanya KNKS, umat memiliki harapan kepada pemerintah untuk mendapatkan dukungan secara total. Pemerintah kini tak lagi alergi dengan kata dan istilah “syariah” dalam ekonomi. Apalagi negara-negara sekuler seperti Inggris, Prancis dan negara Eropa saja sudah mengembangkan lebih jauh dengan nama “Islamic Finance”. Negara-negara tersebut kini memperoleh manfaat yang sangat besar sebagai dampak pengembangan ekonomi tersebut.
Soal ini, Presiden Jokowi juga pernah menyatakan bahwa potensi pembangunan bisnis syariah di Indonesia sangat besar. Bukan hanya di bidang perbankan, melainkan juga di sektor asuransi, pariwisata, maupun kuliner. Ekonomi syariah di Indonesia, menurutnya, harus dapat berkembang lebih besar dan cepat. Apalagi, Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbanyak di dunia. Concern Presiden Jokowi terhadap ekonomi syariah nampak saat KNKS benar-benar menyiapkan langkah-langkah strategisnya. “Kami sangat serius menggarap potensi ini. Saya melihat angka-angkanya menunjukkan peningkatan,” kata Jokowi.
Jokowi menjelaskan, aset perbankan syariah terus meningkat pada tahun lalu, yaitu tercatat Rp435 triliun atau 5,8 persen dari total aset perbankan Indonesia. Selain itu, angka pemanfaatan pasar modal syariah juga diklaim membaik. “Indonesia adalah penerbit terbesar international sovereign sukuk, 19 persen pangsa pasar Indonesia dari seluruh sukuk yang diterbitkan berbagai negara lain,” ujarnya. Dalam ekonomi syariah, Jokowi meminta agar Indonesia tidak hanya menjadi target pasar. Dalam data yang diterimanya, 41,8 persen pembiayaan syariah sebagian besar digunakan untuk konsumsi. Sedangkan, untuk modal kerja dan investasi masingmasing baru mencapai 34,3 persen dan 23,2 persen. Padahal, kata Jokowi, ada banyak potensi yang bisa dikembangkan, misalnya dari industri fashion busana muslim, industri makanan halal, farmasi, dan pariwisata, sehingga Indonesia sudah seharusnya menjadi penggerak utama ekonomi syariah dunia.
Jokowi menegaskan, Indonesia memiliki tingkat konsumsi makanan halal terbesar di dunia. Indonesia juga masuk ke dalam 5 besar negara dengan konsumsi produk obatobatan dan kosmetik halal terbesar di dunia. Dalam konsumsi busana muslim, Indonesia merupakan pasar terbesar kelima di dunia. Sedangkan dalam ekonomi pariwisata, Indonesia menduduki peringkat keempat dengan jumlah kunjungan turis terbanyak dari anggota OKI. Karena itu, Jokowi menilai potensi sektor pariwisata masih sangat menjanjikan. “Pengeluaran wisatawan muslim 2016 mencapai USD169 miliar atau 11,8 persen dari pengeluaran wisata global,” ucapnya. Keseriusan Jokowi dinilai banyak pihak sebagai bukti keberpihakannya kepada umat Islam. Maka tak heran jika pilihan sosok cawapres Jokowi jatuh kepada Kiai Ma’ruf yang diharapkannya dapat membantu memperkuat ekonomi Islam selama jalannya pemerintahan nanti.
Kiai Ma’ruf tentu bukan sosok asing di sektor keuangan dan ekonomi Syariah. Menjabat sebagai ketua MUI, Kiai Ma’ruf juga menjabat sebagai Ketua Badan Pelaksana Harian Dewan Syariah Nasional. Di sisi akademik, dia merupakan profesor atau guru besar bidang Ilmu Ekonomi Muamalat Syariah di Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. Pada 2012, Ma’ruf pernah menerima gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa) dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah. Harapan Jokowi memperkuat ekonomi syariah sejalan dengan ide-ide Kiai Ma’ruf. Tak lama setelah dipilih Jokowi untuk mendampinginya di Pileg 2019, Kiai Ma’ruf mengaku jika nanti diberi amanah rakyat untuk memimpin Indonesia akan mengutamakan program ekonomi keumatan. Kiai Ma’ruf berkeinginan agar Indonesia tidak melulu mengandalkan impor dalam memenuhi kebutuhan rakyat di dalam negeri. Melainkan, memanfaatkan seluruh kekayaan alam yang dimiliki negara untuk kemakmuran rakyat.
Pesantren Basis Ekonomi Umat
Salah satu implementasi ekonomi keumatan yang diusung pemerintah adalah dengan menjadikan pondok pesantren sebagai basis ekonomi umat. Setidaknya, di era Presiden Jokowi, telah ada 41 Bank Wakaf Mikro (BWM) di sejumlah pondok pesantren di Tanah Air. Teranyar, Jokowi meresmikan tiga BWM di tiga pondok pesantren di Jawa Timur, yakni Pondok Pesantren Mamba’ul Ma’arif Denanyar, Bahrul Ulum Tambakberas, dan Tebuireng. Ketiga bank tersebut akan menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat di sekitar lingkungan pondok pesantren. Pendirian sejumlah BWM tersebut, ditegaskan Jokowi, bertujuan untuk mengembangkan ekonomi umat dengan cara memperluas penyediaan akses keuangan bagi para pelaku usaha mikro dan kecil yang belum dapat menjangkau fasilitas perbankan. “Bank-bank biasa pasti meminta agunan, jaminan, administrasi. Betul enggak? Sehingga yang kecil-kecil ini sulit mengakses perbankan. Oleh sebab itu dibangun yang namanya Bank Wakaf Mikro,” ujarnya seperti dilansir Muslim Obsession, Rabu (19/12/2018).
BWM ini secara khusus menyasar kepada para santri maupun masyarakat yang berada di sekitar lingkungan pondok pesantren untuk dapat memulai atau mengembangkan usaha kecilnya. Pemerintah berencana untuk mendirikan lebih banyak lagi BWM di pondok-pondok pesantren yang ada di seluruh Indonesia. “Akan kita evaluasi, akan kita lihat, kita koreksi sudah betul atau belum? Ini nanti kita lihat setiap tahunnya sehingga kalau sudah benar baru dikembangkan di pondok-pondok pesantren yang ada di seluruh Tanah Air,” tegas Jokowi. Mengutip siaran pers Otoritas Jasa Keuangan tanggal 18 Desember 2018, sejak Oktober 2017 hingga November 2018 ini BWM sudah menyalurkan pembiayaan kepada 8.373 orang nasabah dengan jumlah pembiayaan mencapai Rp9,72 miliar.
Jokowi mengisahkan, dirinya pernah bertemu dengan ibu rumah tangga yang mampu mengembangkan usahanya melalui pembiayaan BWM yang ada di Banten. Ibu yang ditemuinya itu mampu melakukan diversifikasi produk setelah menjadi nasabah BWM. “Yang saya lihat, misalnya di Banten, Ibu dulu jualan apa? Pak, saya jualan gorengan. Terus sekarang dapat Rp2 juta dipakai untuk apa? Ya sekarang bisa tambah tidak hanya jualan gorengan, saya tambah jualan nasi uduk. Ini yang benar. Dulu jualan hanya gorengan, setelah dapat usahanya menjadi besar plus nasi uduk,” tutur Jokowi.
BWM sendiri menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat dengan nilai maksimal sebesar Rp3 juta dengan tanpa agunan dan margin bagi hasil setara tiga persen. Tak cuma itu, Pengelola BWM juga menyediakan pelatihan dan pendampingan kelompok bagi para nasabah untuk menjalankan usahanya. “Bank Wakaf Mikro itu hanya terkena biaya administrasi sangat kecil, hanya tiga persen per tahun. Biaya administrasi untuk apa? Yang bekerja di Bank Wakaf kan perlu gaji, listriknya juga perlu bayar. Itu yang dibayar, bukan bunga. Itu beban administrasi yang memang harus ditanggung oleh bank itu agar bisa menjalankan operasinya,” tandas Presiden.
Jokowi dan Isu Tentang Dirinya: Politik Tak Beradab Harus Dihentikan
Naskah: Sahrudi Foto: Istimewa
Isu dan hoaks yang menyerang Jokowi menjelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019, memang luar biasa. Misalnya, isu bergabungnya dengan Partai Komunis Indonesia (PKI). Presiden bukan tidak tahu tentang itu karena ia setiap hari selalu mendapatkan informasi tentang isu miring tersebut.
Selama empat tahun lebih menjabat sebagai Presiden RI, Jokowi hanya diam dan tak pernah menggubris isu tersebut. Namun, kali ini sepertinya suami dari Iriana ini tidak bisa tinggal diam. “Cara politik yang tidak beretika dan beradab harus dihentikan. Tidak bisa negara berjalan seperti itu. Kita berbeda-beda, kalau dirusak dengan tidak bertata krama akan saya kejar, ini merusak demokrasi,” katanya usai melantik Tim Kampanye Daerah (TKD) Sumatera Selatan. Kalau menilik isu tersebut memang tidak masuk akal. Bayangkan saja, Jokowi lahir pada 1961. Sementara PKI dibubarkan oleh pemerintah pada 1965. Artinya, pada saat PKI dibubarkan oleh pemerintah, Jokowi baru berumur 4 tahun. “Kok bisa jadi aktivis PKI itu dari mana, enggak ada aktivis PKI balita itu, enggak ada. Tetapi, di dalam media sosial banyak sekali gambar-gambar seperti ini,” kata Jokowi. Ia menunjukkan gambar saat Ketua PKI DN Aidit berpidato di suatu panggung. Di dalam foto yang sudah diedit itu, Jokowi berada di dekat DN Aidit.
“Saya cek ini pidato tahun berapa sih? Tahun 55. Saya lahir saja belum, kok sudah ada di dekatnya ini,” kata Jokowi. Namun, mantan Gubernur DKI Jakarta ini heran, masih banyak masyarakat yang memercayai isu bahwa dirinya adalah kader atau simpatisan PKI. Ada lagi isu yang beredar bahwa latar belakang keluarga Jokowi berasal dari Singapura keturunan Tiongkok. “Padahal ibu saya orang desa dari Boyolali,” kata Jokowi saat memberikan pengarahan dalam TKD Koalisi Indonesia Kerja Provinsi Banten di gedung ICE BSD, Tangerang, kemarin.
Hoaks lain yang menyerangnya juga adalah banyaknya Tenaga Kerja Asing (TKA) asal negara Tiongkok yang sering disebut dengan Antek Asing seolah sengaja dibiarkan datang dengan jumlah yang sangat banyak. Tentu saja orang nomor satu di Indonesia ini langsung menepis. Jokowi menunjukkan grafik perbandingan jumlah TKA dengan jumlah penduduk di enam negara. Di Uni Emirat Arab, serapan TKA mencapai 80,2 persen, Arab Saudi di angka 33,78 persen, Brunei Darussalam sebesar 32,45 persen, Singapore mencapai 24,38 persen, Malaysia sebanyak 5,44 persen, dan Indonesia hanya 0,03 persen.
Hoaks yang Terbantahkan
Sejak menjelang pemilihan Presiden tahun 2014 dan setelah Jokowi terpilih sebagai Presiden RI, isu dan hoaks sudah berseliweran menyerangnya. Yang diserang tak hanya Jokowi, tapi juga lembaga di Kabinet Kerja. Seperti biasa, dengan gayanya yang santai, Jokowi menjawab isu tersebut. Pasalnya isu adalah kabar tanpa fatwa maka dengan sendirinya tak ada dasar yang kuat untuk memercayai sebuah isu. Isu atau hoaks yang kemudian terbantahkan sendiri adalah sebagai berikut:
- Isu bahwa Jokowi keturunan China Kristen Singapura (Oey Hong Liong) dan bernama Herbertus (April 2014). Padahal Jawa Muslim.
- Ibunda Jokowi beragama Kristen (Mei 2014). Padahal Muslimah dan seorang hajjah.
- Akte nikah Jokowi yang di-publish di Internet dituduh editan/palsu dengan analisis ELA. (Mei 2014). Padahal yang membuat algoritma ELA pun tidak bisa menyimpulkan demikian.
- Jokowi akan mengangkat menteri agama dari Syiah (Mei 2014). Padahal yang diangkat dari NU.
- Beredar surat jawaban Jokowi untuk menangguhkan pemeriksaan kasus bus Trans-Jakarta kepada kejaksaan (Juni 2014). Terbukti itu palsu.
- Soal orangtua Jokowi disebut tidak jelas (Juli 2014). Padahal jelas sekali siapa ayah dan bundanya. Ayahanda Joko Widodo bernama Widjiatno Notomihardjo dan ibunya bernama Sudjiatmi.
- Disebarkannya informasi kalau Jokowi dan istrinya punya 20 rekening di HSBC Hongkong. Fitnah bin hoaks dan rekeningnya palsu.
- Isu Jokowi keturunan atau berafiliasi ke PKI (Juli 2014). Fitnah.
- Isu bahwa Jokowi tidak paham tata cara umrah, pakai kain ihram terbalik (Juli 2014). Padahal terbalik ketika belum thawaf, ketika thawaf sudah dibetulkan.
- Isu bahwa Kementrian Agama dihapus Jokowi (Sept 2014). Hoaks.
- Jokowi dan Ibundanya dituding berbeda usia 11 tahun, bahkan sampai ada petisi minta tes DNA (Des 2014). Padahal Jokowi lahir 21 Juni 1961. Sedangkan, ibunya Sujiatmi lahir 15 Februari 1943. Itu bukan 11 tahun, tapi 18 tahun lebih. Sangat wajar.
- Isu Kementerian BUMN melarang pegawai jilbab (Des 2014). Hoaks, tidak ada instruksi demikian dari Menteri BUMN.
- Isu Menteri Pendidikan melarang siswa membaca doa di sekolah (Des 2014). Hoaks.
- Tuduhan Menteri Susi hanya berani menenggelamkan kapal rongsokan karena butuh pencitraan (Des 2014). Fitnah karena kebijakan luas penenggelaman kapal illegal fishing ini tidak pandang bulu dan terbukti drastis mengurangi pencurian ikan di Indonesia.
- Tudingan “Settingan” foto Suku Anak Dalam di Jambi (Okt 2015). Terbukti bukan settingan.
- Isu Jokowi bertemu Obama dengan membayar broker Singapura Derwin Pereira USD80.000 (Okt 2015). Hoaks, pemerintah tidak membayar siapapun untuk bertemu Obama karena dasarnya adalah undangan dari Obama.
- Isu Kepulauan Natuna dicaplok China. Pemerintah diam saja. Padahal klaim China sebatas perairan yang masuk ZEE Indonesia, bukan kepulauannya. Dan pemerintah tidak diam saja, mereka aktif membela kedaulatan negeri ini (Nov 2015).
- Jokowi dituduh meminta helikopter operasional baru (Nov 2015). Padahal TNI menyebutkan bahwa itu adalah kebijakan TNI AU untuk meremajakan armadanya, termasuk helikopter VVIP yang biasa digunakan oleh Presiden, Wapres dan tamu VVIP lainnya, bukan atas permintaan Presiden.
Allah Menakdirkan Jokowi, Bukan Prabowo Subianto
Naskah: Usamah Hisyam (Wartawan Senior/Founder Obsession Media Group) Foto: Istimewa
Seperti menjelang Pilpres 2014, menyongsong Pilpres 2019 brondongan isu yang ditembakkan lawan politik Jokowi hampir sama: mempertanyakan keislaman dan fitnah bahwa Jokowi PKI. Padahal rakyat sudah tak percaya terhadap dua isu tersebut selama empat tahun Jokowi memerintah. Terbukti, Tap MPR RI No. 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran PKI, PKI sebagai organisasi terlarang, dan larangan menyebarkan paham Komunisme, Marxisme, dan Leninisme, tak pernah dicabut. Para penuduh juga tak mampu membuktikan dokumen yang menunjukkan Jokowi dan orangtuanya PKI. Padahal, saat Jokowi terpilih pada Pilkada Solo, 2004 dan 2009, serta Pilgub Jakarta pada 2012, Presiden RI masih dijabat Jenderal TNI (Purn) Susilo Bambang Yudhoyono, jenderal TNI AD yang anti-PKI. Bila benar PKI, kenapa Jokowi bisa lolos menjadi kandidat dalam pilkada, bahkan pilpres 2014? Lantas jelang Pilpres 2019 ini dibangun stigma seolah-olah Jokowi Anti Islam. Padahal realitas yang ada sebaliknya. Sejumlah program kerja pemerintahan Jokowi justru memihak Islam. Simak saja fakta berikut ini.
Jelang Pilpres 2014, isu miring yang menghantam Jokowi sungguh luar biasa. Jokowi dituding keturunan China Kristen Singapura (Oey Hong Liong). Anonim H. Jokowi disebut Herbertus, bukan haji. Jokowi difitnah beragama Kristen. Belum lagi berbagai fitnah lainnya, yang disebar oleh Tabloid Obor, yang beredar secara gratis di sejumlah daerah. Lawan politik Jokowi menebar kebencian di kalangan umat Islam. Ironinya, cukup banyak umat Islam yang percaya.
Padahal, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman fitnah lebih kejam dari pembunuhan (QS.2:191). Meski sebagian para ahli tafsir menandai kata “fitnah” ini dengan kemusyrikan yang dosanya lebih besar dari pembunuhan. Namun demikian Jokowi mengaku bergeming. Ia tak menggubris. Apalagi ia bukan penguasa. Tak punya kekuatan apapun. Tiga hari menjelang Hari H pencoblosan Pilpres 2014 yang jatuh 9 Juli 2014, ia bersama keluarga mengisi Minggu Tenang dengan bertolak ke Tanah Suci Makkah, untuk menunaikan ibadah umrah. Capres yang dituding beragama Kristen dan difitnah PKI ini menengadahkan tangannya, sambil bercucuran air mata di Baitullah, Masjidil Haram Makkah. Ia juga berdoa di Raudhah, lokasi dikabulkannya doa-doa yang disebut taman surga, hanya beberapa meter dari makam Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, di Masjid Nabawi, Madinah.
Saya yang memimpin rombongan umrah selama tiga hari di bulan Ramadhan itu, menyaksikan Jokowi memasrahkan diri kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jokowi beribadah shalat, berpuasa, berzakat, bershalawat, dan berdoa. Dari dua kandidat capres, Jokowi dan Prabowo Subianto, hanya Jokowi yang memanfaatkan Minggu Tenang untuk beribadah ke Tanah Suci Makkah. Meski Prabowo yang didukung banyak ormas Islam. Meski Prabowo yang dieluelukan banyak umat Islam. Sebaliknya, Jokowi dibenci sebagian umat. Karena dikira kafir. Karena dikira PKI. Black campaign itu nyaris berhasil. Tetapi Allah Subhanahu wa Ta’ala Maha mengetahui. Seperti firman-Nya dalam QS. 2:216 yang artinya, “…boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu, padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.”
Pemilihan Presiden 2014 yang ibarat peperangan, telah melahirkan penguasa baru di negeri berpenduduk mayoritas Islam ini. Allah telah memenuhi janji-Nya, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala (QS. 24:55), “Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang beriman dan yang mengerjakan amal salih, Dia sungguhsungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi …” Hasil Pemilihan Presiden RI tahun 2014 seakan-akan menjadi peringatan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada sebagian umat Islam Indonesia yang gemar menebarkan fitnah. Joko Widodo adalah pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala, ditakdirkan Allah Subhanahu wa Ta’ala terpilih menjadi Presiden RI ke-7, bukan Prabowo Subianto. Kini, empat tahun berselang, sejarah seakan berulang kembali. Bedanya, Joko Widodo sebagai petahana, kembali berhadapan dengan Prabowo Subianto sebagai penantang tunggal dalam peperangan Pilpres 2019.
Pendukung Prabowo masih menggunakan peluru usang, kembali mengangkat isu PKI dan komunisme. Seperti tak punya bahan untuk menonjolkan kekuatan kandidatnya. Satu-satunya isu yang berhasil dibangun adalah stigma, seolah-olah Jokowi anti Islam. Harus diakui, rumor itu cukup berhasil menggerus suara dukungan umat Islam terhadap Jokowi, terutama di wilayah Sumatera. Benarkah Jokowi seorang Presiden yang anti Islam? Sejumlah fakta menunjukkan, di era Presiden Jokowi justru lahir Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) yang dipimpinnya sendiri. Komite inilah yang mendorong dan menggerakkan perekonomian syariah di Tanah Air. Bahkan pada era pemerintahan Jokowi pula yang diberikan stimulus Rp8 miliar bagi pendirian Bank Wakaf Mikro yang digerakkan melalui pondok pesantren.
“Sekarang sudah ada 41 Bank Wakaf Mikro yang didukung pemerintah,” ungkap Presiden Joko Widodo dalam perbincangan saya dengannya di Istana Bogor (31/12/2018) siang. Dengan Bank Wakaf Mikro yang menerapkan ekonomi syariah ini diharapkan dapat menggerakkan dan memajukan perekonomian umat di sekitar pondok pesantren. “Saya sudah mengusulkan untuk 1.000 Bank Wakaf Mikro yang akan didirikan di 1.000 pondok pesantren, dan Alhamdulillah Presiden telah menyetujui,” tutur Ketua MUI (non aktif) KH. Ma’ruf Amin, dalam perbincangan di kediamannya di Jalan Situbondo (1/1/2019) Jakarta.
Ma’ruf Amin sendiri dipilih oleh Jokowi sebagai calon wakil presidennya. Suka tidak suka, harus diakui Ma’ruf Amien adalah seorang ulama khos, ulama besar Indonesia. Ia bukan saja Ketua Umum MUI, tetapi juga Rais Aam Nahdlatul Ulama, organisasi masyarakat Islam terbesar di Asia Tenggara. Tetapi, bukankah di era Jokowi terjadi kriminalisasi ulama? Saya sudah pernah berhadapan langsung, dan bertanya langsung kepada Presiden Joko Widodo. “Siapa yang saya kriminalisasi? Saya tidak pernah merasa kriminalisasi satu ulama pun. Wong kenal ulamanya saja enggak,” tandas Jokowi di Istana Negara (26/7/18) Jakarta.
Menurut Presiden, seluruh masalah ulama, ustadz, yang dianggap dikriminalisasi, terlibat kasus hukum, karena itu merupakan wilayah aparatur hukum. Presiden tak bisa mencampuri. Eksekutif tak boleh intervensi yudikatif. Tepat sekali! Karena kita negara hukum (rechtsstaat). Lantas, mana yang benar, Bung? Wallahul Musta’an. Serahkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk memohon pertolongan.
Add to Flipboard Magazine.
Popular

Wanita Muslim yang Menginspirasi Dunia
24 July 2014
Film-film Islam Terbaik Sepanjang Masa
01 July 2013