Jawara Langgam Hati dari Marunda

Oleh: Giatri (Editor) - 26 November 2015

Naskah: Giattri, Foto: Tanto

Djarum Apresiasi Budaya bekerjasama dengan teater Abang None (Abnon) Jakarta menggelar sandiwara betawi bertajuk ‘Jawara’ Langgam Hati dari Marunda. Para pemain yang terlibat dalam ‘Jawara Langgam Hati dari Marunda’ bukanlah pesilat profesional. Mereka Abang None Jakarta dari latar belakang yang berbeda-beda.

Alkisah, Batavia di akhir abad ke 19, perampokan merajalela. Salah satu korbannya adalah Babah Yong. Para perampok berhasil memboyong harta benda pengusaha batik peranakan di Kemayoran itu sekaligus mengalahkan centeng penjaga. Terang saja, Babah Yong murka.

Lantas Babah Yong melaporkan kejadian tersebut pada Meener Ruys. Setelah diusut, Meener Ruys berniat menangkap Asni karena mirip seperti salah seorang perampok dalam laporan Babah Yong. Tapi Asni berhasil meyakinkan Meener Ruys bahwa bukan dia pelakunya. Namun dengan catatan, Asni harus menangkap perampok yang asli jika ingin selamat dari jeratan hukum. Asni pun pergi bertualang hingga ke Marunda untuk mencari perampok itu.

Di tempat yang sama, Bang Bodong tengah mengadakan sayembara untuk mencari jodoh bagi anak semata wayangnya, Mirah yang tak hanya cantik tapi juga jago silat. Asni pun mengikuti sayembara itu karena ingin bertemu dengan Mirah, gadis yang pada pandangan pertama merebut hatinya.

Siapa sangka, di tempat itu pula Asni bertemu dengan sang perampok yang mencoba mengacau sayembara Bang Bodong. Pertempuran tak terelakkan. Dibantu Mirah, Asni bertarung menaklukkan perampok untuk memulihkan nama baiknya. Ironisnya, perampok yang bernama Tirta itu ternyata Kakak Tiri Asni. Meener Ruys yang tiba-tiba datang menembak Tirta hingga tewas.

Sebanyak 35 Pemain yang terlibat dalam pementasan produksi ke-sembilan Teater Abnon Jakarta ini kebanyakan tidak memiliki dasar bela diri. Mereka merupakan finalis Abang None Jakarta dari 2009 hingga 2015. Mereka diaudisi sejak 14 Februari 2015. Tak main-main, agar silat mereka tampak sungguhan, selama delapan bulan mereka digembleng guru-guru silat dari tiga perguruan silat, yakni Silat Pusata Jakarta, Harimau Belut Putih, dan Sabeni Tenabang.

Atien Kisam, koreografer dalam pementasan ini, memilih ketiga aliran silat Betawi tersebut untuk keperluan artistik sekaligus menunjukan kekuatan dalam silat, yang dulu wajib dipelajari pemuda dan pemudi Betawi.

Gerakan silat Harimau Belut Putih, yang identik dengan pedang panjang, misalnya digunakan Baba Yong saat melawan Tirta.

“Pas adegan berantem, saya campur gerakan Harimau Belut Putih dengan Pusaka Jakarta,” kata Atien. Khusus untuk pemain perempuan, Atien menggunakan jurus-jurus dari Sabeni Tenabang seperti Kelabang Nyebrang dan Merak Ngigel, karena karakter gemulai dari aliran tersebut. Untuk menunjukkan meski gemulai namun jago silat, rambut Mirah yang berbaju merah pun sengaja netibiarkan tergerai.

Menariknya lagi dari pementasan ini blocking pemain yang tak hanya di atas panggung saja. Menurut sang sutradara, Adjie N. A. hal itu sengaja dilakukan agar penonton terasa dekat dengan cerita.

Selain itu, sandiwara Betawi ini layak ditonton semua umur karena guyonan-guyonan, celetukan lucu, ataupun kepolosan para tokoh yang disisipkan. Misalnya saja, tokoh Bang Bodong yang sengaja digambarkan sebagai orang tuli yang kerap menjawab dengan omongan yang “nggak nyambung” dengan topik pembicaraan, terkadang ngotot.