Batik Nusantara ala Shinta

Oleh: Giatri (Editor) - 25 May 2015
Shinta Dhanuwardoyo sejatinya adalah seorang web designer. Tapi, lulusan Master of Business Administration International Business di Portland State University, Oregon USA, ini juga dikenal sebagai kolektor batik Nusantara.

Kecintaan Shinta kepada salah satu wastra nusantara itu tumbuh sejak kecil. Kala itu, almarhum eyang putri dari ayahnya mengoleksi banyak batik yang di wiron dan digulung dengan apik dalam lemari. Baginya aroma dari batik itu jika lemarinya di buka mempunyai kenangan tersendiri.

“Beliau sering menggunakan kain dan kebaya untuk acara-acara tertentu bahkan di tempat tidur yang di alasi dengan kain batik yang halus dan dingin,” kenang Shinta.

Setelah Shinta mulai bekerja, tepatnya sejak 12 tahun yang lalu, ia kerap menyisihkan sedikit uang untuk membeli batik. Hingga kini ia telah mempunyai lebih dari 100 lembar kain yang disimpan di dua lemari di rumahnya. Sebagian koleksinya ia beli sendiri, namun ada juga yang diberi nenek dan mertuanya.

“Setelah saya mengumpulkan batik, perlahan saya mulai mengenali berbagai motif batik dan filosofinya. Saya paham dengan motif batik yang dipakai seseorang. Ada yang memang khusus digunakan untuk kalangan keraton, upacara pernikahan, mitoni atau upacara kehamilan tujuh bulan, midodareni atau persiapan pernikahan, dan lainnya,” tandasnya.

Menurut Shinta batik terbaik yang pernah dibuat adalah batik Indonesia. Lantaran batik Indonesia memiliki unsur heritage dan art. Proses terciptanya kain batik terbilang sulit dan membutuhkan kesabaran tersendiri. Bayangkan, untuk menyelesaikan sehelai kain harus dibuat pola terlebih dahulu, lalu diberi malam dengan canting, diwarnai, lalu masuk ke tahap pelorotan warna (pencairan lilin), hingga menjadi sehelai batik.

“Bagi saya batik merupakan karya seni yang tak kalah indahnya dengan kreasi seni lainnya. Saya begitu menghargainya sebagai suatu karya seni yang tinggi. Saya belum lihat negara lain melakukan hal yang sama,” kata Shinta.

Namun Shinta menyayangkan, masih ada ketimpangan dalam soal apresiasi. Misalnya, batik tulis tangan halus hanya dihargai Rp20 juta dan malah dikatakan mahal. Padahal, dibandingkan lukisan, harganya malah bisa mencapai ratusan juta, tidak ada yang mengeluh,” ungkap founder www.bubu.com ini panjang lebar.

Shinta juga turut prihatin melihat kian berkurangnya anak-anak muda yang tertarik membatik. Kemajuan modernisasi yang menyerbu ke berbagai pelosok daerah, membuat kegiatan membatik tidak menjadi hal menjanjikan. Banyak dari mereka lebih memilih bekerja di pabrik atau mal.