Perbedaan Sistem Pemilu di Berbagai Negara

Oleh: Andi Nursaiful (Administrator) - 15 April 2014
Jika di sejumlah negara negara ikut memilih dalam pemilu bersifat sukarela (voluntary voting), dan di 22 negara lainnya bersifat wajib (compulsory voting), maka pemilu di Korea Utara bisa jadi gabungan keduanya. Bayangkan, meskipun Korea Utara tidak memberlakukan kewajiban memilih, toh tingkat ‘partisipasi’ rakyatnya dalam pemilu mencapai 100%, dan tak ada ada satu pemilih pun yang abstain alias golput.

Pada pemilu yang digelar awal Maret lalu, pemimpin Korea, Kim Jong Un, sukses menenangi pemilu dengan meraih 100% suara pemilih. Semua pemilih menjatuhkan pilihannya pada pemimpin muda Korea Utara ini, tanpa terkecuali.

Pemungutan suara bersifat wajib bagi seluruh penduduk Korea Utara, kecuali yang terdaftar di luar negeri. Dalam sistem pemilu Korea Utara, terdapat 700 daerah pemilihan. Pemilihan digelar untuk menentukan Majelis Rakyat Agung Korea Utara, dan diadakan setiap lima tahun sekali. Sistem demokrasi seperti ini baru pertama kali digelar di Korea Utara sejak dipimpin oleh Kim.

Kim menjadi wakil dari kawasan Gunung Paektu, sebuah gunung suci di dekat perbatasan China, tempat Kim Jong Il dilahirkan. Namun, berbeda dengan pemilihan umum di berbagai negara yang menyediakan banyak nama wakil rakyat untuk dipilih, para pemilih di Korea Utara tak mempunyai pilihan lain. Sebab, di dalam kartu suara hanya ada satu nama, yaitu Kim Jong Un.

Bahkan, di semua tempat pemungutan suara (TPS), semua kartu suara hanya berisi satu nama, sekali lagi, nama itu adalah Kim Jong Un. Dan, nyaris tak mungkin warga Korea Utara tak memilih Kim Jong Un, kecuali mereka yang cukup berani untuk menuai masalah di kemudian hari.

Dengan demikian, pemungutan suara di Korea Utara sesungguhnya tak bisa disebut pemilu seperti yang dikenal di negara-negara yang mempraktikkan demokrasi. Pemilu Korea Utara tak lebih dari sebuah ajang untuk memantau adanya benih-benih perlawanan rakyat.

Pemilu juga berfungsi sebagai sensus penduduk. Maklum, tak sedikit warga Korea Utara kabur ke luar negeri lewat China. “Pemerintah memeriksa daftar pemilih dan jika nama seseorang tak tercantum dalam daftar itu, maka orang itu akan diselidiki," ungkap Mina Yoon, salagh seorang pelarian Korea Utara.
 
Semenjak sistem distribusi makanan negara itu hancur akibat bencana kelaparan pada 1990-an, cara lama untuk melacak warga negara tak lagi berfungsi. Saat itu, para kepala komite setempat mengawasi ketat rakyatnya.

Namun, setelah warga Korea Utara bebas bepergian di dalam negeri, cara itu tak bisa lagi digunakan. Dengan demikian, pemilu menjadi satu-satunya cara untuk mengawasi rakyat secara berkala.

Menurut Yoon, warga yang sudah kabur ke luar negeri sekalipun akan berusaha mengikuti pemilu. Sebab, mereka khawatir jika pemerintah mengetahui mereka menghilang maka keluarga mereka yang akan menanggung akibatnya. Setelah pemilu, mereka kembali kabur ke luar negeri.