Diskusi Panel Rapat Kerja Nasional dan HUT ke-40 Ikatan Advokat Indonesia “Wajah Penegakan Hukum Pasca KUHAP dan KUHP Baru”

Editor Oleh: Redaktur - 12 December 2025

Ikatan Advokat Indonesia (IKADIN) dalam rangkaian Rapat Kerja Nasional (Rakernas) dan peringatan HUT ke-40 IKADIN, telah menyelenggarakan diskusivpanel bertajuk “Wajah Penegakan Hukum Pasca KUHAP dan KUHP Baru”, sebuah forum strategis yang menghadirkan pemangku kepentingan sektor hukum untuk membahas arah dan masa depan penegakan hukum Indonesia menjelang diberlakukannya KUHAP dan KUHP yang baru. Acara ini mempertemukan advokat, akademisi, pembentuk undang-undang, serta pemerhati kebijakan publik untuk mendiskusikan bagaimana reformasi besar dalam hukum pidana Indonesia akan mempengaruhi sistem peradilan, praktik penegakan hukum, serta perlindungan hak asasi manusia.

Pembahasan ini menjadi semakin penting mengingat KUHP dan KUHAP baru membawa perubahan mendasar dalam struktur hukum pidana Indonesia. Reformasi tersebut tidak hanya menyentuh aspek substansi delik, pemidanaan, dan sanksi, tetapi juga mengubah cara apparat penegak hukum bekerja. Ketua Panitia Rakernas dan HUT ke-40 IKADIN, Heru Muzaki, S.H., menekankan bahwa perubahan ini menempatkan advokat sebagai bagian penting dari mekanisme check and balances dalam sistem pemidanaan yang baru. Karena itu, implementasi regulasi ini membutuhkan kesiapan kelembagaan, pengawasan yang memadai, dan
kemampuan adaptasi dari seluruh profesi hukum agar proses penegakan hukum berlangsung secara efektif, transparan, dan berkeadilan.

Diskusi ini menghadirkan para tokoh penting, yakni Dr. Habiburokhman, S.H., M.H., selaku Ketua Komisi III DPR RI, Dr. Maqdir Ismail, S.H., selaku Ketua Umum DPP IKADIN, Assoc. Prof. Dr. Hery Firmansyah, S.H., M.Hum., MPA, selaku Ketua Bidang Penelitian & Pengembangan DPP IKADIN, dan Maidina Rahmawati, S.H., LL.M. selaku Plt. Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), dengan dipandu oleh Dr. Najib Ali Gisymar, S.H., M.Hum. Setiap narasumber memberikan perspektif kritis dan konstruktif mengenai tantangan dan peluang dalam implementasi KUHAP dan KUHP baru.

Dalam paparannya, Dr. Habiburokhman menjelaskan proses legislasi KUHAP baru di DPR yang berlangsung dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan melalui diskusi publik, RDPU, dan kajian akademik yang panjang. Menurutnya, perubahan KUHAP mengedepankan perlindungan hak tersangka dan terdakwa, termasuk rekaman pemeriksaan melalui CCTV, hak komunikasi, pendampingan hukum, dan akses atas salinan BAP. Upaya ini, menurutnya, merupakan bagian dari komitmen negara untuk membangun proses peradilan yang lebih akuntabel dan transparan.

Assoc. Prof. Dr. Hery Firmansyah memberikan perspektif mengenai transformasi filosofis dalam KUHP baru yang menggeser paradigma pemidanaan dari model retributif menuju keadilan korektif dan restoratif. Menurutnya, hadirnya pidana alternatif seperti kerja sosial dan pidana pengawasan, merupakan langkah penting menuju pemidanaan yang lebih humanis dan proporsional. Selain itu, pengakuan living law atau hukum adat dalam KUHP menjadi bentuk pengukuhan terhadap nilai-nilai hukum yang hidup di masyarakat, namun tetap membutuhkan penafsiran hati-hati agar tidak bertentangan dengan asas kepastian hukum.

Maidina Rahmawati, S.H., LL.M., juga menyampaikan bahwa KUHP baru menghadirkan sejumlah pembaruan penting, mulai dari reformulasi pidana mati yang kini mewajibkan masa evaluasi sebelum eksekusi, serta penghapusan sejumlah ketentuan bermasalah yang sebelumnya diatur dalam UU ITE. Selain itu, KUHP baru memperkenalkan mekanisme pemidanaan yang lebih modern seperti pedoman pemidanaan, pidana pengawasan, kerja sosial, judicial pardon, dan penyelesaian perkara melalui pembayaran denda. Menurutnya, berbagai perubahan ini merupakan langkah maju yang perlu terus diawasi dalam implementasinya.

Sementara itu, Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M., menegaskan bahwa terdapat sejumlah persoalan mendasar dalam KUHAP yang perlu dikaji ulang. Ia menyoroti bahwa penetapan tersangka tidak cukup hanya didasarkan pada dua alat bukti, tetapi harus ditopang oleh bukti yang relevan dan benar-benar memenuhi unsur tindak pidana. Ia juga mengingatkan bahwa mekanisme penahanan masih sangat bergantung pada subjektivitas penyidik tanpa adanya kontrol yudisial yang memadai. Dr. Maqdir Ismail, S.H., LL.M. juga menyoroti perlunya pembatasan ketat terhadap upaya paksa terkhusus penyadapan dan pemblokiran rekening, yang menurutnya hanya boleh dilakukan terhadap pihak yang benar-benar berstatus tersangka dan didukung bukti substansial, serta tidak boleh meluas pada pihak lain yang tidak terkait langsung dengan tindak pidana. Semua catatan tersebut, menurutnya, harus menjadi perhatian bersama dan diuji secara serius agar KUHAP dapat diterapkan secara adil dan proporsional.

Diskusi panel ini mengajak para peserta Rakernas untuk memahami bahwa pembaruan KUHAP dan KUHP bukan sekadar perubahan norma, melainkan bagian dari agenda besar transformasi hukum pidana yang menuntut kesiapan seluruh pemangku kepentingan. Aparat penegak hukum, advokat, pembuat kebijakan, hingga masyarakat sipil memiliki peran penting dalam memastikan implementasi regulasi baru berlangsung secara konsisten, transparan, dan sejalan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia.

Melalui forum ini, IKADIN menunjukkan komitmennya untuk menjadi ruang dialog yang konstruktif, mempertemukan beragam perspektif, dan mendorong penguatan sistem peradilan pidana Indonesia. Acara ini juga menunjukkan keseriusan IKADIN dalam mempersiapkan para advokat agar mampu menyambut era baru penegakan hukum yang lebih modern, humanis, dan berorientasi pada keadilan substantif. (Ali )