KELOMPENCAPIR - Belajar Tanpa Henti, Berbagi Tanpa Batas

Editor Oleh: Redaktur - 12 August 2025

Bagi mereka, notaris bukan hanya profesi administratif. Lahir dari keresahan akan jaraknya ilmu hukum dengan kehidupan sehari-hari, Kelompencapir hadir sebagai oase keilmuan dan kepedulian, sarana penyebar manfaat hingga ke tengah masyarakat.

Citra notaris yang identik dengan tumpukan dokumen dan formalitas kerap mendominasi benak kita. Namun, di balik citra formal tersebut, ada sebuah komunitas notaris yang bergerak bukan hanya di ranah administratif. Mereka adalah para profesional hukum yang percaya bahwa ilmu pengetahuan dan pengabdian adalah kunci perubahan. Membentuk wadah dinamis tempat pendidikan, diskusi mendalam, dan pengabdian masyarakat menjadi pilar utama. Dengan satu tujuan mulia, menjadi agen perubahan positif dan menyebarkan manfaat ilmu hukum dan kenotariatan kepada khalayak yang lebih luas.

Kelompencapir adalah komunitas notaris yang memilih jalur keilmuan sebagai poros kegiatannya. Diinisiasi oleh sekelompok notaris yang pada awalnya berkumpul untuk memperdalam ilmu tentang perkoperasian pada tahun 2019 di kediaman Dr. Dewi Tenty Septi Artiany. Pertemuan pertama itu ternyata menjadi pemantik semangat untuk terus mendalami berbagai aspek ilmu hukum dan kenotariatan. Diskusinya dilakukan rutin setiap bulan, membahas tema yang terus berkembang.

Forum ini lahir dari kebutuhan untuk belajar secara kolektif di tengah minimnya ruang yang benar-benar fokus pada keilmuan. “Kami ingin menciptakan oase. Di luar sana banyak kegiatan yang mengadakan kumpul-kumpul, tapi yang konsisten berbagi ilmu hukum masih jarang,” ujar sosok yang akrab disapa Dete ini. Ia melihat celah yang bisa diisi oleh komunitas tidak perlu menunggu momen formal, tapi justru bergerak dari rumah atau ruang virtual. Dalam lima tahun, komunitas ini pun tak terasa tumbuh menjadi forum nasional, diikuti hingga ratusan peserta dari berbagai penjuru Indonesia.

Seiring waktu, kegiatan ini tidak lagi terbatas pada notaris. Mahasiswa, pengusaha, dosen, praktisi hukum, hingga masyarakat umum ikut bergabung. Formatnya pun fleksibel, baik daring maupun luring, tetapi selalu konsisten. Hingga pertengahan 2025, sudah 66 diskusi terselenggara, mengangkat isu-isu yang relevan dan menghadirkan berbagai perspektif, mulai dari akademisi, perwakilan pemerintah, praktisi notaris, hingga pandangan dari masyarakat umum.

Bagi Dete, hukum bukan sesuatu yang jauh dari keseharian. “Sejak manusia masih dalam kandungan, hukum sudah mengatur. Sampai ia meninggal pun, hukum masih hadir. Banyak masalah yang selalu berakar pada isu hukum, menunjukkan betapa fleksibel dan relevannya peran hukum dalam berbagai aspek kehidupan,” tuturnya. Dengan semangat itu, Kelompencapir mulai membuka sekat. Tidak hanya berdiskusi, tapi juga turun langsung ke masyarakat. Salah satu langkah konkretnya adalah ketika komunitas ini membantu pelaku UMKM di Bandung membuat Nomor Induk Berusaha (NIB) dan badan usaha tanpa biaya. Notaris yang biasanya hanya hadir di balik meja kini datang langsung ke lapangan, membawa peran edukatif secara aktif.

Respons masyarakat sangat positif. Banyak yang baru sadar bahwa legalitas usaha bisa diakses dengan cara yang lebih sederhana. “Biasanya mereka datang ke notaris, sekarang justru notarisnya yang ke lapangan jemput bola, dan itu gratis pastinya,” ungkap Dete. Dari pengalaman ini, tumbuh kepercayaan bahwa hukum bisa diakses tanpa rumit.

Perjalanan komunitas ini tentu tidak selalu mulus. Di luar sana, banyak forum sejenis yang sempat tumbuh, lalu hilang tanpa jejak. Kelompencapir justru bertahan karena sejak awal tidak menggantungkan diri pada momen besar atau figur tenar. Yang dijaga bukan seremoninya, melainkan ritme. “Konsisten itu kuncinya. Tidak semata-mata berpatok ke jumlah peserta, tapi seberapa dalam dan jujur diskusinya,” ujar Dete. Bahkan ketika yang hadir hanya puluhan orang, ruang dialog tajam tetap terbuka. Karena bagi mereka, esensinya bukan pada ramai atau sepi, tapi pada semangat untuk terus berbagi.

Dari diskusi-diskusi itu lahir juga sejumlah karya. Tiga buku telah diterbitkan, mengenai merek kolektif, hukum perdata, dan pembiayaan syariah, ketiganya lahir dari kebutuhan yang muncul di masyarakat. Buku-buku ini tidak hanya sebagai bacaan, tapi menjadi panduan yang dipakai dalam kegiatan lintas kementerian dan organisasi. Berbagai kolaborasi pun dilakukan demi memperkuat posisi Kelompencapir sebagai mitra substantif, di antaranya Kementerian Koperasi, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), PT Pegadaian, dan PT Jakpro.

Peran notaris menurut Dete lebih luas dari yang selama ini dikenal. Undang undang jabatan notaris (UUJN) mengamanatkan notaris untuk melakukan penyuluhan kepada masyarakat. Artinya, ada tanggung jawab untuk hadir, menjelaskan, dan mengedukasi. “Kami tidak bisa digantikan teknologi begitu saja. Justru karena kami manusia, kami bisa merasakan klien kami juga manusia,” jelasnya. Soft skill, empati, dan konteks sosial menjadi bekal yang tidak bisa diganti oleh algoritma.

Dalam pandangannya, tantangan terbesar ke depan justru datang dari dalam profesi. Ia mengingatkan agar para notaris tidak terjebak menjadi pabrik”, yang hanya mengulang pekerjaan administratif tanpa refleksi. “Kalau kita bekerja seperti mesin, kita akan mudah tergeser digitalisasi. Tapi kalau kita terus belajar, memahami isu, dan mendekat ke masyarakat, justru kita akan makin dibutuhkan,” ujarnya.

Untuk generasi muda yang berminat masuk dunia kenotariatan, Dete memberi pesan lugas. Jangan hanya melihat penampilan luar profesi. Yang membuat seseorang bertahan dan dihargai adalah pengetahuan, integritas, dan konsistensi. “Memperkaya ilmu lebih baik daripada hanya terlihat kaya, karena ilmu adalah modal seorang notaris untuk selalu mendapatkan tempat di masyarakat,” katanya.

Melalui Kelompencapir, ia ingin membangun tradisi baru, bahwa hukum tidak harus eksklusif, bahwa belajar bisa dilakukan tanpa struktur formal, dan bahwa perubahan besar kadang justru tumbuh dari ruang yang kecil. Selama ada niat untuk terus belajar dan keberanian untuk berbagi, hukum bisa hadir lebih ramah, lebih relevan, dan lebih nyata dalam kehidupan masyarakat. Perwujudan nyata pengabdian anak bangsa bertujuan pula menyalakan harapan bahwa ilmu pengetahuan dapat menjadi jembatan menuju Indonesia yang lebih sadar hukum, adil, dan sejahtera.

 

Baca selengkapnya di majalah Men's Obsession edisi 267