Azka Aufary Ramli: FOKUSMAKER Harus Jaga Marwah Universitas sebagai Miniatur Parlemen dalam Wajah Intelektual Bangsa

Di tengah dinamika bangsa yang semakin kompleks dan tuntutan kepemimpinan yang terus berubah, suara dari kalangan intelektual muda kembali mengingatkan pentingnya peran universitas sebagai institusi kaderisasi pemimpin bangsa. Azka Aufary Ramli, Dewan Penasihat BAKORNAS FOKUSMAKER, menekankan bahwa kampus bukan sekadar tempat belajar akademik, tetapi fondasi utama demokrasi Indonesia.
Menurut Azka, universitas idealnya mencerminkan fungsi-fungsi utama lembaga legislatif sebagai ruang deliberatif, pembentuk budaya berpikir kritis, dan wadah artikulasi gagasan serta kepentingan publik.
“Kita harus melihat universitas sebagai miniatur parlemen tempat perdebatan terjadi dengan santun, gagasan ditajamkan dengan ilmu, dan pemimpin muda dilatih dengan nilai tanggung jawab. Kampus bukan tempat steril dari politik, tapi harus menjadi tempat paling beradab dalam berdialektika,” ujar Azka.
Azka menyebut bahwa dalam perjalanan sejarah bangsa, pemimpin besar kerap lahir dari ruang-ruang kampus yang sehat. Dari Budi Utomo hingga reformasi 1998, mahasiswa dan dunia akademik menjadi jantung perubahan sosial dan politik. Namun kini, tantangannya jauh lebih kompleks.
“Kepemimpinan tidak lahir dari keinginan populer, tetapi dari proses panjang pematangan diri, pemahaman realitas, dan latihan berpikir visioner. Dan semua itu dimulai di kampus,” ujarnya.
Kampus bukan hanya ladang akademik, tapi juga ruang nilai. Tempat ini seharusnya menanamkan prinsip-prinsip kejujuran, keberanian moral, empati sosial, serta semangat perubahan berbasis pengetahuan. Di sinilah pentingnya menjaga marwah kampus dari penetrasi budaya pragmatis dan apatisme politik yang kian menguat di generasi muda.
Sebagai penasihat BAKORNAS FOKUSMAKER, Azka menegaskan bahwa organisasi kemahasiswaan tidak boleh tercerabut dari akar filosofinya. Mereka bukan pelengkap kegiatan kampus, tapi bagian dari dialektika demokrasi dan proses pendidikan karakter.
“FOKUSMAKER harus menjadi benteng moral yang menjaga universitas tetap menjadi ruang hidup gagasan, bukan ruang diam dari pragmatisme. Kita perlu organisasi mahasiswa yang vokal, terstruktur, dan solutif,” katanya.
Ia juga mendorong agar organisasi mahasiswa mampu menjadi mitra kritis universitas, bukan sekadar pengikut arus atau bagian dari sistem yang hanya mencari panggung. Peran mereka adalah menghidupkan diskursus, memperkuat budaya debat yang sehat, dan menciptakan ruang untuk tumbuhnya pemimpin-pemimpin muda yang progresif.
Dalam konteks politik nasional, Azka menyebut kampus harus menjadi jangkar moral. Saat ruang publik tercemar oleh ujaran kebencian, hoaks, dan komodifikasi isu, kampus wajib tampil sebagai pelita pemikiran yang terang. Kampus tidak boleh diam ketika demokrasi mundur atau ketika kebebasan sipil direduksi.
“Kalau kampus ikut diam, lalu siapa yang bersuara? Kalau mahasiswa ikut apatis, maka hilang sudah garda terdepan perubahan,” tegas Azka.
Menurutnya, universitas harus berani menjaga kebebasan akademik dari tekanan politik dan ekonomi. Civitas akademika harus tetap menjaga netralitas, objektivitas, dan integritas dalam menyampaikan pikiran—meski tidak populer sekalipun. Di sinilah kampus mengemban fungsi sebagai pengimbang kekuasaan, seperti parlemen yang sehat dalam demokrasi.
Azka menyampaikan bahwa perubahan tidak bisa datang hanya dari mahasiswa. Kepemimpinan universitas juga perlu mengambil peran progresif—dengan memberikan ruang, membangun budaya dialog, serta menjamin bahwa organisasi mahasiswa tumbuh dalam suasana otonom, tanpa ketakutan atau intervensi.
Ia mengajak seluruh rektor, dekan, dan dosen untuk tidak alergi terhadap dinamika pemikiran mahasiswa. Justru, keberagaman gagasan itu adalah tanda bahwa universitas masih hidup.
“Jangan takut kampus gaduh karena debat gagasan. Takutlah jika kampus sunyi karena semua diam,” tutupnya.
Bagi Azka Aufary Ramli, masa depan Indonesia sangat ditentukan oleh kualitas universitas hari ini. Jika kampus-kampus gagal menjalankan fungsinya sebagai ruang pembentukan karakter, dialektika demokrasi, dan pematangan gagasan, maka kita akan kehilangan generasi pemimpin yang berintegritas dan cakap secara intelektual.
Sebaliknya, jika marwah universitas dijaga dan dikembangkan, maka Indonesia tidak akan kekurangan tokoh-tokoh pemimpin yang lahir dari dasar nilai dan pemahaman mendalam atas realitas sosial dan kebangsaan.
“Kampus bukan tempat apatis. Kampus adalah dapur peradaban bangsa. Mari kita jaga bersama agar ia tetap menyala.” ungkap Azka mengakhiri harapannya. (Ali | Dok. Istimewa)