Kisah Dokter Senior yang Menebar Kasih Tanpa Syarat

“Bukan semua orang dipanggil untuk menjadi dokter. Tapi jika kau memilih jalan itu, maka jadilah cahaya di tengah malam yang paling pekat.” — Prof. Dr. dr. Dasaad Muljono
Pada awal pandemi COVID-19, dunia medis berada dalam kegelapan. Virus menyebar tanpa henti. Vaksin belum ditemukan. Alat pelindung diri (APD) terbatas. Rumah sakit penuh. Ketakutan menjadi teman sehari-hari, bahkan bagi mereka yang selama ini disebut “pahlawan tanpa tanda jasa”: para dokter.
Di tengah situasi yang begitu genting, sebuah sosok justru mengambil langkah yang nyaris tak bisa dijelaskan oleh logika: seorang dokter spesialis senior, berusia di atas 55 tahun, dengan karier mapan dan gelar bertumpuk, justru memilih terjun langsung merawat pasien COVID-19, tanpa vaksin, bahkan tanpa APD lengkap. Dokter tersebut adalah Prof. DR. dr. Dasaad Muljono MBBS (Hons), SpJP (K), FIMSANZ, FCSANZ, FRACP, FRACGP, FICLM, PhD. Para ahli statistik bahkan akan menyebutnya “Tidak masuk akal.”
“Peluangnya bisa dikatakan satu dari sejuta, atau bahkan lebih langka,” ujar Prof. Dasaad. Secara medis, keputusan ini tergolong nekat. Dokter dengan usia di atas 55 tahun termasuk dalam kategori risiko tinggi, lebih rentan mengalami komplikasi parah, bahkan kematian, jika terpapar COVID-19. Terlebih, pada masa-masa awal pandemi, belum ada vaksin, belum ada obat yang pasti, dan protokol kesehatan masih berkembang dari hari ke hari.
Kita semua tahu bahwa dokter senior yang sukses biasanya memiliki kenyamanan yang tidak dimiliki rekan-rekan mudanya. Klinik pribadi, posisi akademik, jabatan administratif, hingga staf pendukung yang bisa membantu menghindari paparan langsung.
Tak sedikit dari mereka memilih jalur aman, berpraktik dari jauh, konsultasi daring, atau bahkan rehat sejenak dari dunia klinis. Apalagi di masa pandemi, sebagian besar rumah sakit justru membatasi kehadiran dokter-dokter tua. Mereka dianggap terlalu berisiko, terlalu berharga untuk hilang hanya karena satu momen heroik. Namun, Prof. Dasaad justru melakukan yang sebaliknya. “Yang membuat saya turun tangan adalah panggilan jiwa,” tuturnya.
Keputusan itu, bagi Prof. Dasaad, bukan karena keterpaksaan ekonomi. Bukan karena kurang informasi. Bukan karena gagah-gagahan. “Itu murni karena panggilan moral dan spiritual. Saya tahu risikonya. Tapi saya juga tahu, kalau semua yang bisa berbuat mundur, siapa yang akan bertahan di garis depan?”
Bagi sebagian orang, mungkin ini adalah bentuk keberanian. Tapi baginya, ini adalah wujud kasih. Sebuah tanggung jawab ilahi. Sebuah bentuk ibadah. Maka, saat sebagian besar dokter senior memilih aman, Prof. Dasaad turun tangan. Merawat pasien satu per satu. Melihat wajah-wajah penuh harap di balik selang oksigen. Menyaksikan perjuangan hidup dan mati. Dan semuanya dilakukan dengan kesadaran penuh bahwa nyawanya pun sedang dipertaruhkan.
Inilah yang membuat kisahnya begitu langka. Bahkan dalam dunia medis global, tindakan seperti ini mungkin hanya dilakukan oleh segelintir orang. Mungkin benar, satu dari sejuta. Kisah ini layak dikenang, bukan hanya karena keberaniannya. Tapi karena ia menampilkan wajah terdalam dari profesi dokter: pelayanan tanpa syarat. Di zaman ketika reputasi bisa dibeli, dan jabatan bisa ditukar dengan kenyamanan, seorang dokter tua yang turun langsung tanpa perlindungan apapun adalah simbol dari sesuatu yang lebih tinggi, iman, kasih, dan pengabdian.
Di tengah dunia yang makin pragmatis, kisah Prof. Dasaad menjadi sebuah perenungan bagi kita semua, masih adakah pahlawan yang tidak menunggu panggilan, tapi justru menciptakan panggilan itu sendiri? Jika sejarah ditulis oleh orang-orang besar, maka kisah ini patut masuk dalam catatannya. Tidak untuk dipuja-puji, tapi untuk dikenang. Bahwa di masa paling gelap umat manusia, masih ada cahaya yang bersinar, dari satu jiwa yang tak gentar.