Kodak Tak Pernah Benar-Benar Mati, 7 Langkah Tak Terduga yang Menghidupkannya Kembali

4. Nostalgia Tak Bisa Jadi Satu-Satunya Penyelamat
Fenomena kembalinya film analog memang menghidupkan kembali produk-produk ikonik Kodak seperti Portra 400. Para penggemar fotografi klasik, terutama dari kalangan Gen Z, mulai melirik kembali estetika film. Kodak pun menyambut tren ini dengan meningkatkan produksi. Namun mereka juga sadar bahwa nostalgia bukan fondasi jangka panjang. Saat ini, kontribusi film terhadap pendapatan hanya sekitar 10 persen. Sisanya ditopang oleh sektor-sektor baru yang lebih stabil seperti percetakan digital dan material untuk industri medis serta energi.
Meski begitu, Kodak tetap menunjukkan komitmen kuat terhadap pasar film. Dalam wawancara eksklusif dengan PetaPixel, CEO Kodak, Jim Continenza, menegaskan bahwa selama ada permintaan, Kodak akan terus memproduksi film analog. Ia menyebut bahwa perusahaan baru saja memperbarui perjanjian suplai film dengan Kodak Alaris hingga 2028. Langkah ini memperlihatkan bahwa Kodak tak sekadar memanfaatkan tren sesaat, melainkan serius menjaga kesinambungan lini produk film.
Continenza juga menyampaikan bahwa permintaan terhadap film, baik untuk foto diam maupun film layar lebar, terus meningkat. Salah satu contohnya adalah film Oppenheimer karya Christopher Nolan yang seluruhnya direkam menggunakan film format besar buatan Kodak, termasuk varian hitam putih 65mm yang diproduksi khusus.
Untuk bisa memenuhi lonjakan permintaan ini, Kodak bahkan harus menambah jumlah teknisi. Dalam wawancara yang sama, Continenza membandingkan arah Kodak dengan perusahaan lain seperti Fujifilm yang justru mengurangi produksi filmnya. Bagi Kodak, film analog bukan sekadar produk lawas yang dilestarikan, tapi bagian penting dari identitas perusahaan yang tetap hidup dan relevan.
5. Saat Produk Tak Lagi Diminati, “Merek” Jadi Aset yang Bisa Dijual
Kodak mulai melihat mereknya sebagai sesuatu yang bernilai tinggi, bahkan saat produknya tak lagi jadi pilihan utama. Mereka membuka lisensi merek ke berbagai pihak. Mulai dari kamera digital, smartphone, hingga sepatu dan peralatan rumah tangga. Semua bisa memakai nama Kodak, selama membayar royalti. Strategi ini menciptakan aliran pendapatan pasif yang signifikan tanpa harus memproduksi apa pun secara langsung.
6. Dulu Menolak Digital, Kini Justru Bermain di Dalamnya
Setelah sempat keras kepala terhadap dunia digital, Kodak akhirnya menyesuaikan langkah. Meski dulu gagap digital, sekarang bisnis utama Kodak justru teknologi percetakan digital untuk kemasan dan koran. Mereka tak lagi menjual kamera ke konsumen, tapi menyuplai teknologi di balik layar industri digital printing, kemasan fleksibel, hingga label barcode untuk ritel dan logistik. Bukan bisnis yang mencolok, tapi justru di sanalah mereka menemukan stabilitas baru.
7. Bukan Lagi Utamakan Foto, Tapi Bertahan Hidup Lewat Evolusi
Kini, Kodak lebih dikenal sebagai perusahaan teknologi yang bergerak di sektor pencetakan komersial dan bahan kimia industri. Fokus mereka bukan lagi menangkap momen dengan kamera, tapi menghadirkan solusi cetak berkualitas tinggi untuk kebutuhan bisnis global. Transisi ini tak datang dari keputusan singkat, tapi dari proses panjang yang penuh risiko dan keberanian untuk melepaskan identitas lama.
Kodak mungkin tak akan kembali berjaya seperti era keemasan dulu. Namun, perusahaan legendaris ini tak lagi terpaku pada nostalgia atau menangisi kejayaan masa lalu yang telah sirna. Memang, mengikuti tren bisa memberi napas baru, tapi itu saja tidak cukup untuk bertahan dalam jangka panjang.
Lalu, Kodak memilih jalan yang lebih berani, yakni terus belajar dari kesalahan, berani berbelok arah, dan bertahan dengan strategi yang bahkan tak terbayangkan sebelumnya. Di balik nama besar yang nyaris tenggelam oleh zaman, mereka justru meninggalkan pelajaran berharga, bahwa terkadang, bertahan berani menjelma menjadi sesuatu yang benar-benar berbeda. Dan itulah yang membuat mereka tetap relevan, meski dengan cara yang tak pernah kita duga. Bukan begitu?