Indonesia Kita

Oleh: Benny Kumbang (Editor) - 22 August 2013

Indonesia Kita

Naskah: Andi Nursaiful/Berbagai Sumber, Foto: Dok.MO/Istimewa

Memperingati momentum 68 tahun Kemerdekaan RI, sejenak kami mengajak Anda untuk menengok jauh ke belakang sebelum negeri ini mewujud dalam sebuah nama. Hal itu, tak lain untuk mengingatkan kembali akan jati diri kebangsaan kita, untuk apa kita membentuk negara dan bangsa ini, dan kenapa kita seharusnya bangga menjadi orang Indonesia.



Asal Usul Nama Indonesia

Sebelum menggunakan nama “Indonesia”, negeri kepulauan tercinta ini di masa lalu memiliki banyak nama. Pernah dikenal dengan nama Hindia yang merupakan ciptaan Herodotus, seorang ahli ilmu sejarah Yunani (484-425 SM), dan dipopulerkan oleh ahli ilmu bumi, Ptolomeus (100-178 SM). Setelah Vasco da Gama dari Portugis berhasil menemukan kepulauan ini dengan menyusur sungai Indus pada tahun 1498, nama “Hindia” semakin populer di Eropa.

Dalam catatan Tionghoa, kawasan kepulauan ini juga pernah dinamai Nan-Hai (Kepulauan Laut Selatan). Sementara bangsa Arab menyebutnya Jaza’ir al-Jawi (Kepulauan Jawa). Bahkan, sampai sekarang jemaah haji kita masih sering dipanggil “Jawa” oleh orang Arab, meskipun orang luar Jawa sekalipun. Dalam bahasa Arab, Sumatera disebut Samathrah, Sulawesi disebut Sholibis, Sunda disebut Sundah, dan semua pulau itu dikenal dengan Kulluh Jawi (semua Jawa).

Ketika Belanda menjajah, mereka memberi nama “Nederlandsch Oost-Indie” kemudian diganti dengan “Nederlandsch Indie”. Seorang Belanda yang bersimpati dengan penduduk pribumi, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli, lantas mengusulkan nama “Insulinde” yang lantas dipopulerkan oleh Professor P.J. Veth.

Indonesia juga pernah dinamakan “The Malay Archipelago” oleh Alfred Russel Wallace pada 1869, yang berarti kumpulan pulau-pulau Melayu. Pada masa pemerintah pendudukan Jepang, antara 1942-1945, mereka lebih memilih memakai istilah To-Indo (Hindia Timur).

Pada 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker, yang dikenal sebagai Dr. Setiabudi (cucu dari adik Multatuli), memperkenalkan suatu nama untuk Indonesia yang tidak mengandung unsur kata ‘india’. Nama itu adalah ‘Nusantara’, suatu istilah yang telah tenggelam berabad-abad lamanya.

Setiabudi mengambil nama itu dari Kitab Pararaton, kitab kuno Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19, yang lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada 1920.

Namun pengertian Nusantara yang diusulkan Setiabudi jauh berbeda dengan pengertian Nusantara pada masa Majapahit. Pada masa Majapahit, Nusantara digunakan untuk menyebutkan “pulau-pulau di luar Jawa.” Sumpah Palapa Gajah Mada pun berbunyi “lamun huwus kalah nusantara, ingsun amukti palapa” yang berarti “kalau pulau-pulau seberang telah kalah, barulah aku akan istirahat”.

Oleh Dr. Setiabudi, kata ‘Nusantara’ yang pada masa Majapahit lebih berkonotasi penjajahan, lantas diberi pengertian yang lebih nasionalis. Dengan mengambil kata Melayu asli ‘antara’, maka “Nusantara” memiliki arti baru yaitu ‘nusa di antara dua benua dan dua samudera’, sehingga Jawa pun termasuk dalam definisi Nusantara yang modern.

Istilah Nusantara dari Dr. Setiabudi ini dengan cepat menjadi populer penggunaannya sebagai alternatif nama Hindia Belanda. Hingga kini, istilah Nusantara tetap dipakai untuk menyebutkan Indonesia.
Jauh sebelumnya, pada 1849, sebuah majalah ilmiah tahunan yang terbit di Singapura, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), mengusulkan nama “Indunesia atau Malayunesia.” Usulan itu ditulis dalam artikel ilmiah karya George Samuel Windsor Earl (1813-1865), ahli etnologi berkebangsaan Inggris.