Ironi Jenderal Listyo Sigit Prabowo

Oleh: Syulianita (Editor) - 17 August 2022

"Saya heran Pak Haji, kok ada seorang perwira tinggi, yang tega-teganya terlibat dalam penembakan (baca: pembunuhan) mati anak buahnya. Bagaimana mungkin dia bisa lolos menjadi seorang jenderal, kalau tidak mampu mengontrol emosinya?” cetus seorang iptu di jajaran Polda Metro Jaya, dalam nada resah bertanya-tanya. Kami baru saja menonton televisi bersama, lantas membincangkan kasus penembakan Brigadir J dengan penetapan tersangka baru FS, seorang perwira tinggi bintang dua, yang diumumkan langsung oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, Selasa (9/8/2022).

Drama tewasnya Brigadir J, bukan saja viral dan trending topic di media sosial, tetapi juga di perbincangkan para elit negeri di hotel-hotel bintang lima sampai menjadi rumors yang hot issue para pengunjung di warung-warung tegal. Yang lebih menarik, pasca Kapolri mengumumkan tersangka baru yang melibatkan tiga puluh satu personel aparat dari berbagai jenjang kepangkatan, masyarakat kini menuntut dibongkarnya motif pembunuhan yang sesungguhnya.

Jenderal Listyo Sigit tampak lebih confident dalam mengusut tuntas kasus ini setelah Presiden Joko Widodo memerintahkan secara tegas agar tidak ragu-ragu. “Sejak awal kan saya sampaikan, usut tuntas, jangan raguragu,” kata Presiden Jokowi.

Bukan hanya itu, Presiden Jokowi juga menegaskan kepada Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk tidak menutup nutupi kasus yang terjadi di institusinya. “Jangan ada yang ditutup-tutupi, ungkap kebenaran apa adanya. Sehingga, jangan sampai menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap Polri, itu yang paling penting. Citra Polri apapun harus tetap kita jaga,” pinta Presiden.

Sudah sangat jelas dan tegas apa yang dimaksud oleh Presiden. Kapolri dan jajarannya harus dapat menjadi aparat penegak hukum dalam menciptakan kamtibmas. Tentu dengan tetap mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasalnya, penegakan hukum sebagai panglima yang berintikan kebenaran dan keadilan adalah mahkamah tertinggi yang harus diyakini dan dipatuhi oleh segenap perangkat dan aparatur hukum.

Penetapan Irjen FS sebagai tersangka merupakan terobosan baru yang banyak dipuji warga masyarakat terhadap langkah pimpinan kepolisian di bawah komando Jenderal Sigit. Keputusan ini tentu tidaklah mudah. Pasalnya, FS bukan saja seorang pati berbintang dua, tetapi juga saat peristiwa penembakan terjadi, ia menjabat sebagai Kepala Divisi Propam Mabes Polri. Artinya, FS adalah orang nomor satu di lingkungan Polri yang bertugas melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran etik dan disiplin terhadap seluruh anggota Polri, membina dan mengadakan fungsi pertanggung jawaban profesi dan pengamanan internal.

Jenderal Sigit tampaknya akan menghadapi sebuah ironi dalam ikhtiar untuk menjadikan Polri yang Presisi (prediktif, responsibilitas, transparansi, berkeadilan) agar tak cuma menjadi jargon. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), ironi berarti kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir. Sedangkan dalam Wikipedia disebutkan ironi adalah salah satu majas yang berupa sindiran dengan menyembunyikan fakta yang sebenarnya dan mengatakan kebalikan dari fakta tersebut atau mengungkapkan sindiran halus.

Polri menjadi Presisi bukan saja harus ditegakkan Kapolri sebagai visi misi kepemimpinannya, tetapi harus juga diimplementasikan dalam semua jajaran kepemimpinan kepolisian dari markas besar sampai markas sektor di seluruh penjuru negeri. Karena hanya dengan Polri Presisi dapat mengembalikan marwah institusi kepolisian ini dipercaya sepenuhnya oleh masyarakat.

Karena itu, saat ini menjadi momentum yang tepat bagi seluruh komponen masyarakat untuk mendukung penuh kepemimpinan Polri agar benar-benar menjadi Presisi. Di sisi lain, seluruh jajaran kepolisian harus taat dan loyal terhadap kebijakan Kapolri yang tentu harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di negeri ini. Sama seperti loyalitas Kapolri terhadap perundang undangan yang berintikan kebenaran dan keadilan.

Instruksi tegas Presiden Joko Widodo harus dimaknai pula bahwa tidak hanya dalam penyelesaian kasus Brigadir J ini Polri bersikap Presisi, tetapi demikian juga dalam penuntasan setiap kasuskasus pidana lain di masyarakat harus ditangani secara berkeadilan. Apakah itu dalam kasus perebutan lahan tanah, perjudian, narkoba, illegal logging, mafia migas, mafia hukum, sindikat mafia perbankan dan money laundry, serta bentuk mafia lainnya yang melibatkan pejabat dan aparat keamanan. Termasuk juga berbagai kasus tudingan terorisme.

Hal ini tentulah tidak mudah, sebagaimana membalik telapak tangan. Berbagai rumors yang beredar di masyarakat tentang motif penembakan Brigadir J hanya dapat dilakukan bilamana Jenderal Sigit secara sungguh sungguh hendak menjadikan Polri Presisi.

Semua kendala dan problematika yang membayang-bayangi ironi Jenderal Sigit akan musnah bila Sang Jenderal benar-benar memiliki ketulusan dan keikhlasan untuk membangun legacy kepemimpinannya demi tegaknya hukum sebagai panglima.

Sepanjang karier kepolisiannya, Sigit dikenal sebagai perwira yang tenang, rendah hati, pekerja keras, santun terhadap para tokoh masyarakat dan tokoh agama/ ulama, sikap toleran yang tinggi, aspiratif dan komunikatif, serta memiliki etika peradaban yang cukup baik. Karier Sigit melejit menjadi orang nomor satu di Kepolisian RI lebih karena ia memegang teguh norma-norma yang berlaku dalam lingkup kepolisan dan politik negara. Sudah menjadi kepatutan bila seluruh jajaran kepolisian memaknai sikap memegang teguh norma-norma tersebut.

Dalam pendekatan religi, ada tiga penghancur paling utama yang membuat manusia tak berdaya dan membuatnya tersungkur dalam kehinaan, baik di dunia, di mata manusia, dan di akhirat, serta di sisi Allah SWT/Tuhan Yang Maha Kuasa. Ketiga hal itu adalah harta, tahta, dan wanita. Orientasi kehidupan terhadap harta akan berakibat tak pernah puas untuk mempertahankan tahta (tamak) dengan menghalalkan segala cara sehingga tergoda memanfaatkan wanita.

Dalam Islam, Rasulullah SAW pernah memperingatkan sahabat utama Abu Dzar dengan berkata, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah dan sesungguhnya dia (kekuasaan itu) adalah amanah dan di hari kiamat akan menjadi siksa dan sesal kecuali yang mengambil sesuai haknya dan melaksanakan apa seharusnya dilaksanakan. (HR. Muslimin).

Sementara dalam ajaran umat Kristiani, Paus Gregorius membagi 7 dosa pokok atau dosa besar yang dikenal sebagai 7 deadly sins yang mampu melahirkan dosa-dosa lain. Ketujuh dosa ini dianggap mematikan dan harus dihindari, yakni iri hati (envy), rakus (gluttony), serakah (greed), kesombongan (pride), hawa nafsu (lust), malas (sloth), dan amarah (wrath).

Ironi Jenderal Sigit hanya dapat terhapus bilamana Sang Jenderal tak lagi berharap bintang apapun karena memang di pundaknya sudah tersemat empat bintang. Kecuali, meninggalkan legacy terwujudnya institusi Polri yang Presisi tanpa adanya political barriers dan hierarchies barriers. Go Ahead General!

 

*Penulis juga Ketua Umum Persaudaraan Muslimin Indonesia (PARMUSI)