Pariwisata Core Economy Indonesia

Oleh: Iqbal Ramdani () - 25 January 2019

Naskah: Giattri F.P. Foto: Dok. Agus Suparto (Fotografer Presiden)

Presiden Joko Widodo menegaskan pariwisata adalah leading sector ekonomi bangsa. Karenanya, Kementerian Pariwisata RI di bawah nakhoda Arief Yahya tak henti bekerja cerdas untuk melancarkan berbagai jurus jitu agar pariwisata negeri ini semakin menunjukkan tajinya di dunia. Tak sampai di situ, ia juga berani memproyeksikan pariwisata menjadi core economy Indonesia.

 

“Saya optimistis tahun 2019, industri pariwisata menyumbang devisa nomor 1 mengalahkan sektor perekonomian lain dengan proyeksi nilai sebesar USD20 miliar,” tegas Menpar Arief kepada Men’s Obsession baru-baru ini di kantor Kementerian Pariwisata, Jakarta. Apa yang diungkapkan Arief bukan sekadar lip service. Betapa tidak, selama empat tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sektor pariwisata sangat menggeliat sehingga target tersebut tidaklah terlalu muluk. Terlebih, Indonesia memiliki ribuan destinasi, baik yang sudah bergaung namanya maupun yang masih menjadi ‘surga’ tersembunyi. Apalagi pembangunan infrastruktur terus digairahkan maka bukan tidak mungkin dunia pariwisata akan menjadi bintang baru bagi pemasukan negara.

 

RI juga pernah menuturkan, “Menteri Pariwisata kita ini, Pak Arief Yahya memang sangat optimistis dan kelihatan sekali pertumbuhan pariwisata Indonesia lebih tinggi dari rata-rata dunia. Diharapkan pada 2020, sektor pariwisata bisa menyumbangkan devisa terbesar melampaui CPO (minyak sawit mentah). Ini akan menjadi sebuah motor penggerak ekonomi bangsa dan yang paling kita senangi, pariwisata ini bisa menetes sampai ke bawah efek ekonominya.” Lebih lanjut Arief mengatakan, berdasarkan data World Travel & Tourism Council, pariwisata Indonesia menjadi yang tercepat dengan peringkat kesembilan di dunia, nomor tiga di Asia, dan nomor satu di kawasan Asia Tenggara.

 

Capaian di sektor pariwisata itu juga diamini perusahaan media di Inggris, The Telegraph yang mencatat Indonesia sebagai “The Top 20 Fastest Growing Travel Destinations”. Indeks daya saing pariwisata Indonesia menurut World Economy Forum (WEF) juga menunjukkan perkembangan membanggakan, yakni peringkat Indonesia naik 8 poin dari 50 di 2015, ke peringkat 42 pada 2017. “Persaingan sekarang ini bukan soal yang besar mengalahkan yang kecil, tetapi siapa yang tercepat. Kita bisa melampaui negara-negara pesaing kita di Asia Tenggara,” ujarnya semangat. 

 

Pada 2017, sambung pria murah senyum itu, pertumbuhan sektor pariwisata melaju pesat sebesar 22%, menempati peringkat kedua setelah Vietnam (29%). Sementara Malaysia tumbuh 4%, Singapore 5,7%, dan Thailand 8,7%. Di tahun yang sama, rata-rata pertumbuhan sektor pariwisata di dunia 6,4% dan 7% di ASEAN. “Kenapa Vietnam lebih baik? karena mereka melakukan deregulasi besar-besaran. Jadi, Vietnam saat ini adalah tourist and investor darling,” terangnya. Kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) naik siginifikan dari 2015 - 2017. Tahun 2015 sebanyak 10,41 juta, tahun 2016 menjadi 12,01 juta, dan tahun 2017 sebanyak 14,04 juta.

 

Sampai bulan Agustus 2018, jumlah wisman mencapai 10,58 juta. Wisatawan nusantara juga terus naik. Sejak tahun 2015 sebanyak 256 juta, tahun 2016 berkembang lagi menjadi 264,33 juta, dan tahun 2017 meningkat menjadi 270,82 juta. Sementara itu, sumbangan devisa dari sektor pariwisata meningkat dari USD12,2 miliar pada 2015, menjadi USD13,6 miliar di 2016, dan naik lagi menjadi USD15 miliar pada 2017. Pada 2018 ini ditargetkan meraup devisa USD17 miliar serta pada 2019 dibidik menyumbang devisa nomor 1 mengalahkan sektor perekonomian lain dengan proyeksi nilai sebesar USD20 miliar.

 

Untuk itu, Arief menuturkan, Kemenpar memiliki tiga senjata pamungkas untuk menggenapi target tersebut sekaligus percepatan pencapaian 20 juta wisatawan di tahun 2019, yakni Super Extra Ordinary Effort, Extra Ordinary Effort, dan Ordinary Effort. Program Super Extra Ordinary Effort terdiri dari Border Tourism, Tourism Hub, dan Low Cost Terminal. Sedangkan, Extra Ordinary Effort terdiri atas insentif akses, hot deals, dan CDM. Sementara, Ordinary Effort dibagi menjadi branding, advertising, dan selling. Caranya dengan melakukan regional event promotion, famtrip, promotion di media online, elektronik. Selain itu, melakukan publikasi dari 100 calendar of event. Sementara untuk selling, melakukan exhibiton, sales mission, festival (abroad), dan lainnya. 

 

Menggaet Traveler ‘Zaman Now’ Kaum milenial termasuk salah satu kelompok yang paling gemar jalan-jalan. Sejumlah survei menyebutkan, hampir seluruh penghasilan kelompok ini dihabiskan untuk bervakansi. Menurut Arief, milenial akan terus tumbuh dan menjadi pasar terbesar. Bahkan dirinya menargetkan wisatawan milenial dapat menyumbang hingga 34 persen atau sekitar 7 juta dari target 20 juta wisman yang dicanangkan tahun depan. Maka dari itu, Alumni ITB ini membuat cara agar mampu menggaet hati generasi yang lahir pada 1980-an hingga 2000-an ini, seperti Nomadic Tourism. Tujuannya untuk menjaring segmen wisatawan milenial berkunjung ke berbagai destinasi di Indonesia. Nomadic Tourism sendiri didefinisilan sebagai gaya berwisata baru di mana wisatawan dapat menetap dalam kurun waktu tertentu di suatu destinasi wisata dengan amenitas yang “portable” dan dapat berpindah-pindah. “Marketnya adalah para millennials.

 

Anak-anak muda mobile, digital, dan interaktif. Mereka membutuhkan pengakuan, ‘esteem needs’, terutama melalui media sosial,” terang Arief. Menurutnya, Nomadic Tourism merupakan konsep solusi dalam mengatasi keterbasan unsur 3A (atraksi, amenitas, dan aksesibilitas) khususnya untuk sarana amenitas atau akomodasi yang sifatnya bisa dipindah-pindah dan bentuknya juga bermacam-macam. “Target Kemenpar adalah membangun 100 pasar digital di 34 provinsi dan 10 nomadic tourism (glamp camp, home pod, dan caravan) di destinasi unggulan. Saat ini sudah ada 54 destinasi digital di seluruh Indonesia,” pungkas penggemar wayang itu.