Humor Satir, Tahun Politik

Oleh: Giatri (Editor) - 12 March 2018

Naskah: Giattri, Foto: Edwin Budiarso

Lakon ke-27 Indonesia Kita ‘Preman Parlente’ tak hanya menyuguhkan kisah cinta dua insan yang pelik di Tanah Batak, tapi juga merefleksikan kondisi Indonesia saat ini yang memasuki Tahun Politik. Dalam setiap lakon persembahannya, Indonesia Kita selalu khas dengan gaya humor satirnya.

“Banyak yang bertanya, ini Preman Parlente atau Parlemente? Tapi kita tidak bisa gossip, kan sudah ada Undang-Undangnya,” seloroh Butet Kartaredjasa founder dan produser Indonesia Kita saat memberikan narasi, hal itu kontan disambut gelak tawa ratusan penonton yang memadati Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, beberapa waktu lalu.

Adegan dibuka dengan latar sebuah kantor yang terdapat papan nama besar bertuliskan nama Ucok Lontong dengan beberapa gelar sarjana, di antaranya SH. Di Indonesia, bidang hukum terutama profesi sebagai pengacara memang didominasi oleh orang-orang Batak, sebut saja pengacara kondang Hotman Paris Hutapea, Otto Hasibuan, Hotma Sitompul, dan lainnya.

“Yang bisa menguasai hukum, ia akan mampu menguasai ‘medan’,” ujar Ucok Lontong dengan tegas kala ditanya mengenai namanya yang tiba-tiba berubah menjadi ‘Ucok’ padahal ia tak berasal dari tanah Sumatera.

Sementara gelar Prm (preman) dilatar belakangi, mobilitas sosial Ucok agar bisa mengubah hidupnya menjadi lebih baik. Ia pun melakukan urbanisasi ke Kota Jakarta. Setelah sekian lamanya merantau ke Ibu Kota, akhirnya Ucok  berhasil menjadi orang yang sukses, kendati pekerjaan yang digelutinya bukan pekerjaan yang halal. Ia tak mempermasalahkan profesi yang digelutinya saat ini. Yang terpenting, apa yang diimpikannya telah terwujud, meskipun harus melalui jalan yang salah, yakni menjadi preman dan penipu ulung.

Singkat cerita ketika sedang berada di puncak kejayaannya, Ucok dihampiri Akbar, teman kecilnya sewaktu masih di kampung. Keduanya pun saling melepas rindu setelah sekian tahun tak bertemu. Melihat penampilan Ucok sekarang, Akbar merasa kagum dengan gaya perlente Ucok (red.mirip gaya Hotman Paris).

Akbar juga takjub dengan segala hal yang dimiliki sahabatnya, dari gelar yang banyak, rumah dan kantor mewah, serta mobil sport mewah yang biasanya dimiliki oleh pengusaha kaya raya.

Saat keduanya tengah asyik melepas rindu dan bercengkrama, tiba-tiba Louise, pacar Ucok datang.  Dengan logat bahasa Batak kentalnya, Louise langsung mendamprat Ucok lantaran dinilai tak berkomitmen menjalin hubungan dan terkesan mengulur waktu ketika diminta serius untuk melangsungkan pernikahan.

Louise pun meminta Ucok untuk menemui Inangnya yang tinggal di Pulau Samosir, Provinsi Sumatera Utara. Atas desakan tersebut, Ucok pun tak bisa berkutik, sebab meskipun dirinya ‘preman’, pantang baginya berbohong kepada ibu dan wanita yang dicintainya.

Akhirnya Ucok, Louise, dan Akbar terbang ke  Pulau Samosir. Konflik cinta kian pelik. Di Tanah Samosir, kebohongan Ucok terbongkar oleh Marwoto, seorang investor dan politisi yang hendak menguasai Tanah Samosir. Hal tersebut diperkuat dengan kesaksian beberapa pengawal Marwoto. Marwoto merupakan klien yang biasa memakai jasa Ucok sebagai preman di Jakarta. Louise pun kecewa dan restu pun tak turun dari sang Inang.

Bahkan, Marwoto juga memperdaya masyarakat Samosir agar percaya kepada dirinya sebagai sosok pemimpin yang akan menyejahterakan rakyatnya. Ucok yang mengetahui niat buruk Marwoto yang hendak menguasai Tanah Samosir untuk keperluan bisnis merasa harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan kampung halaman kekasihnya.

Selama tiga jam pertunjukkan, Ucok dan kawan-kawan sukses mengocok perut penonton tanpa henti. Kegelisahan masyarakat mengenai kehidupan berbangsa dan bernegara termasuk kepada pemerintah dapat dijadikan sumber tawa di atas panggung.

Misal kala Marwoto berorasi di depan masyarakat Samosir. Dalam adegan tersebut, ia enggan meninggalkan mimbar orasinya dan membawanya kemanapun ia pergi layaknya sebuah gerobak.

“Ya karena kalau kursi kekuasan itu ditinggal sebentar saja, maka pasti akan ada orang yang langsung menempati. Dalam politik, tak ada lawan abadi atau musuh abadi, yang ada hanyalah kepentingan abadi,” tutur Marwoto.

Dengan bantuan Akbar, Ucok mencari bukti-bukti yang menunjukkan politisi seperti Marwoto tak layak dipercaya masyarakat. Akhirnya Ucok mampu meyakinkan masyarakat Samosir, niat Marwoto menjadi pemimpin di Samosir tak tulus untuk rakyat. Ucok pun berhasil menyelamatkan masyarakat Samosir dan akhirnya mendapatkan restu menikahi Louise dari sang Inang.