Yohana Yembise (Menteri PPPA RI) Kartini dari Timur Indonesia

Oleh: Iqbal Ramdani () - 22 January 2018

Naskah: Giattri F.P., Foto: Sutanto

 

Namanya sangat dikenal karena menjadi menteri dan guru besar perempuan pertama dari Papua. Sebagai Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) RI, Yohana Yembise, pun melakukan berbagai gebrakan, ia bukan tipikal perempuan yang hanya duduk diam dibelakang meja, ia tak segan untuk terjun langsung dalam mensukseskan program Three Ends yang digagasnya.

 

Never give up adalah kalimat yang menghantarkannya mendulang sukses. “Apapun yang saya cita-citakan, saya perjuangkan meskipun banyak lubang di sepanjang jalan. Seperti di Papua, tantangan tentang adat yang begitu kuat mengikat dimana perempuan belum diijinkan untuk menjadi pemimpin melebihi laki-laki, tapi saya menabrak dinding-dinding keterbatasan itu. Saya membuka pintu agar ada perempuan Papua lain mengikuti jejak saya,” tutur Yohana kepada Men’s Obsession di ruang kerjanya. Yohana juga banyak belajar dari berbagai perempuan yang berhasil di dunia, seperti Hillary Clinton, Margaret Thatcher, dan Megawati Soekarno Putri. “Pelajaran yang saya petik adalah perempuan bisa melakukan hal yang dilakukan kaum laki-laki. Soal critical, analytical thinking dan concept serta program apa saja yang tidak membutuhkan kekuatan fisik, saya pikir perempuan bisa bersaing,” tandasnya.

 

Sebagai ‘pembantu’ Presiden Joko Widodo di Kabinet Kerja, Yohana begitu gencar menjalankan program Three Ends atau Tiga Akhiri. Apa yang dilakukannya berbuah manis, pencapaian target program tersebut telah melibatkan ribuan masyarakat yang tersebar di banyak wilayah Indonesia. “Program unggulan ini akan terus kami gaungkan ke seluruh pelosok negeri,” tegas Yohana. Beberapa capaian Three Ends tersebut secara signifikan meningkatkan pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak, yakni akhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, akhiri perdagangan manusia, dan akhiri ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi perempuan. Hal ini mengacu pada arah kebijakan pembangunan PPPA dan mengingat begitu kompleksnya permasalahan yang dihadapi perempuan dan anak. “Dalam Three Ends, kata akhiri lebih dimaknai sebagai suatu upaya untuk mempersempit peluang terjadinya kekerasan, termasuk perdagangan orang dan ketidakadilan akses ekonomi bagi perempuan,” ujar Yohana.

 

Capaian dalam mengakhiri kekerasan terhadap perempuan dan anak, ditunjukkan dengan Penetapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU) Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, untuk mempertegas pemberatan hukuman. Yohana juga mencanangkan Gerakan Stop Perkawinan Anak. Ia mengaku tengah memikirkan kemungkinan membuat PERPU untuk mendukung gerakan tersebut. Kementerian PPPA juga sudah meminta sejumlah perguruan tinggi untuk membuat kajian dalam rangka Gerakan Stop Perkawinan Anak. “Semua ini kami lakukan dalam rangka mencapai target pemerintah dalam suistainable development goals (SDGs),” jelasnya.

 

Kemudian, 250.000 perempuan dan anak terjangkau informasi tentang hak perempuan dan anak melalui KIE (komunikasi, informasi dan edukasi). KIE dilakukan dalam berbagai bentuk, di antaranya jelajah nusantara Three Ends, kampanye BERLIAN (bersama lindungi anak) dalam bentuk dialog musikal, pembuatan moving cartoon video, digital education dan boardgameAnak, orang tua/keluarga, aktivis, perangkat desa, lembaga pemberhati anak, fasilitator desa, organisasi perangkat daerah, tokoh masyarakat dan tokoh agama di 136 desa pengembangan model Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) di 68 kabupaten/kota, di 34 provinsi merasakan manfaatnya.  Sejak 2015, Kementerian PPPA juga mengembangkan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA). “Tahun 2015 ada 287 kabupaten/kota yang sudah launching KLA. Tahun 2016 meningkat menjadi 302, dan pada 2017 lalu bertambah menjadi 342. Kita harapkan di tahun 2019, sudah bisa mencapai 516,” paparnya.

 

Kementerian PPPA pun masih terus berupaya mendekati beberapa Pemda agar lekas menyusul sehingga bisa mengimplementasikan 24 indikator. “Salah satunya memberikan hak-hak dasar anak. Seperti memudahkan akses memiliki akta kelahiran,” tuturnya.  Pada 2017 lalu, sambung Yohana, sebanyak 126 kabupaten dan kota menerima anugerah KLA sedangkan tahun sebelumnya berjumlah 77 kabupaten/kota. Anugerah kategori layak anak ini hingga 2017 masih dinyatakan nihil, sedangkan anugerah kategori utama diraih kota Surabaya dan Surakarta. Sementara anugerah katagori nindya adalah Denpasar, Gianyar, Padang, Magelang, Depok, Bogor dan Sleman. Sedangkan kota/kabupaten lainnya mendapatkan katagori madya dan pratama.

 

Yohana mengatakan Penganugerahan KLA 2017 diberikan kepada daerah yang masih dalam tahap menuju layak anak. Menurutnya, untuk menjadi KLA membutuhkan komitmen yang kuat dan membutuhkan kerja sama semua pihak termasuk Organisasi Perangkat Daerah (OPD), kalangan masyarakat, media massa, keluarga dan anak. Mencegah kasus kekerasan pada perempuan dan anak, Kementerian PPPA juga mendorong Peningkatan cakupan layanan Pusat Pelayanan Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) di 34 provinsi dan 390 kabupaten/kota. “34 provinsi dan 2 kabupaten telah mendapatkan Sertifikasi ISO-9001,” jelas Yohana.

 

Program unggulan lainnya adalah mobil perlindungan perempuan dan anak (MOLIN) dan motor perlindungan perempuan dan anak (TORLIN) tersebar di 34 Provinsi dan 209 kabupaten/kota, ketersediaan data kasus kekerasan yang terlaporkan secara online dapat di akses oleh semua unit layanan secara real time dan akurat berdasarkan data kependudukan, serta ketersediaan data pravelensi kekerasan terhadap perempuan, hasil Survei Pengalaman Hidup Nasional/SPHN tahun 2016. Ada pula Satuan Tugas Perempuan dan Anak (PPA). “Saat ini Satgas PPA cukup banyak di beberapa kabupaten. Para relawan itu berperan dalam melakukan penjangkauan, identifikasi, perlindungan, dan pelayanan terhadap perempuan dan anak korban kekerasan, turun ke jalan melihat anak-anak jalanan yang terkena narkoba. Mereka pun langsung melaporkan ke dinas ataupun P2TP2A,” terang Yohana.

 

Perluasan cakupan APH (Aparat Penegak Hukum). Mereka dilatih UU No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA), tersedia 2.745 orang. “Apabila ada anak yang memang harus berhadapan dengan hukum, maka anak tersebut akan ditangani dengan restorative justice, yaitu mediasi antara korban, pelaku, dan orang tua terkait, seperti di luar negeri. Jadi bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukanlah pembalasan. Karena anak-anak kan masih memiliki masa depan yang panjang,” tegasnya. Penguatan forum anak daerah dan anggota forum anak sebagai Pelopor dan Pelapor (2P). Penguatan lembaga masyarakat (LM) melalui penetapan Peraturan Menteri PP-PA No. 7 Tahun 2016 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Kekerasan terhadap Anak melalui partisipasi organisasi keagamaan dan kemasyarakatan, dan melalui sinergi program LM dalam PP-PA, serta forum PUSPA (Partisipasi publik untuk kesejahteraan perempuan dan anak).

 

Kementerian PPPA juga mendorong Pemda dan instansi membuat model sarana dan prasarana publik ramah anak seperti ruang bermain ramah anak (RBRA), sekolah ramah anak (SRA), pesantren ramah anak (PRA), Puskesmas dengan Pelayanan Ramah Anak (PPRA), pusat pembelajaran keluarga (Puspaga), ruang kreativitas anak yang sudah tersedia di 16 kabupaten/kota di 13 provinsi.  Terkait advokasi korban kekerasan atas anak dan perempuan, Kementerian PPPA membuat Simfoni PPA sebagai sistem pencatatan dan pelaporan data kekerasan. Dari 11.074 kasus pada 2016 sudah 55,7% yang sudah terlapor dan terlayani.

 

Capaian akhiri perdagangan manusia, ditunjukan dengan peningkatan jumlah komunitas anti perdagangan manusia yang terbentuk dari 54 (data tahun 2015), menjadi 179 komunitas di 179 desa yang tersebar di 29 Kab/kota (data 2016). Peningkatan jumlah Kelompok Bina Keluarga Tenaga Kerja Indonesia (BK-TKI) dari 11 kelompok di 11 kab/kota(data tahun 2016) menjadi 21 kelompk BK-TKI di 21 Kab/kota (tahun 2017). Pelatihan APH terkait dengan pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Sebanyak 300 jumlah APH mendapatkan penanganan dan pencegahan terhadap perempuan (TPPO). “Lalu penandatangan MoU antara daerah sumber, tujuan, dan transit perdagangan orang. Tidak kalah penting, penyiapan tenaga kerja wanita (TKW) yang terampil melalui program Wanita Indonesia Hebat (WIH). Sebanyak 300 TKI sudah dibekali penguatan mental,” imbuh Yohana.

 

Untuk mengakhiri ketidakadilan dan kesenjangan akses ekonomi perempuan ditunjukan dengan peningkatan kapasitas 2.956 perempuan pelaku ekonomi rumahan, diantaranya kenaikan jumlah pelaku ekonomi rumahan yang sudah memiliki perizinan PIRT, jumlah pendapatan perminggu mengalami peningkatan, modal usaha mengalami peningkatan, peningkatan pemasaran ke luar daerah (antar kabupaten), dan sumber permodalan juga sudah beralih dari rentenir kepada penggunaan modal sendiri. “Ekonomi Indonesia juga bergantung pada perempuan karena mereka memiliki populasi yang cukup banyak di Indonesia,” ujar Yohana.

 

Lebih lanjut Yohana mengatakan, Indonesia bersama 9 negara lain berkomitmen menuju terciptanya sebuah kesetaraan gender antara laki-laki dan perempuan yang disebut Planet 50:50 pada 2030 mendatang. Negara-negara di dunia telah mengampanyekan gerakan “He for She”, sebagai upaya memperluas komitmen untuk memberikan rasa aman dan nyaman kepada perempuan, sehingga memperoleh akses kesehatan, pendidikan dan ekonomi yang layak. Gerakan itu bertujuan untuk mengubah dominasi kelompok laki-laki atas perempuan dengan perbandingan 70% laki-laki dan 30% perempuan seperti yang selama ini terjadi. “Dapat kita lihat komposisi kaum perempuan di parlemen maupun kepala daerah masih sedikit. Beruntung pemerintah saat ini menunjukkan komitmennya dengan menempatkan tujuh orang perempuan dalam kabinet,” ujar Yohana.