Perempuan-Perempuan Chairil

Oleh: Giatri (Editor) - 01 January 2018

Apa jadinya jika sosok penyair tersohor di tahun 1940-an, Chairil Anwar dihidupkan kembali di atas panggung teater?

Pertunjukkan bertajuk ‘Perempuan Perempuan Chairil’ yang dihelat Yayasan Titimangsa Foundation dengan dukungan Bakti Budaya Djarum Foundation beberapa waktu lalu di Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat ini menyuguhkan dramaturgi yang memikat antara Chairil dan para perempuannya.

Di kehidupan nyatanya, sang ‘Binatang Jalang’ itu diketahui sempat dekat dengan banyak wanita semasa hidup. Namun dalam pementasan ini, hanya ditampilkan empat orang wanita yang memiliki andil cukup besar dalam tiap-tiap puisi yang diciptakan Chairil.

Mereka adalah Ida Nasution (Marsha Timothy), Sri Ajati (Chelsea Islan), Sumirat (Tara Basro), dan Hapsah Wiriaredja (Sita Nursanti). Keempat wanita dengan latar belakang berbeda ini menjadi gerbang untuk memasuki dunia Chairil Anwar (Reza Rahardian) dengan kegelisahan hidup dan pemikirannya, serta pertaruhan yang dilakukan olehnya semasa hidup.

Acara dimulai sekitar pukul 20.00 WIB dan dibuka dengan monolog Chairil yang menceritakan kondisi Indonesia pada masa itu.

Salah satunya ia berkisah bagaimana sudut pandang perempuan malam di matanya, dan di mata seorang Ir. Soekarno. Jika banyak orang yang menganggap perempuan malam adalah orang yang hina, tapi tidak bagi Soekarno.

“Jangan pandang sebelah mata perempuan malam. Sehitam apa pun sejarah, kita tak bisa menggelapkannya.”

Ida Nasution

Ida merupakan gambaran perempuan yang terpelajar dan intelektual pada jamannya. Ia seorang esais dan penerjemah yang juga mengelola ruang kebudayaan Gelanggang di Majalan Siasat bersama Chairil. Hari-hari mereka selalu diisi dengan diskusi dan perdebatan. Keduanya sama sekali tak ada yang mau mengalah.

Chairil selalu mencoba merayu Ida dengan berbagai kata-kata manis dan juga syair puitis miliknya. Namun ternyata itu tak sanggup meluluhkan hati seorang Ida Nasution yang tentunya begitu idealis.


“Suatu kali kau datang mendorong pintu, berlagak seperti jagoan, dan langsung membaca sajak ‘Aku’. Dengan suara lantangmu, membuat semua orang kaget dan tercengang. Kau sangat pintar mencari perhatian. Termasuk perhatian wanita-wanita di luar sana. Kepada siapa lagi kau ucapkan kata-kata manis itu, Chairil?”

“Kaulah pusat perhatian itu Ida.”

“Kau buru perempuan, tapi tak pernah menangkap hatinya.”

Bersama Ida, Chairil merasakan cinta sesaat yang membutakan. Tapi Ida menganggap Chairil tak punya masa depan.

Ida sendiri pernah berkata pada H.B. Jassin, “Chairil itu memang binatang jalang yang sesungguhnya. Tapi apa yang bisa diharapkan dari manusia yang tidak karuan itu?”

Meskipun cintanya bertepuk sebelah tangan, namun sosok Ida selalu membayang-bayangi pikiran Chairil.

Sri Ajati

Ajati perempuan cantik dan berwajah melankolis. Jassin menjelaskan: tak ada lelaki yang tak jatuh cinta pada kecantikan Ajati. Kecantikan Ajati pula yang membuat pelukis besar Basoeki Abdullah melukis sosoknya. Pada Ajati inilah pesona romantisme cinta Chairil muncul.

Chairil berkenalan dengan Ajati saat sedang menjadi penyiar radio Jepang bernama Jakarta Hoso Kyokam. Beberapa kali Chairil Anwar ke rumah Ajati, tapiperasaan Ajati biasa-biasa saja pada Chairil. Hingga suatu ketika Ajati mengaku sudah bertunangan dengan seorang dokter bernama R.H Soeparno.

Mendengar perkataan itu, mundur teraturlah Chairil.

“Ya, pada dasarnya perempuan tetap akan memilih. Kau dengan kebahagiaanmu dan aku tetap pada kesedihanku.”
Membawa hatinya yang galau dan rawan, Chairil berjalan-jalan ke arah utara, menuju pantai. Sampailah ia di pelabuhan Sunda Kelapa. Ia melihat suasana muram di sana sebagaimana perasaan hatinya. Dari penghayatan dan perasaan hatinya karena ditolak Ajati, ia menulis puisi ‘Senja di Pelabuhan Kecil’.

Ajati menganggap Chairil sebagai sosok yang jujur dan pemberani. Tetapi ia sendiri tak pernah tahu Chairil memuja dan mencintainya. Bahkan sampai Chairil tiada, ia tak pernah tahu Chairil menulis sajak untuknya.

Sumirat

Dengan Sumirat, kisah cinta Chairil tak lagi bertepuk sebelah tangan. Ia mulai serius menjalani hubungan. Chairil kerap memperkenalkan Mirat ke sahabat-sahabatnya, dan mereka kerap menghabiskan waktu bersama untuk jalan-jalan.

Mirat sendiri merupakan seorang pelukis yang mencintai kepribadian seorang penyair seperti Chairil, yang berbeda dengan kebanyakan laki-laki lainnya.


“Aku ingat waktu aku pertama kali melihat kau di pantai itu. Ketika banyak orang bersenang-senang di sana, kau malah terlihat dengan menyendiri dan sedih dengan bukumu itu.”

Hubungan cinta mereka selalu bergejolak, lantaran orang tua Mirat mulai meragukan keseriusan Chairil kepada anaknya. Ya, Mirat sempat mengajak Chairil untuk menemui kedua orang tuanya di Jawa Tengah, namun laki-laki itu tak kunjung memberikan jawaban pasti untuk meminang anaknya.

“Pilihlah hatiku sebagai rumahmu Chairil.”

“Bahkan dengan cermin saja, aku enggan berbagi!”

“Seperti apa cinta bagimu?”

“Cinta adalah bahaya yang lekas menjadi pudar.”.

Hingga pada akhirnya, mereka pun berpisah lantaran Mirat mulai bersikap realistis dan menerima perjodohan dari orang tuanya.

“Petualangan tanpa tujuan akan sia-sia belaka.”